iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Jangan Hapus Tapak Kakimu



Seminggu terakhir ini saya di Yogyakarta. Bukan untuk keperluan bisnis atau pekerjaan, melainkan demi memuaskan antusiasme saya untuk bertemu dengan sesama alumni Seminari Menengah Christus Sacerdos Pematangsiantar atau kami menyebut diri Corona Mea Vos Estis (CMVE) Jateng-D.I.Y.

Benar bahwa kami sedang mengadakan temu akrab di dua tempat selama 2 hari itu. Tempat pertama adalah di pantai nan indah, Pantai Pok Tunggal, Gunungkidul, Wonosari, D.I. Yogyakarta. Sedangkan tempat kedua kami maksimalkan di rumah, tepatnya di cafe milik Sonny dan Airin di Yogyakarta.

Tentang bagaimana jalannya acara ini sudah saya share di FB CMVE dan dilanjutkan di grup yang sama, pada postingan kedua dan ketiga. So, saya tidak akan berbagi hal sama dalam postingan ini.

Saya hanya ingin berbagi pengalaman pribadi saya bersama mereka, orang-orang muda alumni Seminari Menengah Christus Sacerdos Pematangsiantar yang dengan semangat berapi-api datang dan berbagi sepanjang pertemuan ini.

Bagi saya ini adalah pertemuan ketiga yang saya ikuti bersama anak-anak muda Yogyakarta; tetapi bisa jadi sudah menjadi pertemuan ke-10 atau ke-11 untuk teman-teman yang ada di Yogyakarta. Sepanjang pertemuan di Po Sarang, keakraban diantara kami, sesama alumni seminari begitu tampak mempesona.

Meminjam istilah Wilson Manalu komunitas ini adalah komunitas yang mengagumkan, karena sentuhannya. Saya sendiri mengalami peristiwa rohani semacam ini saat saya "terpaksa' sakit gara-gara memaksakan diri untuk ikut, tetapi dengan sangat mudah "disembuhkan" oleh para sahabat ini.

Malam tanggal 28 september, setelah kami pulang dari acara berkemah di Pantai Po Tunggal, tulang-tulang kakiku teras ngilu... dan benar saja perkiraanku, ternyata flu tulang yang saya derita kambuh kembali.

Memang sih penyakit ini tidak mematikan. Tapi bisa dikatakan bhawa penyakit jenis ini adalah gerbang eutanasia, yang membunuh dan mematikan tubuh sejenak, karena otot-otot dan syaraf-syaraf sama sekali tidak berfunsi maksimal.

Seluruh badan tak bisa digerakkan. Syaraf motorik mati! Begitu juga dengan otot dan tulang tidak bermanfaat sebagaimana mestinya. Jadi, penyakit ini ibarat jam istirahat total dan tak boleh bergerak.

Tidak boleh minum terlalu banyak kopi dan minuman-minuman kaleng nan instan dan berbagai makanan yang mengotori syaraf. Kata pemerhati kesehatan makanan dan minuman itu mengandung toksin, yang siap menyumbat aliran darah ke tubuh hingga rasanya mati lemas.

Aku tak bermaksud bertutur banyak soal penyakitku, karena sharing ini lebih pada pengalaman spiritualku. Ya, tentang bagaimana saudara-saudaraku, khususnya temen-temen CMVE D.I.Y. bersatupadu membantuku.

Saat aku mengeluh badanku lemas dan ingin duduk, saat temen-temen lain belum datang untuk rapat malam itu, saudara Sonny Farlin yang membantu.

Begitu juga saat aku membutuhkan makan dan minum saudari Airin, pacar Sonny yang siap membantu. Dan diluar dugaan, pasti bukan karena kebetulan melainkan inilah cara Tuhan menghadirkan diri, ada saudara Subandri yang tangkas memijit kaki dan seluruh tubuh, juga dibantu sdr Arie Paranginangin yang juga memijit dan bahkan harus mengalami kecelakaan kecil saat mengambil minyak urut Karo dari rumahnya.

Bahkan sangat ajaib, dan sebenarnya ini belum saatnya saya alami, kedua orang yang aku sebut terakhir, ditambah sdr. Richard Tarigan ini malah rela menggotong saya ke kamar mandi saat kebelet pipis.

Menakjubkan! Ajaib. Plato dan Tappin, yang sudah lebih awal bangun dan menghadiri acara di komunitas karo di Yogyakarta bahkan "pulang" kembali ke rumah Airin dengan membawa makanan khas Batak. Saya tau mereka anak kos.

Saya tau juga mereka berdua membawa makanan pesta, dan bukan beli. Tapi bagi saya pribadi, dan juga bagi teman-teman yang ada di tempat Sonny pada saat itu... Plato dan Tappin tak sekedar membawakan kami makanan.

Tappin dan Plato membawakan kami sesuatu yang sangat berharga: kehadiran yang memesona dan mengatasi ruang dan waktu yang tersisa. Sedemikian mengharukan dan menakjubkan kasih yang aku rasakan, sehingga saat kaki dan seluruh tubuhku mulai normal aku seakan belum siap beranjak dari Yogya dan pulang ke Semarang.

Jam 3 sore yang telah aku jadwalkan bahkan harus aku undur hingga jam 6 sore, karena kebahagiaanku bersama adik-adiku ini sangatlah dahsyat. Tak ada petingsing. Tak ada protes saat aku harus berbaring di saat semestinya aku harus memimpin rapat.

Bahkan saya terkejut ketika saudara-saudaraku ini nyaris mengangkat saya ke ruang pertemuan untuk presentasi tentang bisnis kecil yang sedang kami rancang.

Namun didikan seminari yang sama-sama pernah kami alami membuat setiap orang harus siap dengan berbagai situasi. Tugasku pun dengan cekatan di-handle oleh Sonny Farlin, dan tentu secara bersama dibantu yang lain.

Persaudaraan memang bukan soal saya butuh dan yang lain memberikan. Terminologi persaudaraan justru ada untuk menggambarkan "keterkatian yang erat antar manusia tanpa sekat ruang dan waktu".

Sedemikian salutnya saya kepada semua saudaraku ini, hingga sharing secara khusus aku bagi untuk kalian yang di Yogyakarta: Subandri, Arie, Sonny dan Airin, Tappin, Plato, Richard, Br. Guido, Shansai, Candra, Bastanta, Jonswaris, Frans, Wilson, Guido, etc.

Sepintas sharing ini tampak cengeng, tetapi jauh dari sekedar berbagi pengalaman, aku hanya ingin meluapkan rasa bangga memiliki komunitas Corona Mea Vos Estis wialayah Jateng-DIY yang sangat bisa aku andalkan.

Akhir kata, saya tak mau menghapus jejak tapak kaki di atas kasih dan persaudaraan yang secara riil aku alami. God bless you all, my brothers. Dominus vobiscum !


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.