iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Kentut

Kentut

Siapa tak suka kentut? Kau? Aku suka. Kentut itu nikmat. Bayangkan bila sehari saja kau tak bisa kentut. Duh, sengsaranya... . Perutmu buncit, keras, hampir meledak rasanya. Begitu kentutmu melintasi ambang- nya..hm...kau pun kan bernapas lega. Tidak percaya? Cobalah tahan kentutmu sepanjang hari bila kau kuat. Kurang kerjaan katamu? Katanya kau butuh bukti... .

Pagi ini kentut mengawali hariku sekaligus membantuku menghindar dari dosen yang kubenci. Pasalnya? Aku kentut di ruang kuliah. Mulanya dosen masuk dan membagikan hasil ujian tengah semester kemarin.

Melihat nilai yang tertera di kertas ujianku, perut terasa mual seakan ada yang masuk dan dugem di dalamnya. Sedetik kemudian aku kentut. Tanpa suara tentunya. Aku sudah berlatih belasan tahun untuk dapat kentut tanpa suara. Ekspresi mukapun sudah kulatih dengan tekun.

Begitulah kentutku yang pertama hari itu mengudara. Bayangkan saja ruangan 4x5m dipenuhi dinginnya penyejuk udara beraroma kentut. Tanpa menunggu lebih lama, dosen segera membubarkan kelas.

“Absensinya bagaimana, pak?” tanya seorang rekan mahasiswa berteriak.

“Sudah semua,” jawabnya balas berteriak, mengacungkan amplop cokelat berisi kertas-kertas ujian kami, sambil terus berjalan cepat menuju ruang dosen. Maksudnya tentu bila mahasiswa itu hadir, berkas ujiannya sudah berpindah tangan.

Dari situlah absensi dilakukan. Aku, sebagaimana mahasiswa malas lainnya bersorak senang punya waktu luang tambahan selama dua jam. Sebagian lainnya sibuk bertanya,

“Masak hanya karena seorang kentut saja perkuliahan harus dibubarkan? Lantas, untuk apa datang pagi-pagi? Untuk apa bayar uang kuliah? Huh...”. Ya...benar juga, mengapa bisa semudah itu membubarkan kuliah?

Belakangan aku tahu, ternyata pagi itu dosen tersebut juga kentut di ruang kuliah, mungkin bersamaan denganku. Dengar-dengar lagi, pagi itu sang dosen sarapan semur jengkol.

Pantas ia membubarkan kelas begitu saja, malu bila tersebar bahwa kentutnya begitu memabukkan. Sebuah keberuntungan bagiku, tak perlu mengaku dan menanggung malu atas kentutku. Ha ha ha

Bingung hendak kemana, kuayunkan kaki menuju kantin dan memesan semangkuk mie ayam. Kantin terasa lengang, tentu saja, sementara sebagian besar mahasiswa masih berusaha menahan kantuk mendengar dosen berceramah. Tak sampai lima menit semangkok mie ayam tersaji di hadapan.

Melihat potongan ayam yang bertaburan di atas mie, aku teringat pesan teman-teman beberapa waktu lalu. Jangan makan ayam! Flu burung! Apa lagi flu burung jelas-jelas sudah menelan korban di daerah tempat tinggalmu!

Betapa perhatiannya teman-temanku itu. Memang, aku tinggal bersama keluargaku di daerah Serpong yang sempat heboh dengan kasus flu burung. Rumahku hanya berselang beberapa gang saja dari rumah korban, bahkan.

Namun, rupanya aku masih tak dapat melepaskan kenikmatan makan ayam. Apakah aku tak takut mati? Lantas apa yang aman untuk dimakan? Daging sapi dengan resiko anthrax? Daging babi dengan cacingnya? Kambing dengan kolesterolnya? Sayur-sayuran dengan pestisidanya? Aku memilih bernyanyi, “sudah biarkan aja..” dan tetap makan semuanya.

Pedasnya mie membentuk bulir- bulir keringat memenuhi dahi. Sambal yang sama tampaknya juga menaikkan suhu di perutku dan merangsang sensasi kentut.. Tak ubah balon yang ditiup, udara mengembang yang memenuhi perutku memaksa untuk dikeluarkan sesegera mungkin.

Sedetik kemudian, sekelompok mahasiswa putri yang baru saja bergabung di meja yang kutempati beberapa menit yang laluberanjak bangkit dari duduknya dan mencari tempat lain yang lebih nyaman. Tangan mereka tampak kewalahan mengumpulkan barang-barang milik sambil berusaha menghalau aroma kentut dari lubang hidung.

Aku hanya tersenyum dalam hati. Hidung berairku secara otomatis mencegah kentut yang telah kukeluarkan kembali masuk dalam tubuh lewat sistem pernapasan. Sayang juga, pemandangan indah berlalu dari hadapan. Namun, tetap, sensasi kentut lebih memuaskan.

Setelah menandaskan mangkok mie dan membayarnya, kaki kulangkahkan menuju perpustakaan. Kantuk mulai menyerang seiring penuhnya perut dan udara yang semakin panas.

Sejuknya ruang perpustakaan sungguh tepat menjawab keinginanku untuk terlelap, bila saja aku diberi sedikit ruang untuk duduk di sofa tengah yang kini terisi pebuh atau sedikit waktu untuk menempelkan kepala di meja. Baru saja mata terpejam dan mulut membuka lebar, sebuah buku setebal hampir lima centi singgah di kepala.

“Duh, kira-kira dunks.....sakit niey...klo benjol gimana,” semprotku manja. Manja? Ya, manja. Oh ya, belum kukatakan, aku tengah menekuni seni peran dan bergabung dengan teater kampus. Peran yang akan kubawakan pada pentas berikut adalah seorang waria. Jadi, jangan heran bila kau berpapasan denganku di koridor kampus, aku bertingkah „aneh‟.
“Geuleuh pisan (Sunda: menggelikan sekali )..hi..hi..,” sahut teman-ku bergidik.

“Udah lah..mulai aja yuks..sejam lagi gw ada rapat,” timpal yang lain. Jadilah pagi menjelang siang itu kami berkutat dengan faktur, jurnal, neraca, saldo, dan tetek bengek-nya.

Sekian menit berlalu. Rupanya efek sambal mie tadi ditambah cemilan semalam, biji beton (Biji nangka yang dimasak dan dikonsumsi sebagai makanan ringan ), masih terasa. Aku pun mengeluarkan kentut yang ketiga di hari itu. Hasilnya? Bisa ditebak.

Pengguna perpustakaan langsung semaput, tak terkecuali petugas-petugasnya. Seheboh itukah? Hehehe..tidak segitunya...minimal teman-teman belajarku langsung mengibaskan tangan berusaha menjauhkan aroma kentut dari diri mereka.

Apa katamu? Aku terkesan bangga dengan kentutku? Oh, tentu...berkat kentutku kami dijauhi nyamuk, semut, dan serangga lainnya ketika kemping dalam rangka ospek fakultas. Tentu saja waktu itu tak seorangpun tahu akulah yang kentut. Bagaimana caranya? Aku tidak akan mengatakannya padamu. Nanti kamu menyontek caraku. Ingat, hak cipta dilindungi undang-undang.

Kau sebal padaku? Karena aku suka kentut? Hei, aku tidak selalu kentut sembarangan. Kentut itu ada seninya. Dan kalau kau berbicara dari sudut pandang medis, kentut itu baik. Tahukah kau amanat para dokter pada pasiennya yang baru saja menempuh operasi? Yups,jangan makan apapun sebelum bisa kentut. Ha...betul kan..?

Kisah kentut ini sebenarnya masih dapat dijabarkan panjang lebar. Namun, melihat mukamu yang hijau kebiruan itu, lebih baik kusudahi dahulu cerita ini. Dan, satu saran dariku, kentutlah, kau akan merasa lebih baik.

*) Catatan seorang sahabat sekaligus "penggemar" kentut, Arnette Harjanto
Penulis adalah seorang cerpenis yang cukup produktif, bahkan ketika masih SMP cerpen-cerpenya pernah dimuat di majalah Sanurians, Hai, Gadis, Komunika, dll.

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.