iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Ketika Relativisme Jadi Tolok Ukur Kebenaran

Ketika Relativisme Jadi Tolok Ukur Kebenaran

Adalah filsuf Yunani bernama Protagoras (490-420 SM) yang mengundangkan dan menganut aliran ini, lewat ungkapannya yang hingga kini masih menggema:

“The way things appear to me, in that way they exist for me; and the way things appears to you, in that way they exist for you” -sesuatu tampil di hadapanku dalam caranya yang khas, dan dalam cara yang khas itu pula sesuatu itu ada untukku; demikian juga apabila kamu berhadapan dengan sesuatu, sesuatu itu secara khas ada untukmu (lih. Plato dalamTheaetetus 152a).

Pengertian

RELATIVUS adalah akar terminologis kata "relativisme": Relativus dalam bahasa Latin berarti 'menunjuk ke', nisbi atau relatif. Paham relativisme dengan demikian adalah paham yang memandang sesuatu dikatakan "baik dan jahat" dan "benar dan salah" selalu tergantung pada cara masing-masing orang dan budaya masyarakat memahaminya.

Pendapat di atas juga mengandaikan bahwa perbedaanmanusia,budaya,etika,moral dan agama bukanlah perbedaan dalam hakikat, melainkan karena faktor-faktor di luarnya. Segala hal "yang baik dan yang jahat", pun "yang benar dan yang salah" bukan pengertian mutlak, tetapi tergantung pada masing-masing orang dan budaya masyarakatnya.

Demikian halnya dengan pengetahuan: Setiap pengetahuan atau pengenalan (knowledge) selalu merupakan pengetahuan atau pengenalan akan sesuatu (thing). Setiap pengetahuan juga berasal dari pengamatan inderawi secara subyektif dan personal,as it appears to me.

Lebih sederhana bisa dijelaskan begini: Setiap pengetahuan itu selalu, dan tak ada pengetahuan yang salah. Mengapa? Sebab, kategori benar atau salah itu selalu terkait dengan subyek yang mengetahui, meyakini dan mengatakannya- sebagaimana hal itu tampil di hadapannya (as it appears).

Saat Kebenaran Universal Ditiadakan

Relativisme pada akhirnya akan meniadakan kebenaran universal, sebab ketika sudah tidak ada pengetahuan yang salah (karena setiap pengetahuan memiliki rujukannya sendiri), maka pengetahuan yang benar secara universal pun pasti tidak ada.

Ini bahaya! Soalnya, kalau tidak ada pengetahuan yang benar secara universal, maka pendidikan/sekolah, seminar, pembelajaran, diskusi, komunikasisudah tidak perlu adadong. Lhawong semuanya benar kok.

Kalau pahami ini menjadi acuan dalam pergaulan sosial, maka komunikasi antar manusia tak perlu lagi. Padahal komunikasi sendiri bertujuan menyampaikan 'kebenaran'; dan kebenaran itu sendiri memiliki karakter komunikatif, performatif dan promotif.

Sisi komunikatif dari komunikasi itu tampil dalam kerinduan kita pada kebenaran; sisi performatifnya tampil saat kebenaran itu menampilkan diri; dan sisi promotifnya terlihat saat kebenaran (yang dikomunikasikan itu) tidak bisa dicegah karena memikat, memukau, dan menarik kita untuk memeluknya.

Apabila pengetahuan apa saja selalu benar maka kita tidak pernah terpikat pada kebenaran dari pengetahuan itu sendiri. Lantas, buat apa belajar kalau saya sendiri tak menemukan kebenaran di dalamnya? Untuk apa juga beragama dan berjamaah bila setiap orang memiliki kebenaran sendiri-sendiri di dalam peribadatan mereka? 

Akhirnya, buat apa saya mengatkan Tuhan itu penuh belaskasih ketika kita memahami relasi dengan sesama hanya sekedar balas budi?

Kebenaran Aktual dan Kebenaran Virtual

Melejitnya pertumbuhan teknologi komunikasi juga turut berperan melempangkan pengaruh relativisme. Dengan sarana komunikasi yang amat canggih, jarak pun dipangkas, ucapan pun disamakan dengan rekamat suara di telepon, bahkan sekedar "kalimat yang diketik" di monitor komputer, smartphone dan peralatan canggih lainnya.

Perjumpaan pun diterjemahkan sebagai pertemuan virtual dan satu sama lain menyapa lewat layar yang seakan bernyawa. Tak hanya bertukar kabar, ajakan untuk berbagi dengan sesama pun ada di sana, bahkan ajakan agar 'teman-teman virtual Anda' menganut agama yang Anda anut pun ada di sana.

Tak ketinggalan juga ajakan untuk memutlkan paham yang Anda anut kepada orang lain, seperti "haram untuk ini dan itu", "hanya boleh melakukan hal tertentu dan diluarnya adalah sesat", dst.

Demikianlah Tuhan sekalipun dipilah-pilah berdasarkan pengetahuan yang sangat terbatas dari orang-orang tertentu. Kesombongan bahwa "kami adalah umat pilihan Tuhan", "hanya di kitab kami Tuhan menitipkan pesan kepada manusia", atau “Tuhan hanya bermurah hati pada penganut agama kami" kian hari kian menggema di media sosial.

Saat Tuhan pun direlatifkan

Kini orang tak lagi mengatakan tentang sesuatu atau tentang seseorang berdasarkan apa yang diketahui dan dialaminya. Dengan sangat cepat orang sekarang mengatakan mengenal si X, si Y, si Z tanpa pernah berjumpa dan saling menghadirkan diri di dunia keseharian mereka.

Jangankan dengan orang lain, dengan Tuhan sekalipun orang bisa saja menuliskan di status fesbuknya atau di kolom kicauan twitternya atau dalam bentuk foto animasi di BBMnya, pun dalam bentuk meme di Instagramnya bahwa "Tuhan itu murah hati” tanpa sungguh mengalami bahwa Tuhan memang murah hati dalam hidupnya. 

Bukankah kemurahan hati Tuhan tidak bisa hanya sekedar diberitahukan dan diberitakan dalam bentuk informasi, melainkan harus sungguh berawal dari sebuah pengalaman hidup kita?

Relativisme Bernegara

Kemutahiran teknologi komunikasi semestinya bisa kita memanfaatkan untuk mewartakan 'kebenaran yang kita ketahui dan alami'. Untuk itu dalam memanfaatkan sarana komunikasi canggih tersebut kita harus tetap harus memperhatikan bahwa komunikasi virtual lewat media internet jangan sampai meniadakan relasi personal, kehadiran, sapaan konkret, dan realisasi pembaharuan paguyuban secara nyata dalam hidup sehari-hari.

Ketika relativisme menjadi selimut kehidupan masyarakat kiwari, maka secara otomatis masyarakat akan mengalami apa yang disebut krisis nilai moral kehidupan. Bagaimana tidak, fenomena korupsi bisa saja dipandang wajar dengan alasan 'tergantung dari sudut mana kita menilainya'.

Tindakan korupsi seorang pemimpin bahkan kerap dilihat sebagai gambaran 'betapa pintarnya seseorang' mengelabui masyarakat yang dipimpinnya. Bahkan tak jarang sang koruptor dipandang sebagai 'pahlawan' oleh orang-orang dekatnya hanya karena ia juga menyuap mereka untuk 'diam'.

Demikian juga kekerasan yang dilakukan seseorang terhadap sesamanya, misalnya membunuh karena merasa benar, memerkosa karena dendam, memukul guru karena mendapat nilai jelek , merampok majikan yang telat membayar gajinya, bahkan meneror minoritas karena merasa lebih baik dari mereka yang mayoritas pun marak di mana-mana.

Semua orang melakukan tindakan tertentu hanya berdasarkan kebenaran yang dipahami oleh dia atau orang yang se-pemahaman dengan dia. Ini ibarat melegalkan aborsi atau memaksa KB demi menekan jumlah penduduk.

Dalam ranah yang lebih luas kita bisa melihat betapa 'diri' seseorang tak ada artinya dibanding sesuatu yang bisa 'membenarkan diri'nya sendiri. Tak jarang kejahatan serentak dipandang sebagai 'seakan-akan benar' dan wajar hanya untuk mewujudkan tujuan yang dikehendaki oleh seseorang atau oleh kelompok tertentu.

Di titik inilah manusia mengalami proses pendangkalan dalam menghayati kehidupannya, kehidupan sesamanya, dan kehidupan bersamanya dengan orang lain. Ini yang disebut dengan krisis nilai atau krisis kehidupan dalam arti etis dan moral secara mendalam, real dan nyata.

Relativisme pun pada akhirnya - mengutip Nietzsche- mematikan Allah. Dan kematian Allah berarti lenyapnya segala pendasaran moral/etika/nilai dalam kehidupan bersama dengan yang lain. 

Sebab, ketika Allah sudah dibunuh, maka manusia pun akan kehilangan pondasi nilai terakhirnya. Dengan matinya Allah maka bukan hanya agama (yang mengklaim diri sebagai representasi Allah) yang akan ditindas, tetapi juga kehidupan pun akan dilindas.

Relativisme dan Formalitas

Krisis nilai di Indonesia ialah formalisme yang bermula dari aneka perkara artifisial, seperti pertikaian antara KPK dan POLRI yang baru-baru ini telah mendominasi headlinesseluruh surat kabar Indonesia. Seperti yang sudah pernah terjadi, nanti juga berakhir tanpa kepastian hukum yang jelas. Yang telah dituduh sebagai tersangka akan dibebaskan dan yang telah ditangkap bahkan sudah dilepas.

Lihatlah, kita sebagai rakyat hanya bisa terbengong-bengong, melongo dan akan tampak bego. Sebab, semua ini melulu hanya rekayasa. Ya, begitulah formalisme membuat tata hidup bersama berada dalam tataran yang paling rendah, sebab yang dipertaruhkan adalah lenyapnya kepastian. 

Tidak ada lagi makna kepastian kebenaran dalam keseharian di satu pihak dan kita seakan malah disergap oleh kejamnya sistem keadilan yang absurd dan nyeleneh.

Para mafiosoperadilan, makelar kasus, para penegak hukum yang korup, para koruptor, para eksektufi yang membohongi rakyat demi memperkaya dirinya dan para pelaku sejenis tidak bisa ditahan karena kekurangan bukti perkaranya.

Tak ada omongan yang bisa dipegang. Tak ada janji yang pasti akan ditepati. Dan, hidup sehari-hari pun identik dengan ketidakpastian. Bagaimana tidak, peradilan telah berubah menjadi sebuah selebrasi yang elegan namun rentan kepalsuan.

Keseharian juga identik dengan kecemasan, sebab yang kecil-miskin menjadi tokoh-tokoh pelengkap penderita sandiwara sinetron kehidupan yang tak bermutu. 

Keseharian adalah keputusasaan, sebab si miskin dan si bodoh hanya bisa mengucapkan elegi dan tak mungkin mengajukan pledoi. Mereka kelak hanya menanti kata-kata penghiburan dan ratapan di tepi liang kuburan mereka di penghujung hidupnya.

Ajakan

Fenomen nilai muncul dari aktivitas penilaian kita terhadap orang lain/diri sendiri. Aktivitas penilaian ini menjadi ciri khas manusia. Kesadaran paling langsung dan serentak mengenai nilai jelas dalam kenyataan bahwa kita “menilai” diri sendiri dan orang lain.

“Menilai” diri sendiri artinya kita melakukan paling sedikit kesadaran akan segala apa yang kita lakukan, rasakan, pikirkan, olah dan seterusnya. Kesadaran semacam ini jelas memproduksi nilai-nilai atau sangat mengandaikan paham-paham nilai-nilai. 

Bisakah dibayangkan orang menilai dirinya sendiri atau orang lain sekaligus menyangkal adanya nilai-nilai? Dalam kenyataan bahkan harus dikatakan bahwa suatu penilaian hanya mungkin apabila ada semacam paradigma tertentu mengenai nilai sebagai demikian.

Pada akhirnya nilai moral bukanlah pilihan atau optional, tapi kewajiban. Di hadapan nilai, kita tidak mungkin bersikap ya atau tidak. Nilai moral adalah fenomen kewajiban. Kesaksian tentang kewajiban ada dalam tindakan dan bahasa manusia sehari-hari.

Kewajiban manusia hadir dalam tindakan dan bahasa, bukan pikiran. Bahasa melukiskan, mengungkapkan, memberikan wacana (referensi) atau yang semacamnya berkaitan dengan fenomen kewajiban. Tindakan mewujudkan kewajibannya. 

Dengan demikian, konfirmasi mengenai karakter normatif etika ada dalam keseharian hidup manusia. Karakter normatif etika dibuktikan dalam fenomen peristiwa-peristiwa kehidupan konkret.

Prinsip: bonum faciendum et malum vitandum (kebaikan harus dilakukan dan keburukan harus dihindarkan) adalah penegasan realitas bahwa hidup manusia langsung menyentuh kewajiban moral. Mengapa kebaikan harus atau wajib dilakukan dan keburukan harus atau wajib dicegah?

“Harus” artinya wajib, mutlak, tidak boleh tidak, punya daya ikat. Mengapa Baik itu punya daya ikat untuk dilakukan? Bagi Kant, karena itulah kodrat kebaikan. Kodrat Baik itu sekaligus mencetuskan “harus”.

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.