iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Centilnya Si Anak Penjual Koran

foto illustrator
Minggu dini hari tadi, bersama dengan saudara-saudara aku dari CMVE Jateng-DIY sedang ngumpul santai di taman Tugu Muda yang sangat terkenal di Semarang, seorang putri cantik yang masih belia datang menghampiri kami. Dia membawa beberapa eksemplar koran. Tak banyak. Mungkin hanya 5 eksemplar saja. Tapi gayanya memasarkan koran jualannya bisa dibilang luarbiasa. Si gadis mungil dengan berani menawarkan jualannya dengan lantang. 

Padahal saat itu sudah sekira pukul 03.00wib dini hari. Tak ada rasa takut, pun ngeri. Justru kami yang ketakutan menyaksikan seorang gadis belia masih berkeliaran di tengah taman kota, bahkan hingga dini hari. Ya, ia berkelana hanya dengan beberapa lembar koran di tangannya. 

Dalam benakku terbersit sebuah simpulan hambar, "Jangan-jangan eluarga si gadil anak orang miskin....atau, dia itu anak orang kaya, tetapi tak pernah mendapat perhatian dari kedua orangtuanya." Tapi, karena si gadis mungil tadi justru tertawa terbahak-bahak, imajinasiku tentang siapa gadis mungil itu pun kuhentikan segera. Aku lebih terpesona dengan sosok gadis mungil itu. Sejenak kemudian aku pun berpikir lebih baik menikmati kecentilan si gadis mungil saat digoda oleh 2 sahabat kami yang 'tergoda' membeli koran seribuan yang ia jajakan.

Saat aku dan teman-teman lain mengungkap kegembiraan di acara reuni ketiga CMVE Jateng-DIY kami dengan mendendangkan beberapa lagu hits berbasa Indonesia dan beberapa lagu asing, si gadis justru sesekali ikut menggoyangkan pinggulnya dan turut bernyanyi. Ia gembira. Ia tak merasa - sebagaimana diundangkan oleh  Komite Perlindungan Anak (KPA),  kalau ia sedang mengalami eksploitasi anak oleh orangtuanya. Ia seakan tak peduli dari mana ia berasal, kecuali dalam pikirannya ia harus bisa makan esok hari. Tapi, entahlah.... hanya dia yang tahu.

Saat beberapa sahabat bergantian bertanya tentang latar belakang hidupnya, si gadis, yang awalanya hanya malu-malu dan agak curiga hanya menjawab, "Oom-oom ini mau tau aja deh...". Tetapi setelah kami memperlakukan diri kami sebagai teman baginya , ia pun akhirnya angkat bicara, "Bapa dan ibuku masih ada. Mereka lagi istirahat di rumah". Jawaban ini membuat ku gatal untuk bertanya tentang lanjut.. "Terus, mengapa mereka menyuruh kamu jualan koran di malam hingga dini hari?" tanyaku lebih lanjut. Ia cuma bilang, biasa oom, cari tambahan biaya sekolah dan uang jajan!".

Sunguh, aku benar-benar terenyuh mendengar jawaban seorang anak yang kreatif itu. 'Bagaimana mungkin seorang gadis beli, berusia belasan tahun harus mencari sendiri uang sekolah dan uang jajannya? Udah gitu kok malah jualan koran di malam hingga dini hari di tengah kota yang kejam ini?' protesku dalam hati.

Tetapi, sekali lagi, hayalanku tentang hidup si gadis belia tiba-tiba terhenti oleh tawa renyahnya pada saat digodain sama teman-temanku yang memang dari tadi berakrab ria dengan dia. Ia malah menirukan aksen khas Batak seorang teman saat berbincang dengan dia. 'Wah, hebat sekali anak ini!', pikirku sejenak. 'Ia masih bisa menghibur orang lain di saat dirinya sendiri sebetulnya membutuhkan bantuan dan hiburan atas nasibnya yang kurang beruntung dibanding anak-anak lain.'

Tak lama peristiwa ini terjadi. Seingatku, pertemuan kami dengan si gadis belia hanya terjadi selama 10 menit. Yang jelas, di akhir perbincangan kami, dan tentu setelah koran jualannya kami beli 2 eksemplar, ia pun segera ingin beranjak untuk menjajakan koranyang kepada orang-orang yang masih berada di taman itu. 

Tapi teman satu lagi yang kebetulan hobi dunia fotografi dan sedangn memegang kameranya tiba-tiba membujuknya untuk difoto. Saat berposa kami tak habis rasa kagum pada sosok gadis belia ini. Senyumnya merekah dan seolah ingin mengatakan kepada dunia kalau pekerjaan apa pun bisa dilakukan dengan gembira. Ekspresinya yang terkadang menampilkan mimik letih itu pun seakan menjadi kritik atas sistem kapitalisme yang telah merusak dunia anak-anak, oleh karena kebutuhan akan uang begitu menakutakan bagi siapa pun seusia gadis belia itu.

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.