iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Penderitaan dalam Sejarah Gereja

Makna Teologis Penderitaan
ilustrasi: jbalbum
Sejak awal Kekristenan, penderitaan telah menjadi bagian integral dari kehidupan Yesus, para Rasul maupun Gereja mula-mula. Yesus hidup dalam kemiskinan (Luk 2:24; Mat 8: 20//Luk 9:58; Mat 17:24-27).

Dia ditolak oleh kaum keluarga (Mar 3: 21; Yoh 7:5), orang-orang di kampung halaman (Mat 13:57//Mar 6:4; Yoh 4:44) maupun bangsa-Nya sendiri (Yoh 12:37-41). Hidup-Nya pun berakhir tragis di kayu salib karena kebencian orang-orang Yahudi terhadap diri-Nya.

Dia ditolak oleh milik-Nya sendiri (Yoh 1:11). Penderitaan ini terus berlanjut pada diri para Rasul yaitu Stefanus dan Yakobus dibunuh karena iman mereka (Kis 7:54-60; 12:1-2), Petrus, Paulus dan pemberita Injil yang lain beberapa kali mendekam di penjara (Kis 4:3; 12:4-11; Kis 16:23-40; 24:27; Flp 1:12-14).

Paulus pernah menjelaskan berbagai macam penderitaan yang dia alami dalam pelayanan (2Kor 11:23-28). Yohanes diasingkan ke Pulau Patmos (Why 1:9). Menurut Tradisi Gereja, semua Rasul – kecuali Yohanes – mati sebagai martir.

Orang Kristen secara umum juga menghadapi ancaman penganiayaan. Kaisar Nero (54-68 M) mengkambinghitamkan orang Kristen dalam kasus pembakaran kota Roma (yang diyakini banyak orang justru merupakan inisiatif Nero).

Penganiayaan besar lainnya terjadi pada zaman Kaisar Domitian (81-96 M). Penganiayaan yang paling luas terjadi sejak tahun 250 M melalui keputusan Kaisar Decius dan Diocletian (antara tahun 100-250 M) penganiayaan menjadi lebih sistematis dan terorganisasi.

Salah satu periode sejarah Gereja yang penting dan sangat relevan dengan Teologi Penderitaan adalah kemunculan gaya hidup asketisisme(menjauhi semua kenikmatan dunia) yang tercermin dalam praktekmonastisisme (kebiaraan) mulai akhir abad ke-3 M. Anthony (251-356 M) yang biasanya disebut sebagai pendiri kebiaraan pada usia 20 tahun menjual seluruh hartanya dan membagikannya pada orang-orang miskin.

Ia memilih tinggal di sebuah gua di Mesir. Tindakan ini diikuti oleh orang-orang lain, namun keberadaan mereka tidak terkoordinasi (masing-masing melakukan askestisisme tanpa keterkaitan satu sama lain secara organisatoris atau hirarkis).

Simon the Stylite (390-459 M) mengubur tubuhnya di tanah sampai leher selama berbulan-bulan. Beberapa seni Kristen kuno (lukisan, pahatan, dsb) dalam periode ini menggambarkan beberapa tindakan ekstrim dari orang Kristen, misalnya Macarius yang merasa sangat menyesal karena telah membunuh seekor nyamuk.

Sebagai bukti penyesalan, ia hidup di rawa-rawa dan membiarkan dirinya disengat berbagai serangga. Contoh lain adalah seorang pertapa (biarawan) yang membakar jari-jari tangannya untuk menghindari godaan seksual.

Pada periode-periode selanjutnya, praktik kebiaraan bersifat komunal (hidup bersama sebagai komunitas dengan peraturan tertentu yang mengikat).

Sumber ide kehidupan asketis seperti di atas tidak diketahui dengan pasti, sehingga menimbulkan kontroversi di kalangan para sarjana (C. T. Marshall, “Monasticisme”, Evangelical Dictionary of Theology, ed. by Walter A. Elwell, 728).

Beberapa menduga orang-orang Kristen dipengaruhi oleh pola hidup sekte Yahudi Essenes/Qumran yang sangat saleh, sedangkan yang lain mengusulkan beragam aliran mistisisme bercorak dualistik Yunani sebagai pemicu lahirnya asketisisme.

Pandangan mayoritas sarjana mengarah pada berbagai faktor yang bersumber dari pola pikir tertentu yang saling berkaitan. Faktor-faktor tersebut antara lain: (dikembangkan dari Earle E. Cairns, Christianity Through the Centuries, 3rd ed.. 90-93):
  1. Konsep dualisme Yunani yang menganggap hal-hal materi (termasuk tubuh) jahat dan non-materi (spiritual) adalah baik. Konsep ini semakin berpengaruh seiring dengan perkembangan ajaran Gnostisisme sejak abad ke-2 M. 
  2. Beberapa teks Alkitab yang dianggap mengajarkan penderitaan, misalnya selibasi (1Kor 7:8), penjualan semua kekayaan (Mat 19:21//Mar 10:21//Luk 18:22), jalan keselamatan yang sempit (Mat 7:14). Sebagian sarjana menduga praktik asketisisme dilakukan orang-orang Kristen sebagai bentuk baru dari hidup yang menderita bagi Kristus, setelah sebelumnya mereka menderita dalam bentuk penganiayaan. 
  3. Keinginan untuk menjauhkan diri dari kenyataan hidup di pusat kota yang cenderung sekuler, tidak teratur dan memberikan banyak godaan (Alister E. McGrath, Historical Theology, 95). Dekadensi moral tersebut semakin dipicu dengan masuknya kaum barbarian ke dalam gereja dengan gaya hidup mereka yang semi-kafir. 
Pada periode selanjutnya, penderitaan tampaknya semakin jauh dari kehidupan orang Kristen. Kebiaraan tetap berkembang, namun tidak seekstrim pada masa awal kebiaraan. 

Dominasi politik, ekonomi dan sosial yang dimiliki para rohaniwan membawa wajah kekristenan yang baru, yaitu kemewahan.

Keadaan ini terus berlanjut, apalagi pasca revolusi kelautan dan industri. Walaupun ada aliran (ordo) kekristenan tertentu yang ingin kembali mempopulerkan konsep dan praktik penderitaan Kristiani, namun secara umum dapat dikonklusikan bahwa topik penderitaan tidak lagi menjadi isu dominan di kalangan kekristenan.

Situasi di atas sedikit berubah seiring munculnya kekristenan di negara-negara dunia ketiga. Keadaan negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin yang relatif sangat miskin serta penganiayaan terhadap orang-orang Kristen memaksa para pekabar Injil Eropa maupun para Rohaniwan lokal untuk menafsirkan ulang dan mempopulerkan konsep Alkitab tentang penderitaan.

Kazoh Kitamori (Theology of the Pain of God) dan G. Gutierrez (A Theology of Liberation) adalah dua contoh para pemikir Kristen yang ingin melihat kemiskinan, penindasan dan penderitaan dari perspektif Alkitab.
Kitamori berpendapat bahwa penderitaan – yang dia percayai bersumber dari Allah yang menderita – merupakan inti dari Teologi Kristen. Gutierrez mengambil sikap yang agak berbeda. Menurutnya, orang Kristen tidak hanya dituntut untuk memberitakan kebebasan rohani, tetapi juga pengentasan kemiskinan dan penindasan.


Lusius Sinurat

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.