iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

YA tapi TIDAK vs TIDAK tapi YA

YA tapi TIDAK vs TIDAK tapi YA
Dalam berbagai kesempatan sebagai pembicara dalam training/seminar/workshop, saya selalu mengatakan satu hal penting ini: Hidup harus berjalan selaras di atas kesatuan total antara pikiran dan hati kita. Secara simbolik peserta saya ajak untuk menundukkan kepada hingga dagunya merapat rekat ke dadanya seraya fokus melihat ke arah "hati"-nya. Mau tahu yang terjadi? 

Kebanyakan orang tidak kuat berlama-lama dengan tindakan simbolik ini. Demikianlah hidup kita selama ini berjalan. Kesadaran (awareness) bahwa kita adalah mahluk royal mengumbah PIKIRAN, tapi pelit menggunakan HATI.

Mungkin Anda adalah orang yang selalu mengingatkan orang lain yang akan bepergian dengan kata-kata "Hati-hati ya di jalan!" Kenapa sih kok istilah "hati" yang dipake? Kok enggak diganti aja jadi "Pikir-pikir ya di jalan!" Jawabannya singkat. 

Erich Fromm (ahli psikoanalisa) mengigatkan bahwa bahaya yang akan menimpa kita bila hanya mengandalkan melulu pikiran kita. Kecanggihan teknologi abad ini tak ayal lagi bisa menjadikan kita mahluk otomaton di mana seseorang - dengan dominasi potensi pikirannya  bisa menjadi mesin otomatis. 

Di satu sisi, semua hal atau peristiwa hendak diketahui, kendati tak pernah utuh alias parsial saja: "Aku pikir aku pinter, taunya bego!" Sejalan dengan Fromm, manusia adalah mahluk berpikir (bahkan Anak Berkemampuan Khusus [ABK] sekalipun !); dan 'kemampuan akal budi' inipula lah yang membedakan kita dengan mahluk lain. 

Tanpa diminta atau diingatkan, otak kita selalu berpikir. Sayangnya, kendati memiliki hati, manusia kerapkali lupa 'memaksimalkan' fungsi hatinya. Ilmu psikologi mengimani bahwa kesadaran muncul ketika pikiran dan hati menyatu-padu dalam aksi pengungkapan diri. 

Ilmu Teologi pun menegaskan bahwa keistimewaan (privelegi) manusia terletakj justru pada kemampuannya mengungkapkan dirinya sebagai representasi Allah; dan letak representasi itu adalah hati nurani. 

Dalam hidup sehari-hari kita akrab dengan istilah "komitmen". Orang yang memiliki komitmen tak lain adalah mereka yang setia melakukan apa yang telah dikatakan/dijanjikannya kepada diri dan sesamanya. Si Komit tak lain adalah dia yang berpikir dengan hatinya.

Dua orang anak yang sama-sama disuruh oleh ayahnya pergi ke ladang menggambarkan betapa kita kerap mengagungkan satu bagian dari diri kita, tetapi serentak menafikan bagian lainnya (tidak komit terhadap apa yang telah dikatakannya). 

Anak pertama mengatakan "ya" di mulutnya, tapi "tidak" dalam hatinya; sementara anak kedua dengan tegas menolak perintah ayahnya dengan mengatakan "tidak" di mulutnya; untungnya ia kemudian sadar (di dalam hatinya) bahwa hal itu salah dan harus meng-counternya dengan "meng-iya-kan" instruksi itu di dalam hatinya. Seakan-akan ia memberikan piala kemenangan kepada hati-nya dalam pertempuran sengit antara harti dan pikiran di dalam dirinya. 

Konflik dalam diri kita bergerak di ranah ini: pikiran dan hati! Integritas diri kita tercermin dalam komitmen kita untuk senantiasa setia "memihara kesatuan hati dan pikiran kita". Ada orang yang suka mengumbar janji (kadangkala gombal juga termasuk di dalamnya tuh hehe..) tapi pelit menepatinya. 

Sebaliknya, selalu ada saja orang yang tak banyak ngomong (baca: janji) tapi langsung melaksanakannya [Mengenai tipe-tipe kepribadian semacam ini bisa kita pelajari dalam ilmu psikolgi (plegmatik, kolerik, sanguinis, melankolis)].

Bagi seorang pimpinan, tipe pertama seringkali malah lebih disukai: "ya tapi tidak"; apalagi pemimpin bersangkutan adalah tipe ABS (Asal Bapak Senang) atau AIS (Asal Ibu Senang). Jawaban "ya" cukup untuk merenggangkan sejenak syaraf otaknya yang lelah berpikir seharian. Bahwa di belakangnya, perintah itu tak diimplementasikan...tak jadi soal, karena hukum reward & punishment siap mengadili si bawahan kelak. 

Tetapi bagi sebagian kecil pemimpin, tuntutannya adalah Ya dan Ya, masing-masing untuk mengyiyakan perintah juga untuk mengiyakannya pula dalam tindakannya. Mungkin Anda termasuk dalam kategori ini.... Jawaban "ya" tak cukup. Idealnya jawaban YA dalam mulut harus diikuti dengan YA di lapangan. Syukur-syukur itu yang terjadi ! 

Kalaupun tidak terjadi, minimal, kendati "menolak di mulut" tetapi semestinya ia sadar akan kekeliruannya (bertobat, mentanoia), hingga melakukan perintah tersebut  (Mat 21:29 : "Aku tidak mau. Tetapi kemudian ia menyesal lalu pergi juga").

Mengapa? Sebab, esensi hidup kita ada pada satu hal penting, yakni kesadaran bahwa kita adalah mahluk terbatas (pikirannya). Untuk itulah kita membutuhkan "hati" sebagai penawar sekaliguspengarah pikiran kita. Hati lah yang akhirnya menggiring kita untuk mengerti orang lain dengan baik dan secara mendala. 

Bagi Tuhan, perubahan/pertobatan (metanoia) semacam ini jauh lebih agung daripada daripada kesombongan bawha ia adalah orang yang takut dan taat pada perintah Tuhan..tapi hanya sebatas di mulutnya saja. 

Dengan tegas, Yesus pun "membela" tipe terakhir dengan mengatakan "Aku berkata kepadamu, ".....Sesungguhnya pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal akan mendahului kamu masuk ke dalam Kerajaan Allah. Sebab Yohanes datang untuk menunjukkan jalan kebenaran kepadamu, dan kamu tidak percaya kepadanya. 

Tetapi pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal percaya kepadanya. Dan meskipun kamu melihatnya, tetapi kemudian kamu tidak menyesal dan kamu tidak juga percaya kepadanya." (Mat 21:31-32).

Jadi, teman-teman memilih mana neh antara: "YA (di mulut/pikiran) tapi TIDAK (dalam hati)" atau "TIDAK (di mulut/pikiran) tapi YA (dalam hati)" ? Jangan tanya rumput bergoyang... Mari kita tanya pikiran dan hati... hingga kita mereformasi komitmen kita sebagai manusia yang berharga di mata Tuhan.


Refrensi : 
BacaanMinggu, 25 September 2011 HM. Biasa XXVI :
Yeh 18:25-28, Mzm 25:4bc-5,6-7,8-9, Flp 2:1-11, Mat 21:28-32 

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.