iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Sekarang Raya Disebut Kota

Konsep kota selalu kontekstual. Di Kabupaten Simalungun, Pematang Raya adalah ibukota baru menggantikan ibukota sebelumnya di Pematangsiantar. Kotanya cukup bagus. Semua tampak baru di kota ini.

Jalan raya mulus, deretan ruko, bangunan hotel, bank, dan lain sebagainya. Kantor bupatinya bagus kendati nampak kering tanpa pepohonan yang menghiasinya. Tentu saja karena bangunan ini relatif baru.

Kondisi ini tentu saja ini menaikkan status "kecamatan" menjadi "kotamadya". Minimal itu rencana bupati yang memindahkan ibukota kabupaten dari Kotamadya Siantar.

Ini membanggakan di satu sisi, tetapi serentak menimbulkan masalah baru. Raya menjadi satu-satunya daerah di kabupaten Simalungun yang diperhatikan pemimpinnya. Menaikkan status Raya menjadi kotamadya serentak juga mengeliminir kesempatan dari nagori atau desa lain untuk maju seperti Raya.

Pembangunan yang berfokus pada satu titik ini tentu saja mengaburkan pandangan masyarakat tentang konsep 'pembangunan'. Selain itu juga, mentalitas masyarakat desa tak lantas segera berubah. Sikap tidak menerima pembangunan yang begitu gesit dan melejit tak kuasa menimbulkan persaingan. Pendeknya, ketika transaksi uang begitu besar di kota kecil ini, serentak juga angka kriminalitas meninggi.

Ternyata, memperlebar jalan, membangun prasarana pemerintahan di sentra kota dan bangunan kosong yang sepintas tampak megah tak membuat masyarakat segera berbenah. Masyarakat di sini tampak tidak siap. Harga kebutuhan sangat tinggi, sementara pendapatan per capita masyarakat tidak turut meningkat.

Di sisi lain desa-desa sekitar mulai cemburu. Saban hari mereka mesti berjuang melintasi jalan penuh kubang dan sarana transportasi yang sangat terbatas.

Ini masalah baru. Harap diingat, kota bukan sekedar penambahan fasilitas baru, yang mirip seperti di kota pada umumnya. Kantor bupati boleh saja pindah, kantor DPRD juga boleh saja pindah. Begitu juga kantor Kodim boleh saja pindah, atau kantor Polres sekalipun boleh dipindah ke kota yang masih belia ini.

Membangun kota adalah membangun peradaban. Dan membangun peradaban bukan sekedar memuaskan pandangan. Membangun kota, juga berarti merawat alam secara lebih baik. Maka penampilan kota bukan merusak alam indah desa dengan menebang pepohonan rindang, atau mengganti tanah resapan dengan rententan batako.

Membangun kota sungguh tak semudah memindahkan gedung perkantoran. Membangun kota juga bukan berarti harus mengorbankan desa-desa sekitar. Dan lagi, membangun kota bukan berarti membiarkan desa lain harus menderita dan hak mereka dirampas demi menampilkan secuil pemandangan modern di pusat pemerintahan.

Sangat disayangkan ketika masih banyak pemimpin yang memiliki konsep "surga" ala pandangan abad Pertengahan, yakni memfokuskan segalanya ke pusat pemerintahan dan mengatakan kepada orang-orang di desa sekitar yang masih tertinggal, "menuju kota itu ibarat menuju ke surga: penuh liku dan hambatan."

Akhirnya, membangun kota berarti menaikkan kesejahteraan masyarakat di kota yang dibangun dan kesejahteraan itu melebar ke desa-desa di pinggirannya. Kalau ini tidak terjadi, maka "sia-sialah para tukang bangunan bekerja", karena kota ini hanyalah desa dengan jalan yang lebih lebar.

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.