iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Puasa: Momentum Suci Menggapai Sang Ilahi

Puasa: Momentum Suci Menggapai Sang Ilahi

Siapa pun yang saban hari menyetir kendaraan di jalan terjal dan penuh lobang (seperti sebagian besar jalan raya di Propinsi Sumatera Utara) akan sangat hafal bagian-bagian mana yang aman dan tidak aman ia lalui.

Hampir pasti ia tak akan memacu kendaraannya dengan kecepatan tingggi bak pembalap F1 atau pembalap MotoGP. Ia akan mengurangi kecepatan, memperhatikan jalan dengan jeli, dan mencari akal agar tak terjerat dalam kubangan lumpur atau terjatuh karena kehilangan keseimbangan.

Demikian juga mereka yang terbiasa menyetir di jalanan yang mulus seperti kebanyakan jalan raya di Pulau Jawa dan Bali pasti tak akan fokus pada upaya menghindari lobang, atau harus memilih bagian jalan yang bagus dan menghindari yang jelek.

Hampir pasti, terutama di saat lengang, mereka akan memicu kecepatan atau saat padat, mereka akah berhati-hati jangan sampai menabrak kendaraan di depan atau malah ditabar kendaraan dari belakang.

Setiap tahun kita berpuasa. Semua agama menjalankannya. Agama yang secara formal merayakan masa puasa itu Yahudi dan Kristen selama 40 hari dan Islam selama 30 hari.

Kendati secara ritual cukup berbeda, tetapi intisari dari masa puasa itu (Bulan Suci Ramadhan di Islam dan "Masa Prapaskah dalam Kristen dan Yahudi) adalah "saat di mana setiap umatnya secara periodik (30 hari dalam Islam; 40 hari dalam Katolik) diharuskan untuk menjalin relasi yang intim dengan Allah sembari menampilkan intimitas itu dalam relasi dengan sesama, juga dengan semesta."

Artinya, secara yuridis semua agama selalu mewajibkan umatnya berpuasa. Walaupun ritual puasa sendiri bersifat publik (sebagai kewajiban), tetapi secara faktual, pelaksanaan puasa itu tak bisa dilepaskan dari "daya tahan" personal.

Makanya selalu ada istilah "puasanya sukses" atau "puasanya batal". Tetapi persoalannya adalah sukses atau batal itu kebanyakan disebabkan oleh tindakan personal alias orang yang berpuasa itu sendiri; kendati tak bisa disangkal selalu ada alasan sosial.

Adapun alasan personal sebagai penyebab seseorang batal puasa misalnya, adalah karena "daya tahan" si pelaku puasa emang rendah alias tak mampu mengendalikan diri.

Sementara alasan sosial batalnya puasa seseorang biasanya karena faktor eksternal, seperti godaan seseorang atau sekelompok orang, bahkan hamparan makanan nikmat yang membuat kita harus menelan ludah.

Tapi, disadari atau tidak disadari, daya tahan personal ternyata jauh lebih memengaruhi berhasil atau batanya seseorang berpuasa daripada godaan sosial.

Ini ibarat perumpamaan seorang pengendara (supir) yang selalu tahu cara menyetir di jalanan yang berkelok-kelok, di jalanan yang hancur dan penuh lobang yang membahayakan, atau saat ia menyetir di jalanan yang mulus.

Di titik inilah pemerintah, terutama Kementerian Agama tidak menggeser makna ritual suci, seperti saat ini Bulan Suci Ramadhan, dari "puasa sebagai ritual keagamaan" menjadi "puasa sebagai sebuah kebijakan negara yang berwarna politis".

Sebab, sesungguhnya mereka yang tidak berpuasa bukanlah setan yang diutus Allah untuk menggoda mereka yang berpuasa. Justru karena ada orang lain yang tidak berpuasa di saat kita berpuasa, maka makna suci puasa itu menjadi sangat berarti, entah secara sosial, tetapi terutama secara personal.

Bagi para sahabatku di dunia maya dan dunia nyata, dan segenap handai taulan yang beragama Islam, dengan rasa hormat saya hanya bisa berdoa sembari berucap tulus kepada Anda sekalian...

SELAMAT MENJALANKAN IBADAH PUASA !


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.