iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Kapitalisme: Market Predator

Kapitalisme: Market Predator
Sungguh sangat akrab di telinga kita tentang pidato tahunan para pemimpin negara – dalam laporan pertanggung-jawabannya di hadapan senat atau dewan perwakilan rakyat – yang selalu dengan lantang mengumbar kemajuan yang telah dicapai, terutama kemajuan di bidang ekonomi, seperti pertumbuhan laba, defisit atau surplus anggaran pembangunan, dan seterusnya.

Salah satu indikator yang digunakan antara lain hasil penjualan, profit dan modal yang terus meningkat. Bisa jadi indikator ini ada benarnya, sebab tujuan sebuah perusahaan didirikan adalah membesarkan ukuran bisnis (ekspansi). 

Hanya saja, size seeker ini sering mengejar ukuran karena alasan-alasan yang keliru. Misalnya karena takut “dimakan” pemangsa (market predator).


Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan dalam konteks pembangunan memang bukanlah sesuatu yang jelek. Namun gagasan pertumbuhan akan kontraproduktif saat kita mengaitkannya dengan gagasan tentang ekspansi atau perluasan. 

Bisnis yang tumbuh seringkali akan mengalami ekspansi sebagai sebuah produk ikutan (by product), sesuatu yang berhubungan, atau sebuah gejala dari pertumbuhan.

Namun, begitu ekspansi mengambil alih substitusi dari pertumbuhan - hingga ekspansi tak jarang dipandang sebagai segalanya - maka terjadilah pencampur-adukan antara “alat dan tujuan”. Pertanyaannya adalah apa yang salah dengan pertumbuhan pesat ? 

Ternyata bisnis yang semata-mata hanya mengejar pertumbuhan hanya sedikit saja yang memberi sumbangsih bagi kesejahteraan masyarakat di sekitarnya dibandingkan dengan perusahaan yang tumbuh secara perlahan namun berkelanjutan.

Ada 3 (tiga) faktor penyebab mengapa hal ini bisa terjadi, yakni :
  • Lingkungan sekitar menjadi tidak ramah lagi, sementara lingkungan bisnis (di dalam ) terus berubah. Ketika perusahaan tumbuh sedemikian besar, maka lingkungan bisnis akan bereaksi untuk membatasi bisnis tersebut; 
  • Keterbatasan Resources (SDM) merupakan pembatasan perluasan yang terus menerus. Limitasi-limitasi di dalam organisasi itu akan menjadi faktor yang mengerem ekspansi terus-menerus. Sebagaimana kita ketahui bawha ekspansi itu sendiri akan menciptakan lingkungan internal hingga organisasi bisnis tersebut menjadi tak ramah; 
  • Struktur organisasi yang menciptakan limitasi-limitasi yang berikutnya akan menjadi bumerang di saat terjadi pembesaran ukuran dan kompleksitas yang semakin meningkat. Pembesaran ukuran di luar daya dan kemampuan justru lebih banyak ruginya ketimbang manfaatnya. 
    Dari penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa perhatian para penyelenggara negara terhadap nasib rakyatnya sungguh mengkhawatirkan; apalagi bila kita berbicara tentang peran pemerintah dalam memperhatikan nasib rakyat miskin yang jumlahnya cukup signifikan di negara ini.


    Pertumbuhan sama dengan Ekspansi ?

    Gambaran di atas seakan menyimpulkan bahwa kebanyakan pelaku bisnis menyamakan pertumbuhan dengan ekspansi. Lihatlah betapa Indomart dan Alfamart begitu menjamur di perkotaan, bahkan hingga ke pelosok negeri ini. 

    Mereka seakan tidak sadar bahwa , pada saat itulah ia akan masuk ke dalam berbagai kesulitan. Artinya, sukses dalam ekspansi itu terbatas; tidak memungkinkan pertumbuhan yang nyata. Ekspansi cenderung memperlambat dan mendorong untuk maju. Menjadi besar itu tidak bisa berkelanjutan, kontraproduktif dan seringkali malah merusak. 

    Gagasan untuk menjadi besar (bigness) dibangun dari logika yang meragukan sehingga membawa perilaku yang beresiko dan mendorong orang-orang cerdas untuk terjebak ke dalam pikiran-pikiran yang dingin.

    Menurut Robert M. Tomasko, gagasan pertumbuhan tidak sama dengan “menjad lebih besar”. Pertumbuhan itu bergerak maju ( moving forward ), melampaui batasan-batasan bisnis yang digeluti. Kunci dari pertumbuhan adalah mencapai potensi secara penuh, ukuran yang maksimum. 

    Bisnis akan tumbuh manakala ia bergerak melampaui batasan-batasan bisnis yang selama ini seakan membatasinya. Pertumbuhan, masih menurut Robert M. Tomasko, adalah sebuah proses yang berkelanjutan—bukan kondisi yang statis—maka ia akan selalu bergerak, bukan sebagai tempat tujuan.

    Pertumbuhan juga selalu merupakan sebuah gerakan yang menawarkan kemampuan yang semakin meningkat untuk menata masa depan secara lebih independen dan mandiri. Dengan demikian pertumbuhan bisnis sesungguhnya merupakan mindset game, dimulai dengan orang, bukan strategi.

    Pertumbuhan akan terjadi kalau tantangan yang dihadapi direbut dan kapabilitas baru diciptakan ataupun ditambahkan untuk memenuhi tantangan itu. Sebelum pertumbuhan terjadi dalam bisnis, ia sudah harus ada dalam pola pikir dari para growers—individu-individu yang mempunayi kemampuan untuk melihat berbagai kemungkinan yang tidak dilihat orang lain. 

    Keberhasilan yang sesungguhnya terletak dalam kemampuan imaginasi, dan bukan oleh rangkaian merger, manipulasi harga saham ataupun kepintaran bermain angka-angka akuntansi.


    Pertumbuhan dalam Pengelolaan Orang Miskin

    Pada indikator inilah termaktub 7 ( tujuh ) karakteristik yang memungkinkan pemerintah bisa memprakarsai dan mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan di sektor pelayanan publik, khususnya bagi rakyat miskin.

    Ketujuh faktor tersebut adalah :
    1. Melihat kemiskinan dengan cara pandang yang berbeda; 
    2. Berusaha untuk tahu apa yang sungguh diinginkan rakyat miskin; 
    3. Memaparkan kondisi rakyat miskin yang sesungguhnya (tanpa manipulatif); 
    4. Menciptakan tekanan-tekanan positif (positive stimulation) kepada rakyat miskin dengan tujuan untuk mendorong gerak maju mereka; 
    5. Merebut hati dan pikiran para pemerhati rakyat miskin; 
    6. Menjadi ahli dalam memanfaatkan momentum bagi rakyat miskin; dan 
    7. Mengetahui kapan harus melangkah dan bagaimana membagi profit dari yang diperoleh lewat berbagai kegiatan bisnis kepada rakyat miskin, tapi bukan sekedar BLSM sebagai kompensasi dari kenaikan harga BBM. 
    Hidup bernegara semestinya dibangun di atas filosofi di atas. Pemerintah harus memperhatikan pentingnya orang atau individu, baik eksternal dengan cara membantu rakyat miskin dengan langsung “memulainya dengan orang, bukan strategi !”


    Pertumbuhan yang Mengubah Paradigma Tentang Kemiskinan

    Banyaknya permasalahan dan kurangnya penanganan dengan baik terhadap orang miskin membuat hak-hak mereka terabaikan dan bahkan cenderung dilanggar (baca: tak dipenuhi). 

    Kurangnya penanganan dengan baik tersebut bahkan mengakibatkan stigma rakyat miskin sebagai efek dari kemalasan. 

    Tanpa disadari masyarakat sendirilah yang memberi stigma dan labeling negatif terhadap orang miskin ini dengan tidak memberikan kesempatan dan ruang bagi mereka untuk berubah dan mengembangkan diri mereka. 

    Untuk itu paradigma terhadap kemiskinan sudah saatnya harus diubah, yakni dari pendekatan derma menuju pendekatan pemberdayaan.

    Keprihatinan di atas bukannya tanpa alasan. Dari kenyataan yang ditemui, orang miskin (tidak mempunyai modal) tidak jarang mendapatkan perlakuan diskriminatif, yang pada akhirnya membuat mereka harus ‘bergantung’ pada pemerintah atau kebaikan orang di sekitarnya. Padahal kebergantungan itu akan melemahkan si miskin itu sendiri. 

    Dampak psikologis dari diskriminasi pun keterbatasan mereka justru bisa membuat mereka tidak mampu lagi berkembang secara optimal dari segi mental.

    Hal penting lain yang layak kita apresiasi adalah besarnya biaya hidup, biaya pengobatan dan lain sebagainya yang membuat mereka semakin dilemahkan. Kenyataannya tidak jarang anak-anak yang berasal dari keluarga yang level ekonominya lemah akan melanjutkan 'penderitaan' orangtua mereka. 

    Akibatnya, anak-anak yang tidak mendapatkan penanganan yang layak ini akan 'meramaikan' jalanan dengan menjadi gembel dan peminta-minta hingga akhirnya pemerintah mempersalahkan mereka karena hidup di jalanan. 

    Menyikapi hal tersebut pemerintah semestinya berupaya mendukung mereka dengan mendapatkan modal usaha yang disertai dengan pendidikan dan pendampingan yang maksimal.


    Posting Komentar

    Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.