iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Jokowi Pencitraan?

Jokowi Pencitraan?

Banyak pihak, terutama para pendukung capres diluar Jokowiyang mengatakan bahwa Jokowi Pencitraan Semata, Boneka Mega, Antek Cina, Plin Plan, Antek Asing, Koruptor dan bahkan ada pengamat yang amit-amit yang gegabah mengatakan bahwa "walau Jokowi menang nanti maka pemilihnya akan kecewa …!"

Kalaupun Jokowi Pencitraan Semata, tinggal kita lihat apa yang dimaksud sebagai pencitraan oleh Jokowi haters. Buktinya, citra Jokowi memang meroket. Semua media meliputnya gerak-gerik gestrualnya. Jokowi jongkok, ikat sepatu, masuk got, garuk kepala, naik sepeda, dan apa saja tentang Jokowi selalu diberitakan media.

Jokowi kerja, media lewat para wartawan dan reporternya segera akan mengikutinya. So, pantas dong popularitas Jokowi meroket. Ini yang sering diistilahkan oleh wartawan senior KOMPAS, Budi Sambazy, Jokowi itu media darling. Lantas salahnya Jokowi opo, jal ?

Sejauh kita tahu lewat media dan kesaksian banyak wong Solo, sejak menjadi Walikota Solo dan berhasil mengubah kota Solo, Jokoi pun terpilih kembali menjadi walikota untuk periode kedua dengan raihan 90% suara dari pemilih.

Ia mencalonkan diri kembali tanpa kampanye besar, tanpa baliho dan poster di mana-mana dan nyata bagi kita bahwa Jokowi berhasil menjadi walikota dengan mudah. Ada enggak sih tokoh lain yang dipilih nyaris 100% rakyat yang akan dipimpinnya?

Dengan prestasi lokal yang extra ordinary ini tentu media menjadi tertarik dan meliriknya. Prestasi di Solo menerbitkan kartu kesehatan dan kartu pendidikan untuk rakyat.  keberhasilan relokasi PKL dengan pendekatan kultur yang apik, pengadaan bis wisata dan kereta wisata Solo yang membuat 'sirik' kota lain di Indonesia dan lain sebagainya sungguh telah menjadi buah bibir. So, wajar dong bila media mencari Jokowi.

Kemudian Walikota (Solo) terbaik ke-3 di dunia ini pun melenggang ke Jakarta dengan kesederhanaannya. Ingat, hanya "orang yang telah selesai dengan dirinya sendiri" yang bisa menyelesaikan persoalan orang lain. Begitu pula dengan Jokowi.

Ia menunjukkan ketulusannya, apa adanya. Ia menampilkan dirinya seperti sediakala. Tak banyak petingsing, tak banyak debat, dan tak banyak hingar-bingar voorijder yang mengiring pekerjaanya.

Begitu menjadi orang nomor satu di DKI Jakarta, Jokowi langsung menyingsingkan lengan kemeja putih yang selalu membungkus tubuhnya dan menyapa rakyat - entah yang memilih atau tidak memilihnya, atau rakyat yang bahkan samasekali belum mengenalnya.

Jokowi sungguh berbeda dengan pejabat publik yang selalu ingin tampil perlente, ja-im, protokoler, jaga jarak dan sengaja berjarak dengan rakyatnya. Lantas apa yang salah dengan Jokowi ketika menampilkan dirinya sebagai antitesisdari tampilan 'wah'nya para kebanyakan pejabat di negara ini?

Yang pasti, ada barang, ada pembeli, dan tentu butuh pasar untuk transaksi. Media sebagai penjual berita sangat butuh 'barang yang menarik untuk dijual' kepada para pembelinya. 

Wajar dong ketika media-media lokal, nasional dan internasional begitu tertarik dengan tokoh yang memang berbeda dan berkarakter kuat seperti Jokowi ini.

Asal tahu saja, Jokowi itu tak punya media untuk menjualnya. Ia hanya berusaha dengan tulus untuk selalu bersahabat dengan media. Dia cerdas menjadikan media sebagai public relation gratis.

Ia tidak saja pintar, tetapi ia begitu cerdas dan piawai dalam memaksimalkan peran teknologi media untuk memantau dan mengevaluasi kinerjanya sebagai pejabat publik.

Tak heran bila Jokowi tak pernah berseberangan dengan media. Bahkan ketika media tertentu memblow-up kelemahannya dia cuma menjawabnya dengan neologi Jawa khas Solo-nya, "Rapopo" (Ora opo-opo) atau "tidak apa-apa!" .

Saat Pilkada DKI periode lalu, dengan pertarungan seru yang dibayangi isu SARA, Jokowi dan Ahok justru malah berhasil tuh merebut hati warga Jakarta. Jokowi pun menjadi DKI 1 dan Ahok di DKI 2. Hari pertama menjabat Gubernur DKI, ia langsung “blusukan”.

Media tentu saja senang menjadikannya berita. Mengapa? Karena sebelumnya belum ada pejabat dengan level gubernur se-nyentrik dan se-unik ini. Ia sungguh berbeda: turun ke jalan, bersentuhan langsung dengan rakyatnya hingga rakyatnya pun mencintainya.

Ia tiada henti mencari domba-domba yang hilang, yakni mereka yang sudah sekian lama dinafikan oleh pemimpin sebelumnya. Ibarat seorang gembala yang menggiring domba-dombanya ke padang hijau yang luas, Jokowi - bersama kuda besinya Ahok, berpacu menyejahterakan rakyatnya.

 
Dengan cara yang unik dalam memimpin rakyatnya, Jokowi pun justru semakin menarik perhatian banyak kalangan. Tak ketinggalan dengan media. Media seperti kehilangan momentum kalau tidak mengikuti gerak geriknya.

Semua media! Ya, semua media, tanpa terkecuali media yang dimiliki oleh capres saingannya pilpres tahun ini. Berbagai reaksi dari pejabat lain dan para pengamat yang enggak pintar-pintar amat pun bertaburan lewat talkshow, opini di koran, apresiasi di media sosial dan seterusnya.

Ada yang memuji kehebatannya, tetapi serentak ada juga yang malah mencemoohkannya. Tapi Jokowi tetaplah Jokowi. Ia seakan tak ambil pusing dengan pujian dan cercaan terhadap dirinya. Dia tetap blusukan.

Mengacu pada pertanyaan (Prof.) Ridwan Saidi yang sudah bangkotan tetapi dipenuhi rasa benci pada Jokowi, "Emang apa hasil blusukannya si Jokowi itu?" 

Maka rakyat Jakarta bersama fakta-fakta yang ada telah menjadi jawabannya, yakni bahwa blusukan khas Jokowi telah berhasil memuaskan rasa haus media akan pejabat yang merakyat


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.