iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Redupnya Sinarmu, Seminaris

Redupnya Sinarmu, Seminaris
Outbound Alumni Seminari Menengah Christus Sacerdos Pematangsiantar di Bandungan-Semarang (26 Mei 2014)
Dulu, di pasar tenaga kerja ada suatu anggapan yang berbunyi bahwa "SEBODOH-BODOHNYA EX SEMINARI, MEREKA MASIH LEBIH UNGGUL DARI SISWA-SISWI SMA LAIN". Pertanyaannya adalah apakah "mutu" tersebut masih tetap bertahan hingga kini? Bisa jadi

Faktanya terlalu cepat dunia luar berlari, sementara Seminari terlalu betah tinggal di dunianya sendiri. Kehebatan di masa lalu sepertinya hanya monumen agung yang ditatap seminaris generasi digital dengan decak kagum, karena mereka sudah tak bisa lagi membedakan di mana mereka sedang meniti pendidikan.

Melirik seminari PEmatangsiantar tentu juga tak bisa dilepaskan dari menggamit KAM. Maka benarlah pernyataan yang menyetarakan pertanyaan "QUO VADIS SEMINARIUM?" dan "QUO VADIS GEREJA KATOLIK KAM?"

Sejauh yang kita amati berdasarkan secuil data yang terbentang, KAM (Keuskupan Agung Medan) sangat membutuhkan "geriliawan" yang bersedia dengan berani tetapi tetap tulus seperti Yesus untuk membabat habis para pejabat gereja yang sudah nyaris kehilangan iman dalam menggembalakan umat beriman yang dipercayakan Gereja kepada mereka.

Pada kenytaannya terlalu banyak imam ditahbiskan untuk mengurusi bisnis gereja (atas nama kesejahteraan umat) dan terlalu sedikit imam yang peduli dengan kehadiran ditengah domba-dombanya, khususnya anak-anak dan kaum muda (atas nama terlalu sibuk dengan urusan administrasi paroki).

Bukankah semua dari kita dulu masuk Seminari karena ajakan dan ajaran lewat "kehadiran" para imam yang masih beriman itu? Saya kira ini metode "marketing" terbaik dalam menjaring panggilan, yakni saat anak-anak dan kaum muda disapa, para ayah-ibu mereka disemangati, serta para "pangula ni huria" diajari ilmu-ilmu katekese singkat.

Fakta di lapangan berbicara bahwa para imam KAM terlalu "heboh" dan merasa perlau untuk selalu up to date dengan cara mengajarkan katekese dalam format seminar, lokakarya, training, dan workshop di gedung-gedung ber-AC di pusat kota - hingga harus dibangun Catholic Center sebagai wahana yang paling representatif untuk mewujudkannya.


Ada kerinduan dari umat Katolik agar para imam kembali pada tri-karya utamanya: MENGUDUSKAN-MEMIMPIN-MENGAJAR domba-dombanya.

Pelayanan model ini jauh lebih menarik bagi kaum muda yang masih mengagumi gereja dan masih ingin terlibat lebih jauh menjadi pelayan Gereja kelak.

Sebaliknya, bila para calon seminaris atau para seminaris diajak menjadi imam yang kelak akan bisa berkunjung ke tanah suci, kuliah di luar negeri dan pulang dengan segepok album foto "selfie" di depan Colloseum, gereja-gereja tua, situs-situs keren, tempat ziarah di Timur Tengah untuk dipajang fesbuk mereka; atau pulang dengan mentalitas juragan hingga pimpinannya pun merasa sayang menungaskan para lulusan luar negeri itu di paroki Parlilitan, Dolok Sanggul, Tomok, Tarutung, Batangkuis, dst... maka panggilan menjadi imam tak lebih ada lebihnya dibanding panggilan menjadi seorang ekonom, pegacara, pengusaha, pejabat pemerintah, dst.

Sekali lagi, dalam konteks pendidikan seminari, kualitas para imam dan biarawan/wati yang terlibat bersama beberapa awam yang membantu mereka mendidik seminari menjadi sangat sentral bagi masa depan seminari. Bila mentalitas "juragan" masih dipertahankan maka hanya anak-anak manja dan sentimentil yang cocok masuk seminari. Sementara anak-anak bermental pejuang tak akan punya tempat lagi di Seminari.

Apa yang saya beberkan di atas bisa jadi hanya ASUMSI (semoga saya salah), kendati - maaf untuk kesekian kalinya, saya hanya memberanikan diri mengkonversi "ungkapan keprihatinan beberapa alumni Seminari yang 'bertemu langsung' dengan kami selama kurang lebih sebulan di wilayah KAM.

Jadi, santabi di naburju jala akka pastor nabadia, apa yang tertulis di sini bukan pertama-tama ungkapan KEPRIHATIAN dari kami para alumni seminari. Ini 99,9% adalah ungkapan KEPEDULIAN dan PERHATIAN PENUAH CINTA dari kami CMVE kepada gereja dan pendidikan Seminari secara khusus (lewat otokritik tentunya).

Beginilah cara kami mencintai Seminari, mencintai dan memuliakan dua Oppung Uskup, mencintai dan mendukung para imam dan cara kami bangga pada KAM secara khusus dan Gereja Katolik secara universal. Mauliate ma di akka namanjaha...unang pola diapil ate hehehehe.. Lanjuthon nasiam ma na lobih hurang ni tene... diatei tupa .

Bujur ras mejuah-juah man kita kerina.
HORAS bani hita haganupan


Lusius Sinurat