iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Tak Sekedar Berempati dengan Orang Papua

Tak Sekedar Berempati dengan  Orang Papua

Begitu mendarat di Bandara Sentani, Jayapura sekitar pukul 07.30 WIT atau pukul 05:30 WIB segera terlihat kalau di kota ini justru jauh lebih maju dari yang aku pikirkan sebelumnya. Kota Jayapura cukup mengasyikkan juga. Mall dan beberapa hotel juga menghiasi kota paling timur ini.

Sebagaimana juga dengan kota-kota lain, di Jayapura juga cukup banyak kantor-kantor megar milik pemerintahan, beberapa sekolah, satu-satunya universitas negeri, Universitas Cendrawasih dan stu universias Swasta, beberapa rumah sakit, banyak gereja, beberapa mesjid dan juga sudah rada padat dengan lalulalang kendaraan roda empat dan roda dua yang membuat Jayapura semakin semarak.

Kepada supir yang menjemput kami ke bandara dan mengantar ke hotel tempat kami menginap berujar, "Hampir semua bisnis di sini dipegang oleh orang luar. Ya, orang-orang terkaya di kota ini, ya adalah para pendatang," katanya agak miris.

Sang supir cukup bersemangat bertutur tentang kemajuan di kota ini tetapi serentak terlihat dari raut wajahnya muram saat berbicara tentang isu 'dominandi' tadi. Kami tak sempat menanyakan apakah ia orang Papua asli atau bukan. Tetapi dari tampilannya segera kita akan tau kalau ia orang asli Papua.

Banyak penghuni dari luar Papua daripada orang Papua sendiri. Hanya sesekali terlihat penduduk asli di tengah kota, apalagi saat saya dan teman-teman masuk ke Mall Jayapura.

Menarik bahwa sesekali terlihat, di persimpangan jalan, ketika ibu-ibu asli papua menjual pinang dengan paket yang tersusun rapi di atas meja.

Entah ini yang namanya efek globalisasi atau kemajuan jaman yang tak terhindarkan, tapi saya tetap saja terusik dengan realitas di kota ini. Semoga esok hari makin banyak hal baru yang bisa aku nikmati dan pelajari.

Sungguh saya berempati dengan orang Papua, yang tersingkir di tanahnya sendiri. Kendati selalu ada alasan dibalik realitas yang terjadi di sana, misalnya rendahnya mutu pendidikan, akses pendidikan yang sulit, spirit kerja yang kurang, dan lain sebagainya.

Tapi peduli amat dengan hal alasan itu. Yang saya lihat dan saya saksikan sendiri adalah betapa mereka terlempar jauh dari tanah mereka sendiri. Saya sungguh bermpati dengan kondisi mereka, kendati tak banyak yang bisa saya lakukan selain mendukung mereka yang ingin maju lewa jalur pendidikan.

Empati di sini memang bukan sekedar konsep yang sangat menarik, tetapi serentak tampil sangat kompleks. Filsuf, Karl Jaspers bisa menjadi pilihan yang baik bila kita ingin memahami pengertian empati dengan lebih baik.Menurut Jaspers, empati sederhana (kata yang biasanya digunakan saat berpikir tentang apa yang kita gambarkan) berbeda dengan empati yang sebenarnya.

Saya memang berempati dengan orang Papua, kendati rasa empati itu adalah sebuah proses yang kompleks. Di titik inilah saya harus memperhatikan perbedaan antara pemahaman [verstehen] dan penjelasaan (Erklären) sehingga saya mampu melihat kondisi masyarakat Papua sebagai suatu proses yang kompleks sekaligus dan intuitif.

Benar bahwa dengan mengatakan berempati dengan masyarakt papua tak lantas bisa menggambarkan bahwa saya mampu membantu mereka.


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.