iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Anak harus seperti Mama atau Papa

Seorang anak kelas 4 SD pernah mengatakan sesuatu yang mengagetkan saya. Gadis mungil nan cantik itu mengatakan,

“Saya tidak akan bisa menjadi seperti Papa dan Mama yang begitu hebat dan menjadi pahlawan bagi banyak orang. Saya hanya ingin menjadi baby sitter saja seperti bibi pengasuh saya”. 

Menjadi baby sitter tentu tidak jelek. Namun adalah sangat mengejutkan bila seorang anak kecil memiliki cita-cita seperti itu. Bukankah anak seusia ini biasanya memiliki cita-cita yang sangat tinggi?

Perhatikan pernyataan si anak tadi. Ia mengatakan, 
"Aku tak mungkin bisa sehebat kedua ayah an ibuku".

Anak ini berpikir bahwa cita-cita itu mudah ia dapatkan, tak sesulit papa dan ibunya mendapatkannya. Lagi, ia menilai rendah dirinya; sebaliknya ia menyanjung terlalu tinggi dan betapa sempurna kedua orang tuanya. 

Konsekuensinya, jika ia marah, jengkel dan tidak bisa mengerjakan sesuatu itu karena memang ia tak mampu. Kira-kira apa latar belakang dibalik "rendahnya cinta-cita si gadis mungil ini?" 

Coba deh sebagai orang tua sesekali tanyakan alasan di balik ini.
Kalau Anda adalah orangtua yang cerdas, si anak akan mengatakan hal yang sangat mengejutkan Anda, misalnya, 
"Papa-mama sering memarahi aku dengan kalimat yang selalu membandingkan kehebatan dirinya dengan kelemahanku." 

Ibu selalu menasihatiku begini, 
"Saat mama seusiamu, mama tidak pernah melakukan hal konyol semacam ini". 

Begitu juga dengan ayah yang selalu mengulang kalimat yang sama berkali-kali, "Waktu seusiamu, papa harus pintar dan mendapat ranking satu di sekolah. Makanya papa sekarang jadi orang sukses seperti ini. Harusnya sih kamu juga bisa seperti papa. Masa ya hanya segitu saja bisanya, nak? Ayo buktikan kalau kamu juga hebat !'"

Atau atas celotehan sang ibu yang doyan cuap-cuap setiap pagi: 
"Kamu ini kok tidak seperti papamu sih? Contohlah papamu yang selalu bekerja dan belajar terus, masa masih kecil sudah malas, nanti kalau besar kamu mau jadi apa?” 

Ternyata... (dalam hati tentunya) si anak lantas menjawab : jadi baby sitter aja ! Tidak usah pusing harus menjadi sehebat mama atau secerdas papa.

Nasihat Psikologis
Mungkin Anda sebagai orang tua, atau saat menjadi anak seusia ini pernah mengalamai hal yang sama. Maka, buat para orangtua, berhati-hatilah terhadap apa yang Anda ucapkan atau lakukan pada anak-anak Anda. 

Apa yang kita lakukan dan ucapkan akan merangsang mereka berpikir sesuatu tentang diri mereka sendiri. Namun ingat kita tak bisa mengontrol pikiran orang lain bahkan walau anak sendiri. 

Pikiran langsung bereaksi begitu mendapatkan stimulasi. Pastikan stimulasi Anda positif dan tidak membuat pikiran anak memiliki celah untuk berpikir negatif tentang dirinya sendiri. 

Investasi belajar yang kita tanamkan saat ini untuk harga diri positif anak kita sangatlah kecil artinya dibandingkan dengan bagaimana jadinya mereka kelak di masa depan.

Saat harga diri mereka terluka hanya karena ketidaktahuan kita saat mendidik maka biaya yang dikeluarkan untuk melakukan perbaikan menjadi jauh lebih mahal dan memakan waktu yang tidak sedikit. 

Kita tentu tidak ingin anak tercinta kita menderita di masa depan hanya karena kita tidak mau belajar sekarang bukan?


Nasihat filosofis
Demi keamanan dan kenyamanan finansial, banyak orang tua justru lupa hal mendasar dalam relasi oranguta-anak. 

Kenyataannya kesejahteraan yang dikejar-kejar oleh orangtua itu ternyata tak pernah terwujud, bukankah tingkat kesejahteraan itu sagat relatif ? Akibatnya, banyak orangtua lalai terhadap pendidikan mental anak; kecuali selalu mengulang-ulang kalimat yang sama, “Kamu harus bisa sehebat mama dan secerdas papa !"

Di titik ini Anda sebagai orangtua telah/sedang merusak harga diri anak Anda, bahkan telah merendahkan dirinya sebagai anak yang tidak hebat dan tidak cerdas. 

Jadi, buat apa banyak duit sementara duit itu hanya untuk membiayai anak yang kelak hanya ingin menjadi baby sitter ?

_____

Dikutip dari, Lusius Sinurat, "Anak Harus Seperti Mama Atau Papa?" dalam buku Aneka Celotehan Tentang Anak dan Keluarga. Semarang: Yayasan Misericordia untuk Anak Indonesia, 2012: 91-95.

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.