iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Tak Hanya di Papua, Politik adalah Uang

Tak Hanya di Papua, Politik adalah Uang
Desa Skow, perbatasan Indonesia dan Papua New Guiena 

Sejak 4 Februari s.d. 10 Maret 2014 lalu saya berada di Papua. Saya dan tim kerja saya menetap sementara di ibukota Papua, yakni Kota Jayapura. Kami bekerja mengaudit keuangan sebuah penerbangan lokal di sana.

Adapun kota yang sempat saya kunjungi, tentu masih berkaitan dengan pekerjaan tadi adalah Kota Sentani (tempat bandar udara untuk Jayapura), Abepura (semacam kota pendidikannya Papua karena dipenuhi banyak sekolah dan kampus PT), Timika (pusat perkantoran Freeport), Kota Wamena (jantungnya Pulau Papua, kota tertinggi dan paling dingin cuacanya), Kota Nabire (kota pelabuhan dengan pantai dan langitnya yang biru), dan kota kecil bernama Oksibil (kota dengan nuansa desa dengan listrik bertenaga surya tetapi sangat terbatas dayanya).

Pendahuluan

Tgl 4 Februari lalu saya dan tim mendarat di Bandara Sentani dan langsung menuju Jayapura, tempat kami menginap di sebuah hotel di jantung kota. Begitu keluar dari bandara kami disuguhkan dengan bill board berukuran besar dengan foto 'Selamat datang Bapak Prabowo dan Bapak Hasyim Djojokusumo". Tentu saja dengan logo Partai Gerindra sebagai latarbelakangnya.

Hal ini terkait dengan kedatangan Prabowo di bulan Februari lalu di Jayapura. Tak jauh berselang, memasuki kota Abepura, kami disuguhi potret Partai Nasdem, lengkap dengan foto pendirinya Surya Paloh. Dan memasuki Jayapura potret SBY dan Partai Demokratnya sangat mendominasi bill board di sisi jalan raya.

Jadi, tak ada papan iklan atau bill board yang menonjolkan foto Jokowi, foto Megawati, atau fotonya Ahok yang se-menonjol ketiga tokoh tadi. Pertanyaannya adalah apakah PDIP tidak berpengaru di Papua? Apakah Jokowi tidak dikenal di Papua?

Kemana pengaruh media elektronik seperti televisi yang saban hari menyiarkan kedua tokoh ini? Benarkah partai di Papua hanya Demokrat yang sedangn memerintah, Gerindra dan partai Nasdem yang baru turut bertarung di kancah pemiliu tahun ini?

Tunggu dulu...!?! Karena ada fakta menarik yang saya temukan di Papua, terutama seputar gemerlapnya pemilu yang akan kita gelar dalam waktu yang tidak lama lagi itu. Fakta-fakta menarik, yang bagi saya juga tampak aneh antara lain:

Politik Kuantitatif

Semua partai peserta pemilu sedang mencoba 'mencuri' pengaruh dari orang Papua dengan cara-cara yang 'ganjil' dan hal ini mereka lakukan secara kuantitatif. Dari beberapa orang yang melek politik yang sempat saya tanya tentang keganjilan itu sepakat, bahwa partai yang menang di Papua adalah partai yang sanggup membayar mahal.

Ya, tentu saja yang mereka maksud adalah partai yang punya banyak uang. Faktanya ada partai tertentu yang rela menggelontorkan uang miliaran kepada masyarakat di pedalaman, bahkan lewat sekda propinsi (pemerintah) dengan syarat mereka mau mencoblos partai dan tokoh tertentu. Maka, partai yang akan menang di Papua adalah partai yang paling banyak memberi uang kepada masyarakat.

Tadinya saya pikir ini hoax atawa kabar burung. Tetapi tak lama berselang, saya melihat dengan kasat mata ketika sekda memberi rekomendasi dan jaminan kepada perusahaan penerbangan yang sedang kami audit untuk memfasilitasi beberapa tokoh adat dari sebuah desa untuk sekedar jalan-jalan ke kota Jayapura (pulang pergi) dengan 2 pesawat sekaligus. Selain uang transport, mereka juga masih disuguhi uang saku yang sangat besar.

Asal tau saja, dari kesaksian orang-orang di sana, pemerintah bahkan rela menggelontorkan 100 miliar rupiah untuk satu desa atas nama uang kompensasi sebagai propinsi paling tertinggal di negara kita. Anehnya, uang itu biasanya diserahkan kepada ketua adat dan selanjutnya ketua adat yang membagikan uang tersebut kepada 'rakyat'nya.

Seperti kita tahu, di Papua, ketua adat sangat berpengaruh. Rex locuta res finita! Ya, kalau raja (baca: ketua adat) sudah mengatakan sesuatau maka habislah sudah perkara! Tak ada ruang bagi rakyatnya untuk membantah!

Bisa Anda bayangkan bila sang ketua adat memberi uang 10 miliar kepada masing-masing keluarga yang ada dibawah kekuasaannya dengan pesan harus mencoblos gambar si A atau partai X.... maka.... (monggo dilanjutkan!!!!!). Hal semacam ini ternyata lumrah di Papua. Maka tak heran bila masyarakat di pedalaman bisa menikmati 'naik' pesawat seperti kita di Jawa ini menikmati naik angkot.

Bahkan ada anekdot sari seorang pemuka agama, "Di papua babi pun naik pesawat, tetapi di Jawa belum tentu semua kepala desa bisa naik pesawat!" Ya, begitu mudah masyarakat lokal mengakses alat transportasi yang masih tergolong mahal itu.

Apalagi, kongtur tanahnya yang berbukit-bukit hingga tak mudah membuat akses lewat darat, juga karena begitu lama pemerintah pusat telah meng-anaktirikan tanah Papua dibanding propinsi lain di negara ini. 

Situasi ini sungguh dimanfaatkan oleh partai-partai besar, terutama oleh partai Demokrat yang memang sedang berkuasa di propinsi Papua.

Poltik Kualitatif (?)

Berbicara tentang caleg-caleg dari Papua beda lagi. Semua calon anggota legislatif, baik untuk DPR-RI atau DPRD dst.... punya cara yang unik dalam mempromosikan dirinya.

Hal unik itu adalah membentangkan spanduk atau bill board besar dan tentunya banyak di jalanan, di depan perkantoran, bahkan di desa-desa: NAMA JELAS, dan diikuti GELAR minimal S2 yang entah dibeli dari mana. Bisa Anda bayangkan ketika semua calon legislatif di Papua mayoritas S2 dan/atau lebih dari satu gelar S2 yang mereka miliki.

Tentang hal ini seorang pimpinan sebuah lembaga keuangan di propinsi Papua berkelakar, "di Papua banyak caleg bergelas MSi alias "Mengetahui Semua ilmu" alias "Merasa (diri) Seorang ilmuwan", padahal mereka membeli gelar di salah satu universitas swasta yang memang hanya satu-satunya yang ada di Jayapura. Apa tidak aneh bin ajaib ketika seorang caleg tidak tahu kepanjangan dari gelarnya?

Tapi di Papua hal itu lumrah saja!

Pertanyaan saya cuma satu, dan pertanyaan ini saya tanyakan ke beberapa masyarakat asli Papua, "Apakah para caleg itu sungguh berpendidikan S2 atau S3?" Supir kantor yang saban waktu menemani kami bepergian dengan nada sinis hanya berkata, "Entah siapa mereka kami pun tidak tahu dan samasekali tidak kenal ! Kami juga tidak tahu dari mana mereka membeli gelar itu!"

Aneh...memang aneh! Tapi itu terjadi di Pulau Cenderawasih, di Papua sana. Saya hanya berharap semoga para caleg itu sungguh jujur dan tahu diri dengan kualitas mereka. Lantas, apakah harapan saya berlebihan?

Pemilu Tanpa Euforia

Selanjutnya, saya akan mengajak Anda membaca situasi yang unik di Papua dalam kaitannya dengan pemilu yang tak lamai lagi akan digelar di negeri ini. Secara ekonomi sosial, Papua cukup mengagetkan bagi saya. Harga beli sangat mahal, mulai dari harga makanan hingga harga kebutuhan afirmasi diri, seperti tempat hiburan.

Orang Papua dengan gamblang menyebut sejuta, dua juta, tiga juta, duaratus juta untuk menghargai sebuah gelang, noken (tas asli Papua), koteka, dan barang-barang khas buatan asli orang Papua. Semua orang, bahkan di pedalaman sekali pun tahu "uang".

Saya bahkan punya pengalaman unik dengan hal ini.

Di kota Wamena, tepatnya di bandara saya sudah 'disuguhi' pemandangan gratis dari masyarakat asli yang menggunakan koteka, atau perempuan yang tak menutup payudaranya. Lebih mengejutkan lagi ketika saya lihat sendiri kalau mereka ternyata menjajakan barang dagangan mereka dengan harga selangit, termasuk barang sejenis yang mereka kenakan.

Jangan sesekali memotret mereka sembarangan. Anda harus minta ijin dan membayar minimal seratus ribu bila memotretnya sendiri. Atau, ketika Anda ingin foto bersama Anda harus membayar minimal 200rb rupiah sebagai kompensasi.

Pendek kata, semua filsafat tentang uang, seperti "enggak ada yang gratis di dunia ini !" juga dianut di Papua sana. Dan... lagi, hal ini sungguh dimanfaatkan oleh para caleg dan parpol yang akan bertarung dalam pemulu nanti.

Lantas, kemana ketenaran Jokowi dan Ahok yang begitu bergema di pulau jawa dan beberapa pulau lain? Apakah lantas karena PDIP tak punya uang untuk membuat bill board besar bergambar Megawati atau Jokowi di sana ? Atau, jangan-jangan tim Ahok tak pernah mendarat di Bandara Sentani untuk sekedar mengiklankan DKI 2 tersebut?

Mungkin "Ya" tapi juga mungkin "tidak". Karena penasaran saya mencoba bertanya kepada beberapa orang yang melek politik di kota-kota yang saya kunjungi. Secara mengejutkan mereka mengatakan hal yang sama. Ini pertanyaan dan jawaban yang aku terima...

Saya: "Darimana uang orang asli Papua dari pedalaman ini hingga mereka bisa terbang dengan pesawat sekali seminggu, pulang-pergi dari hutan ke kota, bahkan dengan belanjaan bernila puluhan juta?"
Orang Papua: "Dana Otonomi Daerah, dan jumlahnya sangat besar, bahkan 10 Miliar per KK!"

Saya: "Waw, besar banget? Lantas untuk apa uang sebanyak itu diberikan bila pemerintah tidak terlebih dahulu membangun infrastruktur yang memadai, seperti pendidikan di negeri ini?"
Orang Papua:"Katanya, dana sebesar itu sebagai kompensasi dari pemerintah agar masyarakat Papua tidak memisahkan diri dari NKRI!"

Saya: [dalam hati]: '!?!'

Banyak hal kami diskusikan tentng papua, hingga suatu ketika, di kota Wamena saya bertanya kepada seorang manager yang kebetulan bekerja di peruhasaan yang cukup berpengaruh di kota itu.

Saya: "Pernah tidak mendengar nama "Jokowi - Ahok" di kota ini?
Manager: "Saya pribadi tahu dari televisi. Tetapi masyarakat di sini bahkan tak tahu siapa mereka itu.

Jangankan Jokowi-Ahok, nama presiden mereka pun tidak tahu. Hanya penting bagi mereka, pemerintah membantu mereka dengan uang. Dan lembaga mana yang memberikan uang menjadi sangat tidak penting. Yang penting adalah siapa yang secara langsung memberikan uang, maka dia yang akan mereka dukung."

Saya: "Lalu kalau kebetulan yang memberikan uang dari pemerintah adalah seorang caleg... pasti dipilih dong?"
Manager: "Pasti! Yang penting caleg atau capresnya bukan dari orang yang berbaju hjau loreng-loreng (TNI)!" - sepertinya ini ada kaitannya dengan masa lalu... (?)

Saya: "Kembali kepada Jokowi-Ahok. Mengapa orang di Papua sini tidak kenal kedua tokoh yang sering nongol di tivi dan internet itu?"

Manager: "Hanya perantau yang punya televisi di sini. Orang asli bahkan masih tinggal di hutan. Kemungkinan besar para perantau yang menguasai perekonomian di kota kecil ini tahu Jokowi-Ahok, termasuk juga saya sendiri tahu jejak mereka berdua. 

Kalau penduduk asli bahkan belum memiliki televisi, apalagi di sini harus menggunakan parabola untuk menangkap siaran televisi. Jadi jangankan internet, telivisi pun masih menjadi barang baru di rumah mereka yang tak dialiri listrik di hutan sana. Dan berkaitan dengan pemilu nanti, mereka inilah yang sering dimanfaatkan oleh para caleg."

Penutup

Di akhir kisah perjalanan ini saya coba merangkum beberapa fakta menarik terkait di Papua sana. Di Papua, nuansa politik hanya terbentang di antara ketakutan pemerintah akan OPM dan penggunaan uang sebagai kompensasi untuk mendukung pemerintah yang tak lain adalah partai berkuasa. Pemilu hanya penting bagi mereka yang menjadi caleg atau capres dan nyaris tak ada sangkut pautnya dengan kondisi masyarakat asli Papua.

Uang menjadi jaminan (yang didistribusi lewat para ketua adat) bagi masyarakat asli untuk menyoblos nama siapa yang mesti mereka coblos. Fakta di lapangan berbicara bahwa masyarakat setempat, termasuk caleg sendiri tidak tahu beda partai nasionalis, partai berbasis agama, dst.

Buktinya, ada beberapa pendeta dan tokoh kristen dari pelosok yang menjadi calon dari PBB, PKS, PPP, dst dan ketika ditanya mereka hanya menjawab, "yang penting menang!"

Rekam jejak, oleh karenanya, menjadi sangat tidak penting di papua. Tak heran bila 'gema' rekam jejak dari Jokowi - Ahok tak terdengar riang di Papua. Selain karena keterbatasan akses produk teknologi juga karena bagi orang setempat, siapa pun yang menjadi pemimpin tak pernah mengubah nasib mereka. Banyak dari mereka yang berontak dengan mengatakan, kalau orang luar macam-macam, maka kami akan usir dari tanah Papua...

Akhirnya, dalam untaian cerita singkat ini (karena memang masih banyak yang ingin saya bagikan, dan mungkin suatu waktu saya akan ceritakan untuk teman-teman sekalian) saya hanya berharap agar Pemerintah tak hanya memperhatikan Papua lewat kucuran dana yang bahkan justru melahirkan inflasi, tetapi juga, dan ini yang utama, pemerintah harus memperhatikan aspek penting seperti pengadaan sarana dan prasarana yang mendukung kemajuan penduduk asli Papua, teristimewa pendidikan.


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.