iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Si Boto Surat

Mungkin Anda termasuk yang meyakini dan mengimani adanya kebenaran atau adanya Tuhan. Bisa jadi awalnya keyakinan dan iman itu melulu berdasarkan warisan dari orangtua kita.

Namun seiring dengan pertumbuhan menuju dewasa, keyakinan dan iman ini boleh jadi berangsur-angsur berubah. 

Perubahan itu bisa jadi relasi dengan orang sekitar, atau karena alam pikir yang semakin hari semakin dipenuhi logika.


Iman Melebihi Agama

Pertanyaannya pun sederhana: apakah Tuhan itu melulu khayalan manusia dan bukan sesuatu yang nyata? 

Logikanya begini.

Bila Tuhan itu khayalan, maka umat beragama adalah kumpulan orang-orang penghayal; atau seluruh kewajiban agama itu cuma omong kosong. 

Lagi, apabila pola pikir ini jadi pegangan kita, maka para pastor, pendeta, ustad, rabi dst cukup mengatakan kalimat ini "Mari berkhayal dan menganggap Tuhan itu ada!" dalam kotbah mereka.

Jelas sekali berbeda iman akan adanya Tuhan dengan keyakinan pada ketuhanan. Bila iman kepada Tuhan berarti iman pada sesuatu yang ADA (yang kita namai Tuhan), maka keyakinan pada ketuhanan hanyalah keyakinan pada sesuatu yang mungkin nyata, namun mungkin saja tidak nyata.


Tuhan Tak Lahir dari Hayalan

Pola pikir Barat mengalami pergeseran dari iman akan Tuhan menuju keyakinan pada dimensi ketuhanan (manusia). 

Banyak orang Barat menganggap bahwa beragama tak lebih daripada menghayal tentang adanya kebaikan, yang berikutnya menggiring mereka menjauhi keburukan dan suka mengerjakan kebajikan.

Dalam ranah pemikiran Barat ini, iman kepada Tuhan hanyalah dorongan internal yang pengaruhnya lebih kuat dibanding dorongan eksternal (dari luar dirinya). Konsekuensinya, bila seseorang beribadah menurut agamanya, maka tindakan itu mereka lakukan hanya karena tuntutan eksternal.

Mereka akan malu bila tidak pergi beribadah bersama orang lain, apalagi mereka suka disindir oleh imam dari altar, para tetangga atau orang terdekat yang sok suci.

Pola pandang ini kemudian menggiring seseorang pada "atheisme" yang meyakini bahwa eksistensi Tuhan hanya akan tampak disaat manusia menjalankan kewajiban untuk menyembahNya.

Sementara dalam teologi agama-agam semit, eksistensi Tuhan samasekali tak terpengaruh oleh cara manusia "memperlakukanNya".


Pengetahuan menjangkau eksistensi Tuhan?

Para teolog dan para pengajar iman yang tidak cerdas akan jatuh dengan mudah pada pandangan Barat di atas.

Tentu akan bahaya ketika kita meyakini bahwa Tuhan tak lebih dari sekedar "materi" ajaran yang harus disampaikan.

Padahal, merujuk pada istilah orang Batak, para malim (imam) adalah "Si Boto Surat" (para ahli kitab).

Pertanyaannya, apakah "Si Boto Surat" secara otomatis dekat dengan Tuhan? Nyata bagi kita ketika banyak ahli agama terlalu banyak BERBICARA TENTANG TUHAN, tetapi tak menjadi jaminan bahwa mereka sering BERBICARA DENGAN TUHAN.

Lantas, sebagai awam, apa tindakan kita saat berhadapan dengan situasi ini? Pertama-tama kita harus sadar bahwa "Pengetahuan akan Allah" adalah berbeda dengan "Iman Kepada Allah". 

Maka, ketika hidup seorang imam kacau balau, tetapi serentak ia jago berkotbah, maka sah-saha saja kita "mendengarkan dan mengikuti perkataannya, tetapi jangan sampai meneladani tindakannya!"

Kedua, kita harus memaksimalkan imajinasi kita sebagai jembatan untuk menjangkau eksistensi Tuhan.

Artinya, dengan imajinasi kita hendaknya duduk tenang dan memfokuskan perhatian pada Yesus Kristus, mendengarkan dorongan lembut dari Roh-Nya dan memaksimalkan imajinasi kita untuk merasakan dana menikmati kasih Allah.

Sebab imajinasi adalah wahana kehadiran Roh Allah yang mengajarkan kita tentang iman kepada Allah hingga kelak kita mengalami kedalaman relasi dengan Allah itu sendiri.

Maka, meditasi adalah salah satu sarana mengalami kehadiran Allah lewat imajinasi ini. Sebab, sebagaimana kita tahu, orang beriman adalah orang yang cerdas menggunakan akal budinya: mengurai secara rasional tentang keberadaan alam semesta, manusia dan kehidupan lain; dan akhirnya membentangkan adanya kehidupan sebelum dan sesudah kematian.


Simpulan

Hanya orang yang mampu memaksimalkan akal budinyalah yang mampu meningkatkan kualitas keimannya. 

Sebab, orang cerdas tak akan beribadah atau mengajarkan ajaran agamanya hanya karena tuntutan doktrinal ajaran agamanya itu sendiri; melainkan karena ia sungguh tahu dan sadar bahwa melalui akal budinya ia mengimani bahwa Allah akan menjawab segala persoalan hidupnya, bahkan melampaui kemampuan akal budinya.

Demikianlah imajinasi dan akal budi menggiring kita pada ide-ide apa saja, tak terkecuali ide tentang Tuhan dan eksistensiNya.

Imajinasi akan menggiring kita pada fonomena umum (tesis), anti thesis (hipotesa) hingga menemukan sebuah kesimpulan (sintesis) yang di kemudian hari masih bisa dipertanyakan.

Dengan imajinasi pula keterbatasan akal budi kita menjangkau Tuhan akan menjadi stimulus bagi kita untuk terus menerus mencariNya; hingga di titik tertentu kita justru menyadari kehadiran-Nya.

Lusius Sinurat

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.