iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Serakah Versus Berkah

Serakah Versus Berkah
Serakah akan uang, cinta, pengetahuan (menguasai oran lain). Keserakahan itu baik, berhasil (menghasilkan), kebahagiaan.

Apapun pantas dilakukan demi mendapatakan uang. 

Dalam ilmu ekonomi tak dikenal serikat kerja, di mana setiap putusan ada di tangan penguasa, tiap orang sebagai bagian dari prusahaan tka diikutsertakan dalam pengambilam kebijakan perusahaan. 

Demi keserakahan biasanya tak memberi tempat pada pembaharuan, pada sesuatu yang lebih baik.

Keserakahan, sejalan dengan J.P. Sartre, berakibat pada penindasan (néantisation) terhadap yang lain; dan hal ini bisa terjadi melalui pertikaian atau konflik (le conflit). 

Demi terpuasnya nafsu serakah itu, seseorang akan mencari-cari alasan yang cukup, yang oleh Leibnitz disebut ratio sufficiens sehingga tak ada lagi keseimbangan maksimal (harmonie préétablie) di dalam dunia ciptaan ini. 

Dengan perkataan lain, si serakah tak lagi mengakui, sebagaimana disebut Thomas Aquinas, bahwa keterbatasan atau cacat sebagai kekurangan akan kesempurnaan yang pantas atau wajib (carentia perfectionis debitae). Artinya, tak ada lagi damai-harmonis dengan dirinya sendiri (at peace with itself) dan damai harmonis dengan sesama (at peace with others).
Pada akhirnya kita tahu, si serakah akan berpidato mengenai kebenaran yang ia yakini: "Kebenaran itu ibarat cicak; yang kita tangkap selalu ekornya, yang menggelepar seperti hidup—sementara cicak itu sendiri lepas." 

Dengan pidato ini si serakah lantas memproklamasikan dirinya sebagai raksasa manis yang beridri di antara deru dan debu, yang menegakkan dirinya sendiri di atas ketidaksempurnaannya—dalam meraup perut sesama, alam, hingga dunia huniannya. 

Inilah yang dikerjakan oleh dewan terhormat yang kita miliki, juga para penguasa dan pengusaha negeri ini. Setya Novanto, dengan pelukah Fahri Hamzah dan Fadli Zon misalnya telah memperjual belikan kekuasaan mereka demi jatah saham. Kasus ini lebih trend dengan "Papa Minta Saham".

Buah-buah keserakahan pun bermunculan hingga tak terbendung: si miskin dan tertindas bertambah jumlahnya, semburan lumpur panas yang siaga menelan jiwa orang-orang yang tidak turut "mengundangnya", badai mengamuk di berbagai tempat, pembantaian unggas sebagai solusi bagai penyakit flu burung yang entah kenapa dilihat sebagai ulah para unggas, dan kita tahu, di negeri ini bencana demi bencana dan penindasan tiap hari melejit seiring waktu. 

Tragisnya, kita tidak tahu siapa yang bersalah atau siapa penyebabnya, kecuali kita hanya bisa mengatakan "betapa serakahnya manusia !"

Kebanyakan orang di zaman ini mengamini bahwa serakah atau serakah itu manusiawi. Karena manusiawi maka sah-sah saja kalau orang menjadi serakah. 

Biasanya mereka yang punya prinsip seperti ini dengan mudah akan berdalih: Bukankah segala bentuk hasil teknologi yang hari ini kita nikmati justru lahir dari keserakahan manusia? Anda boleh setuju atau tidak... yang penting saling menghormati pendapat satu samalain.

Persoalnnya, kini sifat serakah itu tidak hanya menyangkut materi atau harta kekayaan, melainkan juga tampil dalam kebengisan, kebakhilan serta dalam ambisi manusia. 
Dengan ambisi ini manusia seakan tak cukup hanya menjadi kaya atau hanya menjadi orang terkenal. Semua ingin dimiliki, segalanya ingin diraup, dan pada akhirnya ia pun merindukan kemuliaan—yang dalam batas tertentu ingin menjadi Tuhan bagi dirinya sendiri dan orang lain. 

Betul bahwa kebahagiaan tak pernah bisa diraih hanya dengan apa yang kita miliki. Lain halnya kalau kita sangat bersyukur atas semuanya itu dan sungguh menikmatinya dalam hidup kita.

Mungkin hari-hari ini, rasa syukur semacam ini tak lebih dari utopia belaka. Pada kenyataannya, seseorang yang kaya raya justru menjadi orang yang rentan korupsi. Istri yang baik dan cantik seakan tak cukup bila uang yang disimpannya di bank terlalu banyak. 

Ia seakan perlu membeli perempuan lain untuk menghiburnya. Tak heran bila skandal para pejabat dan tokoh-tokoh publik menjadi sorotan di layar kaca dan media cetak lainnya. 

Masalah yang tadinya sekedar persoalan pribadi pun kini menjadi persoalan publik: karena sifat dahaga seorang pejabat yang korup dan bejat misalnya saja ikut andil dalam persoalan yang dihadapi orang miskin dan tertindas, mereka yang tersingkirkan dan tak medapat kesempatan.


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.