iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Anakku Model Cilik

Anakku Model Cilik
Hari Rabu, 29/1 lalu, sepulang menukar tiket kereta api ke Stasiun Tawang Semarang, aku dan dua sahabat mampir di sebuah mall tua yang masih genit menggoda lidah para pencinta wisata kuliner.

Bukan jenis makanan yang disajikan yang menarik, melainkan sebuah even yang melibatkan anak-anak kecil, fashion show. Ya, di sebuah paggung di lantai dasar mall yang berada di bilangan pusat kota Semarang. Kegiatan ini sangat digemari beberapa pengunjung, kami menyaksikan perhelatan yang biasanya dilakukan oleh orag dewasa.

Anak-anak kecil yang usiaya di kisaran 5-10 tahun berjalan genit dengan langkah gontai dan lenggokan yang memukai para kameramen yang berbaris di depan panggung yang kurang lebih berkuran lima meter persegi. 

Anak-anak itu sepintas lucu, menarik dan tak terlihat lagi rasa canggung di wajah dan tetapan mereka saat memaperkan pakaian anak-anak versi sponsor yang membungkus tubuh mereka.

Itu yang kami saksikan dari lantai dua, persis dari atas tangga berjalan di atas panggung yang memang disengaja para pedagang baju yang sedang dipamerkan itu. Tepuk tangan riuh dari para penonton dan para ibu-biu yang tak lain adalah orangtua dari 'boneka-boneka lucu tapi hidup' itu.

Bukan pertama kali aku, juga dua sahabatku tadi, menyaksikan perhetalatan jenis ini. Tetapi entah mengapa, selalu ada hal menarik di saat anak-anak dipaksa menjadi dewasa hanya untuk menaikkan harga jual sebuah produk bernama pakaian anak-anak dengan motif dewasa.

Motifnya aneh-aneh, mulai dari yang casual hingga baju tidur dengan lengan setipis benang. Kira-kira begitulah yang ditampilkan di atas catwalk yang disulap bak red-carpet yang biasa dilintasi para selebritas Hollywood. 

Busana-busana yang dipamerkan lewat tubuh anak-anak itu pun seakan memiliki tingkatan, mulai dari 'You cannot see', 'you can see', hingga 'all we can see'. Ya, begitu. Tak ada bedanya busana yang dipamerkan oleh model-model dewasa.

Sambutan meriah dengan musik khas peragaan busana menambah semaraknya 'pesta anak-anak' yang hendak menyambut HR Imlek dua hari kemudian. Entah karena anak-anak itu memang mencintai dunia model, entah karena orangtuanya 'memaksa' mereka untuk segera menjadi seorang pesohor, atau mungkin saja iming-iming 'angpao' berupa uang atau piala sungguh menarik bagi anak-anak itu. 

Entahlah, mungkin hanya anak dan orangtua, bahkan hanya orang tua mereka saja yang tahu mengapa anak mereka dijadikan media promosi produk bernama baju, celana, topi, stocking dst.

Seorang psikolog anak, Lucia Grosaru, President and a Founding Member of the Romanian Institute “Sic Cogito”, yang juga sahabat bloggerku, pernah mengingatkan para orang tua mengenai hal ini: "Ajarkanlah anak-anak Anda untuk menjadi percaya diri tanpa bergantung semata-mata pada penampilan mereka.

Anda bisa bersenang-senang dengan mereka dengan membuat gaun untuk meniru karakter dari sebuah dongeng misalnya, memotret hasil karya mereka dan memamerkannya di dinding ruang tidur anak Anda."

Cara seperti ini mungkin saja lebih bermanfaat daripada memamerkan anak-anak Anda dengan pakaian yang belum tentu mereka gemari di pentas catwalk di mall tadi. Lagi, cara memperlakukan anak-anak Anda sebagai anak seusianya jauh akan lebih bermanfaat untuk pertumbuhan mereka. Mereka pun seakan akan terkenang dengan perhatian yang berkualitas di saat Anda menghabiskan waktu bersama-sama saat mereka menciptakan sesuatu.

Masih kata Lucia, "Jauhkan foto-foto yang telah Anda tempelkan di dinding kamara Anak Anda tadi dari perhatia media cetak dan tidak mempostingnya di internet. Sebisa mungkin janganlah mengirim hasil kreativitas Anak-anak Anda ke biro iklan dan berharap anak Anda untuk mendapatkan sponsor untuk meringankan biaya hidup keluarga Anda.

Jadi, bersabarlah dan tidak buru-buru menyulap mereka menjadi orang dewasa dalam waktu sekejap. Hal yang sama juga berlaku untuk para orangtua yang sesegera mungkin ingin menjadikan anak-anak mereka menjadi penyanyi, aktor/aktris di saat mereka bahkan masih duduk di bangku TK atau sekolah Dasar."

* * *
Kiranya sah-sah saja bagi Anda, sebagai orangtua untuk mendorong anak-anak Anda mengambil ekstra-kulikuler menyanyi, belajar akting, drama, dan lain sebagainya dan berbagai kegiatan menyenangkan lainnya yang bertujuan agar para guru dan Anda sebagai orangtua mereka mendeteksi secara alami bakat dan minat anak-anak Anda.

Setelahnya, giliran Anda yang menjalin kerjasama dengan anak-anak Anda sebagai sebuah tim untuk pengembangannya.

Dengan begitu, anak-anak Anda akan belajar tentang bagaimana menjadi bagian dari tim yang menuntut agara mereka tetap fokus, saling membantu dengan orangtuanya, memahi peran hirarkisnya, belajar tentang pembagian tugas, dan yang paling penting si anak akan merasa 'memiliki peran' dalam hidupnya lewat kerjasama antara anak dan orangtua yang terurai dalam sikap saling menghormati dan saling mengakui kekuatan dan kelemahan mereka.

Dengan 'menginvestasikan' anak-anak Anda di sekolah/lembaga-lembaga yang secara instan menyulap bakat mereka agar bisa segera di jual sebagai model, artis, aktor, dst, maka serentak Anda telah membuang momentum kebersamaan dalam cinta yang begitu luarbiasa antara anak dan orangtua lewat kehadiran Anda di tiap tahap pertumbuhan mereka.

Jakarta, 03 Februari 2014

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.