iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

In-telek-tual

Tiba-tiba saja aku tersentak dengan pernyataan seorang ibu pekerja keras yang hanya lulusan SMP itu,

"Bang, semua orang pintar pasti pintar ngapusi (bohong). Saya pernah mengabdi pada 3 majikan yang berbeda, tapi sama-sama orang terdidik bahkan dua dari antara mantan majikanku itu sudah profesor lho. Enggak tau ya, bang... kok ya ketiganya sama aja."

"Maksudnya, bu?" tanyaku penasaran.

"Ya iyalah bang, masa iya senang menjanjikan sesuatu. Salah satu majikanku yang suami-istri profesor janji di hadapan saya dan anak saya kalau anak saya akan dikuliahkan hingga lulus.

Tapi faktanya, tak satupun dari orang-orang pinter itu yang ingat janjinya. Yang terjadi malah kerjaan saya ditambah dan dikondisikan supaya aku tidak betah di rumahnya.

Ya, sepertinya mereka takut kalau suatu saat nanti aku menagih janji mereka. Pokoknya, bang, dari pergaulan dengan orang-orang pinter itu aku malah dapat kesan bahwa orang enggak usah sekolah tinggi-tinggi karena suatu saat setelah sukses mereka akan sombong dan suka ngapusi. 

Lantas untuk apa saya sekolahkan tinggi-tinggi anak-anakku kalau setelah laulua mereka hanya menambah jumlah orang yang suka ngapusi?"

Benar atau tidaknya simpulan di atas, tapi itu adalah pengalaman nyata seorang 'orang biasa' ketika berhadapan langsung dengan orang yang status pendidikannya lebih tinggi. Walaupun kita semua tahu bahkan pernah mengalami secara langsung apa yang dialami si ibu dalam kisah nyata di atas, kendati dalam kongtur yang berbeda, tentunya.

Percaya atau tidak, bila strata pendidikan adalah acuan untuk menjadi pejabat, maka betapa tercengangnya kita saat bertemu dengan presiden, menteri, gubernur, bupati, camat, lurah, RT, RW, apalagi saat berhadapan dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hanya sibuk dengan kantong masing-masing. 

Kita juga pasti akan terkejut ketika polisi yang menyetop kendaraan kita, tapi tak bisa menjelaskan dengan bahasa sederhana (baca: jujur) mengapa kita diberhentikan, kecuali hanya mengatakan 

"Pokonya saudara telah melanggar rambu-rambu lalulintas!" Ya, itu saja yang selalu kita dengar. Tentu, selalu diakhiri dengan tindakan pemeriksaan kelengakapan surat kendaraan...dan, yang terpenting kendati selalu ditempatkan di akhir, meminta sejumlah uang untuk membayar kebodohan mereka.

Saya jadi ingat dengan betapa keukeuhnya seorang ketua RT dengan pernyataannya bahwa yang disebut keluarga hanya bila ada perkawinan (ayah-ibu-anak) alias keluarga inti, dan hanya itu yang boleh punya Kartu Keluarga. 

Dia lupa fakta bahwa sudah puluhan tahun saya dan mungkin Anda pernah masuk di KK asrama atau kantor tempat Anda tinggal.

Juga, kita akan terperangah dengan menteri dalam negeri yang ngotot bahwa e-KTP tidak boleh difotocopy, atau anggota Dewan yang selalu mencari proyek pembuatan atau revisi undang-undang tanpa pernah peduli efek negatifnya bagi masyarakat. 

Dan tak boleh kita lupakan, betapa seorang presiden kita yang jenderal dan berpendidikan S3 Pertanian itu tak pernah memikirkan keamanan masyarakat, apalagi melirik persoalan 'keamanan' pangan untuk masyarakat, khususnya para petani. 

Ingat, setiap tanggal 16 Agustus, presiden selalu lantang berteriak soal kemajuan yang telah dicapai, tetapi..maaf... hanya dalam bentuk angka-angka yang tidak riil.

Mungkin, seperti ibu yang saban hari harus mencuci ratusan pasang pakaian majikannya di atas, kita pun akan setuju bahwa "Orang (Indonesia) itu makin pinter otaknya..ya makin pinter ngapusi-nya!" Tapi apakah kita lantas pesimis dengan kondisi riil di atas? 

Maksud saya, apakah karena sebagian besar orang pinter di Republik ini adalah para pembohong dan para pengingkar janji, lantas kita tak mau sekolah atau menyekolahkan anak-anak kita hingga S3? 

Toh, berangkat dari realitas bahwa "kita selalu dibohongi" semestinya kita harus berani lebih maju dari mereka dan membuktikan bahwa '(anak-anak) kita harus lebih pinter dan lebih jujur dan rendah hati di hadapan sesamanya, terutama mereka yang tak banyak mendapat kesempatan untuk sekolah seperti kita!'

Boleh aja sih PESIMIS, tapi OPTIMIS kayaknya jauh lebih baik deh. Bener gak sih?


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.