iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Menata Kata

Menata Kata


Tak semua orang baik terlihat dari tutur katanya yang baik. Sebaliknya kebaikan seseorang lebih terlihat dari gesturalnya yang berkharisma, dan terutama tindakannya yang memang baik.

Begitu juga tak semua orang yang tutur katanya kasar lantas termasuk orang kasar pula atau orang yang tidak beretika.

Dalam tradisi feodalisme kerap disebut bahwa keagungan pribadi seseorang terlihat dari kesantunannya berbicara dan keanggunan penampilannya di depan khalayak ramai.

Untuk itu, kaum elite, susuhunan hingga ratu dan raja selalu memperhatikan 'tata kesantunan ini'. Ini terjadi di budaya Timur, dan tak ketinggalan di Indonesia tercinta ini. 

Di kalangan masyarakat Timur, kata adalah kita, bahkan representasi kemanusiaan kita. Tak mengherankan bahwa para penatua-penatua adat selalu berpesan pada keturunan mereka agar setiap kata harus dituturkan dengan santun, lembut dan tak menyinggung perasaan orang lain.

Ini tidak salah. Karena memang kata-kata yang menyejukkan akan membuka simpul-simpul ketertutupan dan keterpurukan orang lain.Sebab, kata-kata santun bisa juga menggugah sekaligus menyembuhkan pendengarnya.

Hanya saja kita sering lupa satu hal, yakni bahwa kata-kata yang diucapkan seseorang tak bisa dilepaskan dengan konteks, mulai dari siapa lawan bicaranya dan apa tujuan hal itu dibicarakan dengan orang tersebut. 

Di titik inilah kata adalah gerbang keterbukaan emosi. Ketika seseorang menyebut lawan bicaranya sebagai "si anjing" maka saat itu juga ia jujur dengan emosinya; dan berikutnya akan menggiringnya pada perenungan tentang "siapa sebetulnya yang mirip anjing".

Artinya kata-kata yang kita ucapkan serta-merta adalah gerbang menuju pada pengenalan diri, misalnya dengan mengatakan "Bajingan loe!" maka seseorang akan telah jujur pada apa yang ia lihat, rasakan dan alami. 

Bahwa kata itu pada akhirnya ditujukan kepada lawan bicara yang memang secara nyata bertindak bak bajingan, atau malah kepada diri sendiri yang juga bajingan. Maka, dalam penafsiran dangkal, kata "bajingan" juga menjadi ajang refleksi diri.

Akhirnya, kata-kata juga bisa menampilkan kemunafikan seseorang hingga ia tampak "seperti kuburan" di mana ia menampilkan kebusukannya lewat kesantunannya melantunkan kata demi kata dari mulutnya.


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.