iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Sadia Duitmu Ambia?

Sadia Duitmu Ambia?

“Sadia duitmu ambia? (Berapa uang yang kau miliki, kawan – untuk maju menjadi Simalungun-1)?” tanya seorang bapak yang kebetulan duduk disamping Bona Petrus Purba yang telah memutuskan diri menjadi pelayan masyarakat Simalungun saat kami melakukan safari blusukan ke beberapa kota di Kabupaten Simalungun.

Si bapak, yang kebetulan minum kopi bersama kami di lapo sederhana di pinggir kota itu, menambahkan, “Tapi ini realita nya ini ambia. Kalau tidak punya duit janganlah kau beran-berani maju,” katanya dengan logat Simalungun yang ketal.

“Buat apalah kau mencalonkan diri jadi bupati di Simalungun kalau duitmu tak sampai 50 milyar?” celetuknya dengan mimik meremehkan.

“Tapi benar yang aku katakan ini. Di Simalungun ini tak mungkin kali orang jadi bupati kalau duitnya hanya 1 milyar, sementara calon bupati yang satu itu punya helikopter sendiri. Dia itu kan punya uang tak terbatas!” timpal salah satu bapa yang duduknya tak jauh dari kami.

“Kurasa minimal habislah itu 30 milyar untuk menggandeng partai kalau kamu maju menggunakan ‘perahu’ partai, dan minimal 5 milyar kalau hanya biaya untuk mengumpulkan 50 ribu photocopy KTP kalau kau maju lewat jalur independen,” tambahnya bersemangat sambil yakin kalau 2 gelas kopi dan sebungkus Dji Sam Soe yang ia ambil dari lapo itu akan kami bayar.

Inilah kenyataan yang terjadi di negeri ini, tak terkecuali di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Begitu mengkuatirkan melihat dinamika demokrasi di negeri ini. Realitas jual-beli suara semacam ini berlangsung terbuka, bahkan dipublikasikan di media-media lokal, media sosial dan berbagai media yang tersedia.

Kenyataan pahit yang terjadi di hadapan kita tak ayal lagi menjadi tantangan berat saat calon yang kami usung justru tidak datang ke Simalungun dengan satu truk uang.

Entah siapa yang memulai tradisi jual-beli dukungan ini demi menjadi bupati atau gubernur bahkan demi menjadi seorang presiden. Kita semua juga tidak pernah tahu entah sampai kapan tradisi “si calon bagi-bagi duit sebelum ia menjabat dan sesegera mungkin akan mengumpulkan duit setelah ia menang dan menjabat”.

Jelas menakutkan bagi saya ketika berhadapan dengan kenyataan semacam ini, apalagi hal itu terjadi di Kabupaten Simalungun tempat saya lahir dan dibesarkan hingga remaja. Bayangkan orang-orang di pelosok sekali pun begitu lancar mengkalkulasi biaya yang dibutuhkan seorang calon gubernur, bupati, DPRD tingakat I, DPRD tingkat II dari mereka mencalonkan diri hingga menang!

Politik itu memang mahal ! Tetapi tak lantas kita bisa memiliki pemimpin yang bersih, santun, peduli dan melayani rakyatnya disaat ia sudah dituntut mengkonversi program yang ia tawarkan dengan 5-10 lembaran uang seratus ribuan ?

Inilah yang menjadi permenungan kami saat mengadakan safari ramah tamah memperkenalkan bakal calon bupati Bona Petrus Purba yang datang dengan niat tulus menjadi pelayan masyarakat Simalungun, pada tanggal 21-25 November lalu.

Tentu sangat realistis bila mengatakan bahwa biaya politik yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pejabat publik di negeri ini relatif cukup mahal. Namun kita tak lantas bisa menyimpulkan bahwa proses menjadi seorang bupati tak lebih dari sekedar ‘membuang uang’ atau sekedar membagi-bagikan uangnya kepada rakyat agar memilihnya .

Sebab bila hal itu yang terjadi, maka parade pemilu legislatif, pilpres dan pilkada tak lebih dari sekedar mengajari si calon pemimpin yang kelak tak bisa disalahkan bila ia rutin melakukan korupsi dan alpa dalam aksi melayani rakyat yang dipimpinnya.

Itulah yang saya katakan kepada mereka yang tak pernah lepas dari adagium ‘ Hepeng do mangatur nagara on ‘ (uang semata yang mengatur roda pemerintahan di negara ini).

Dengan praktik money politic yang terpelihara selama puluhan tahun ini, maka rakyat yang telah menjual hak pilihnya secara otomatis tak lagi punya haku menuntut sang bupati yang telah ia pilih untuk memperbaikin jalan, sarana dan prasarana publik, membantu masyarakat yang miskin dan tersingkirkan, membantu petani dan peternak, membantu buruh, dan lain sebagainya!

Di saat Jokowi menang pilpres dengan mengandalkan kekuatan relawan dibelakangnya dan sebaliknya Prabowo dengan duit tak terbatasnya justru kalah, eh… di daerah-daerah, khususnya kabupaten Simalungun seakan tidak sadar bahwa 200.000 yang mereka terima selama proses pencalonan dan kampanye si calon yang mereka usung akan dengan mudah mereka habiskan dalam waktu sekejap.

Ya, ini fakta nyata. Semua orang selalu mementingkan dirinya sendiri. Mental kapitalis yang sudah terlanjur merasuki kebanyakan masyarakat di negara ini telah merusak unsur-unsur kemanusiaan kita. Mengapa? Logikanya begini: “Apabila semua hal harus dibeli, maka secara otomatis semua hal juga harus di jual, tak terkecuali surat suara saat mengikuti pilkada.

Kata seorang teman, orang sekarang mau disuruh apa pun asalkan ia mendapat keuntungan untuk pribadinya. Tak heran bila masih banyak orang yang lebih suka menjual suaranya seharga paket A 20.000, 2jt, bahkan 20jt daripada mendatanig bilik TPS dan memilih calon bupati yang merakyat dan sangat capable.

Padahal fakta yang berbicara di lapangan jusru berbeda. Bila mereka tak menjual suranya demi puluhan bahkan ratusan lembar sertaus ribu rupiah maka si calon justru akan lebih patuh pada kehendak mereka. Sebaliknya bila mereka telah dibayar dimuka dan si calon akhirnya menang, maka setelah menjuabat ia merasa sudah membayar utang dan mereka sudah mendapatkan bagiannya.

Sungguh tak mudah menata mentalitas jenis ini. Tentu saja ada alasan dibalik pillihan mereka. Tetapi akan sangat ambigu ketika mereka menyebut dirinya sebagai tim sukses justru telah menjual kesuksesan mereka saat calon yang mereka usung menang justru ketika ia bisa membeli kesuksesannya seharaga 200 ribu per anggota tim suksesnya.

Lantas kapan kita bisa menggapai kemajuan dan kesejahteraan bersama ketika kita sudah terlanjur menjualnya kepada para penguasa ?


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.