iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Pendidikan Nilai


PENDIDIKAN NILAI tidak sebatas pada teori dan pengajaran, tetapi harus disertai dengan perilaku hidup. Antara kata dan perbuatan harus sinkron, sejalan. 

Pendidikan nilai pasti gagal total bila pelanggaran-pelanggaran moral masih terus berlangsung. Penanaman pendidikan nilai harus ditunjukkan melalui sikap-perbuatan yang kongkret.


Penanaman Pendidikan Nilai

MENGAPA para pejabat negara dan politisi semakin gandrung melakukan praktik KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme)? 

  1. Mengapa aparat penegak hukum cenderung melanggar peraturan-peraturan hukum yang mereka buat sendiri? 
  2. Mengapa para elite politik suka ''cakar-mencakar'' dan berusaha menjatuhkan lawan-lawan politiknya? 
  3. Mengapa kaum intelektual cenderung melanggar etika profesinya dan visi-misi luhurnya? 
  4. Mengapa sesama anak-anak bangsa senang menabur benih-benih kebencian, permusuhan, dengki, dan dendam? 
  5. Mengapa para siswa-siswi dan mahasiswa-mahasiswi sering terlibat dalam aksi-aksi kekerasan, pornografi, seks bebas, narkoba, dan aneka macam penyakit sosial lainnya? 
  6. Mengapa antarsesama anggota keluarga sering terjadi percecokan, perkelahian, bahkan berakhir pada pembunuhan? 
  7. Mengapa hidup kita selalu diwarnai tragedi-tragedi kemanusiaan yang memilukan, dan seterusnya? 

Salah satu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas adalah karena kita gagal menumbuhkembangkan pendidikan nilai, baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat.

Dalam beberapa dekade terakhir ini, pembangunan kita cenderung berorientasi pada sesuatu yang bersifat pragmatis, yaitu hasil yang bisa dilihat dengan mata dan dinikmati oleh perut.

Institusi pendidikan yang fungsi awalnya untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya, saat ini tidak lebih dari sekadar lembaga bisnis dan industri yang melihat peserta didik (siswa-siswi) sebagai objek yang siap menjadi ''ATM''.

Pada saat yang bersamaan, moral dan etika bukan lagi menjadi ''menu bergizi'' bagi murid sekolah (juga guru), tetapi telah menjadi ''komoditas eceran''.

Pada dasarnya pendidikan nilai itu hanya dapat diwujudkan atau dijabarkan dalam suatu kebersamaan. Oleh karena itu, untuk melakukannya hampir tidak mungkin tanpa rasa empati dan penghargaan kepada orang lain, kepada segala sesuatu di lingkungan alam dan lingkungan sosial, yang mengerucut pada penghargaan kepada kehidupan. Sementara empati tak mungkin muncul tanpa kepekaan terhadap berbagai persoalan tanpa sekat-sekat ras, etnis, agama, golongan, dan lainnya.

Nilai merupakan integritas hidup seseorang yang akan tercermin dalam pilihannya: cara berpakaian, teman-teman yang dipilih pasangan hidup, interaksi sosial, dan bagaimana hubungan keluarga dengan saudara-saudaranya. Pendidikan nilai membantu banyak orang untuk membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang harus diprioritaskan dan mana yang tidak diprioritaskan, mana yang perlu dan mana tidak perlu.


Masalah Mendasar

Dalam pendidikan nilai, ada tiga masalah mendasar yang mesti dipahami oleh para pendidik (guru) dan siapa saja, yaitu apa yang harus diajarkan (filsafat), bagaimana anak belajar dan memahami nilai moral (psikologi), serta dalam masyarakat apa dan macam mana nanti kita (sosiologi).

Menolak pentingnya filsafat berarti menerima saja yang diperintahkan oleh suatu sistem tertentu. Mengesampingkan psikologi sebagai suatu sarana didaktik metodik pendidikan berarti membiarkan para pendidik seenaknya menggunakan metode-metode pendidikan yang belum teruji kebenaran ilmiahnya. 

Mengabaikan hakikat tujuan pendidikan moral dalam rangka sejarah (masyarakat) berarti menerima saja masyarakat seperti apa adanya tanpa peduli mengenai apa yang akan terjadi di masa mendatang. Lantas, apa model pendidikan nilai yang mesti ditumbuhkembangkan?

Salah satu model pendidikan nilai yang pantas dipertimbangkan untuk ditumbuhkembangkan dalam sistem pendidikan kita ialah metode klarifikasi nilai-nilai pada diri anak-anak didik. Gagasan dasar yang melandasi metode ini ialah bahwa setiap anak berhak dan bertanggung jawab atas pendidikan nilai bagi kehidupannya sendiri.

Tugas pendidik sebatas menyadarkan setiap anak atas nilai-nilai kehidupan yang dipilihnya sendiri secara bebas dan bertanggung jawab. Tampaknya, metode ini sangat sederhana.

Akan tetapi, sesungguhnya terdapat tujuh langkah yang menjadi prinsip klarifikasi nilai, yaitu:
  1. nilai harus dipilih secara bebas, 
  2. nilai harus dipilih dari berbagai alternatif, 
  3. memilih nilai sesudah dipertimbangkan akibat-akibat dari pilihannya, 
  4. nilai harus diwujudkan di hadapan umum, 
  5. nilai adalah kaidah hidup, 
  6. nilai selalu dipelihara, dan 
  7. berani mengemukakan nilai di depan orang lain. 
Ketujuh langkah klarifikasi nilai-nilai ini sangat mencerminkan keutuhan dimensi pendidikan yang produktif dan efisien. Langkah pertama sampai ketiga termasuk dimensi kognitif (menekankan kemampuan rasional).

Keempat dan kelima mencerminkan dimensi afektif (penghargaan dan rasa bangga), langkah keenam dan ketujuh mencerminkan dimensi psikomotorik (tindakan kongkret yang terus-menerus dan terpola).

Pendidikan nilai, moral dan etika merupakan hidden curriculum yang secara integral terkait dengan hampir semua mata pelajaran sekolah. Keberhasilan menanamkan dan menumbuhkembangkan nilai-nilai tersebut tergantung dari peranan pendidik (guru) yang mendukung sistem penyelenggaraan pendidikan sekolah dan sejauh mana komitmen masyarakat dan pemerintah dalam memberikan teladan kepada anak-anak.

Pendidikan nilai tidak dapat dilaksanakan dengan pengajaran di tengah-tengah pelanggaran moral dan anomali yang terus terjadi seperti sekarang ini.

Musuh utama pendidikan nilai ialah birokrasi yang korup dan serakah, politisi yang berperilaku ''seperti preman'', konglomerat (pengusaha) yang merampas hak-hak ekonomi rakyat, para pendidik yang menempatkan siswi-siswi sebagai ''sapi perah'', para selebritis yang gonta-ganti pasangan, dan eneka macam penyakit moral.

Pendidikan nilai tidak sebatas pada teori dan pengajaran, tetapi harus disertai dengan perilaku hidup. Antara kata dan perbuatan harus sinkron, sejalan. Pendidikan nilai pasti gagal total bila pelanggaran-pelanggaran moral masih terus berlangsung. Penanaman pendidikan nilai harus ditunjukkan melalui sikap-perbuatan yang kongkret. 

Pendidikan nilai di sekolah akan terasa hambar jika penyakit-penyakit sosial masih merajalela di tengah masyarakat kita, di birokrasi pemerintah, di parlemen, pantai politik, institusi pendidikan, agama, dan keluarga. Tidak ada gunanya kita mengajarkan nilai-nilai moral kepada para peserta didik jika perilaku sosial kita bertentangan dengan nilai-nilai moral.

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.