iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Saat Uang Disebut Pelicin

Saat Uang Disebut Pelicin
"BEGINI, Pak. Bagaimana kalau di nanti harus kami jawab kalau orang-orang bertanya mengenai uang pelicin di lapangan?" kata Tugirin membuka pembicaraan di suatu senja di tepi lapo di kampungnya.

"Bah, itu hak mereka kok untuk bertanya seperti itu. Untuk apa kau urusin itu Tugirin," timpal Mullop spontan.

Mullop memang lebih tua 2,5 bulan dari Tugirin. Lagi, mereka juga sudah lama saling kenal hingga satu sama lain sudah saling akrab. Ini yang membuat Tugirin tidak merasa tersinggung.

"Maksudnya, pak?" Tugirin bertanya antara ingin tahu sekaligus juga menunggu jawaban salah dari Mullop agar ia benar-benar yakin dengan opininya.

"Begininya amani aha, eh amani siapanya kau tahe?" tanya Mullop bersemangat hingga ia lupa kalau orang di hadapannya itu tak mengerti bahasa Batak.

"Semua nya kita tahu kalau masyarakat di seluruh negeri ini masih mempraktikkan politik transaksional. Apalagi di kampung kita ini. Tulangnya aja pulang dari Jakarta langsungnya dimintain uangnya, apalagi yang datang ini calon pemimpin..bah pasti sudah dianggapnya punya uang lebih banyak.

Bayangkan kalau yang calon pemimpin itu masih tergolong 'tulang'nya.... kurasa dapat dua kali lipatlah kawan itu nanti", lanjut Mullop dengan loga Siantarnya."

Mullop yang asli anak kampung itu memang masih punya idealisme. Suatu hari Mullop mengatakan bahwa memimpin pemimpin baru itu ibarat memilih calon istri.

"Begini nya itu, lae Tugirin. Kutanyalah dulu kau. apakah kau pacaran dulu sebelum menikah? Nah rata-rata seperti itulah lobi-lobi politik ini. Ibarat kita 'menikah' dengan gadis tertentu, pasti lah kita ini berpacaran dulu sama dia. Jangan pula begitu ketemu langsung kau kawini."

Spontan saja orang-orang yang sedang duduk di warung itu terbahak.

"Adong dassa nasiam (ada-ada aja loe)," kata Jahorbo Sipayung yang duduk tak jauh dari tempat Tugirin dan Mullop berdiskusi.

Ekspresi Tugirin datar-datar saja. Kali ini ia semakin penasaran dengan pendapat pak Mullop yang lulusan SH dari universitas terbuka itu.

"Lantas, kita musti melakukan apa lae?" Tugirin mengulangi sembari mempertegas pertanyaannya. Kali ini ia serius ingin tahu cara apa yang bisa diterapkan untuk mengubah mentalitas negatif itu.

"Begini nya itu lae. Sekarang kutanya dulu sama lae. Apakah lae pernah jadi TS=nya caleg, capres, cagub, atau cawalkot?

Kurasa kalau pernah, pasti lae selalu ditugaskan para calon pemimpin itu menarik dukungan dari bawah dan dia menabur uang dari atas. Betul?"

Melihat Tugirin menganggun, Mullop semakin bersemangat menjelaskan.

"Kalau bukan kita siapa lagi yang bisa mengubah mentalitas ini lae. Maksudku, kalau masyarakat masih beranggapan baha sistem demokrasi kita masaih sama dengan 50 tahun lalu, maka tugas kita menjelaskan kepada mereka bahwa sekarang kita harus berubah. Percayalah, kalau pemimpin yang kau terpilih itu hasil dari transaksi sepanjang masa kampanye, maka jangan harap ia peduli dengan pembangunan. Karena ia pasti terlebih dahulu mengumpulkan uang pengganti yang telah habis masa kampanye. Begitunya lae."

Tugirin paham maksud si Mullop... kendati dalam hati ia bergumam,

'Katakan saja apa yang hendak kau katakan. Kami orang kampung ini tak tahu menahu itu. Kami hanya tahu kalau calon pemimpin itu mau jadi bupati, gubernur, walikota atau presiden tak lebih tak kurang karena mereka punya banyak uang. Kalau bukan saat pencalonan, kapan lagi kami dapat uangnya? Nanti kalau sudah jadi mana bisa kita temui lagi orang-orang itu.'

Senja itu pun berakhir dengan penuh kebingungan bagi Tugirin. Apalagi saat ngobrol tadi si Mullop sudah nambah 2 gelas kopi dan beberapa potong bolu di warung itu. Bukan apa-apa, karena ia juga yang harus membayarnya. :)