iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Konsep Tanpa Resep

Konsep Tanpa Resep
Pada umumnya penikmat makanan enak tidak mau tahu resep makanan yang sedang ia makan. Tentu saja, karena ia hanyalah seorang penikmat. Hanya satu hal yang pasti, ia punya uang untuk membeli makanan enak versinya!

Sebaliknya, ada juga chef terkenal yang tak sempat menikmati hasil racikannya. Tentang hal ini inang-nang di Samosir sering berkeluh-kesah pada dirinya sendiri: "Ibaen na iba i haroa mangalompa ate, lak gabe so mardai sipanganon on" (Mungkin saja karena saya sendiri yang memasak, maka saya enggak bisa merasakan betapa enaknya makanan ini).

Anda tergolong sebagai penikmat atau melulu sebagai peracik yang tidak menikmati hasil racikan Anda?

*****
Saya tidak akan membahas soal makanan pada tulisan ini. Saya hanya ingin menegaskan satu hala, yakni betapa banyak orang di jaman ini yang tidak bisa menikmati hasil kerjanya.

Hari-hari ini begitu banyak orang bekerja tanpa fokus. Alasan mereka biasanya karena begitu banyak pilihan pekerjaan yang terbentang di depan mata.

Konon katanya, banyaknya pilihan menjadi alasan untuk tidak mengerjakan apapun? Beberapa rekan kerja saya dulu selalu bertutur gamang, "Bang, kita dapat tawaran dari ini dan itu, dari si anu dan si anu, bla..bla...bla..!" Ya, semua hanyalah "tawaran" fiksi dan tak belum tentu berlanjut ke arah yang lebih serius.

Jaman ini memang membentangkan berlaksa hamparan tawaran menarik, hingga kita bingung memilih. Akibat lebih lanjut, kita lantas tak fokus hanya pada satu pilihan yang tersedia.

Informasi tanpa formasi

Era ini adalah "era informasi tanpa formasi". Setiap detik aliran informasi tak bisa dibendung. Salah satunya adalah informasi tentang cara memuaskan hasrat dan keinginan hidup.

Tak sedikit melihat situasi ini sebagai gerbang menuju keberuntungan. Kaum kreatif pun menjawab hasrat itu dengan menyiarkan iklan yang sama secara berulang-ulang di media cetak dan elektronik demi meraup keuntungan. Dengan cara ini kaum kreatif telah berhasil menjawab keinginan menjadi kebutuhan.

Sederhananya, kaum kreatif yang dikemudian hari menjadi produsen ini bisa "menjadi racun yang tampil dengan kemasan emas". Menjadi racun karena mereka berhasil menjajakan kenikmatan sebagai solusi bagi tiap persoalan hidup konsumennya.

Menonton realitas melalui media informasi menjadi kebutuhan yang tak terbendung. Orang tak lagi sempat mengolah apa yang sesungguhnya terjadi. Sedemikian parah hingga orang tak sungkan menyimpulkan sesuatu peristiwa cukup dengan mengatakan , "Ya, saya sudah tahu", "Saya sudah dengar", "Saya sudah melihat dengan mata sendiri", "Saya sudah menyaksikan peristiwa itu", dan bla bla bla.. 

Nyatanya mereka hanya menonton televisi, membacanya judulnya secara sepintas di internet, atau hanya lewat pesan WA yang di-broadcast oleh orang tidak mereka kenal. Sekali lagi, banyak orang yang merasa semua hal dia tahu, tapi sejujurnya tak satu hal pun yang mereka sungguh tahu.

Mimpi bukan untuk dikatakan, tapi untuk diwujudkan

Mungkin Anda pernah mengenal seseorang yang selalu berbicara hiperbolik tentang semua hal. Ada yang mengatakan kalau ia orang hebat karena sering ketemu pejabat dari kementrian A-B-C-D, kenal dekat dengan artis E-F-G-H, dan kalimat-kalimat sejenis. Namun ia hanya berhenti di titik "saya kenal" dan tak pernah bermimpi ingin seperti orang-orang yang ia kenal tadi.

Bekerja dengan para penjaja mimpi, kalau tidak hati-hati akan menyingkirkan Anda dari realitas dari hidup yang sebenarnya. Selanjutnya diri Anda akan dipenuhi oleh segala impian yang abstrak dan kosong.

Akhirnya yang terjadi berikutnya adalah Anda akan selalu bekerja tanpa konsep, berbuat tanpa rencana, duduk menunggu tanpa pernah berdiri dan berlari, memperbanyak "pertanyaan" tentang hakikat dari "hidup untuk bekerja".

Semarang, 13-0-'13


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.