iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Kursi dan Meja

Kursi dan Meja
Kita lebih menyukai kursi dibanding meja. Ya, karena keberadaan kursi erat terkati dengan tingkat kenyamanan kita saat duduk. 

Sebaliknya, kita sering tak terlalu peduli dengan meja, sebab meja kerpa dipandang perlu hanya ketika kedua tangan kita butuh sandaran ketika melakukan aktivitas tertentu.

Di dunia sosial, budaya dan politik,  "kursi" kerapa dijadikan simbol kekuasaan (yang nyaman dan menyenangkan); sementara "meja" sendiri menyimbolkan pekerjaan (manus).

Saat kita sekolah dan kuliah, di ruang kelas atau ruang perkuliahan kita diberi kursi lipat, yang tak terlalu nyaman untuk diduduki, dan sangat tidak nyaman dijadikan alas buku atau laptop saat mencatat.

Tak hanya itu, para guru dan dosen malah seringkali tak kebagian meja di ruang kantor yang bisa mereka jadikan sebagai tempat untuk mempersiapkan matapelajaran/matakuliah di kelas. Kalaupun ada, biasanya mereka hanya diberi meja kecil, yang bahkan tak muat menampung lembaran hasil ujian anak-anak didik yang akan mereka periksa.

Lain halnya dengan para kepala sekolah atau rektor. Mereka memiliki kursi empuk dan meja yang luas seperti yang digunakan oleh presiden, gubernur, bupati, camat dan lurah, bahkan kepala desa yang kini dimintain Pusat menghabiskan 1 milyar bantuan desa. Kursi dan meja berukuran lebih besar juga digunakan oleh bos-bos perusahaan.

Lantas mengapa bos-bos tadi harus menggunakan kursi empuk dan meja berukuran lebih luas? Yang pasti sih, kursi dan terutama meja kerja tadi pertama-tama adalah demi mempermudah mereka mengerjakan sesuatu di sana. 

Emangnya apa yang mereka lakukan di sana? Biasanya sih, di atas meja-meja tadi diletakkan timbunan arsip berupa proposal, laporan, dan berbagai arsip administratif lain. Dengan kursi empuk dan meja yang luas tersebut mereka hanya bisa mengerjakan 2 aktivitas. 

Pertama adalah menandatangani atau memberi assessment untuk proposal, laporan dan sejenisnya, dan kedua, adalah memanggil bawahan untuk menjelaskan perihal berbagai arsip tadi.

Nah, bentuk, ukuran dan kualitas kenyamanan sebuah kursi dan meja ternyata juga  bertautan dengan pengklasifikian golongan atau status para pekerja. Artinya, semakin keren kursi seseorang, maka ia adalah bos bergaji tinggi, tetapai kerjanya cuma duduk dan membubuhkan tanda tangan. Sebaliknya, bila kursinya biasa saja, apalagi hanya berukuran kecil, maka ia hanyalah manager atau staf biasa yang kerjanya sering ke lapangan.

Lain lagi dengan kualitas meja. Semakin bagus dan luas meja kerja seseorang, maka ia adalah seorang pemalas berstatus raja yang kerjanya duduk di kursi empuk dan menaruh kakinya di atas meja. Ya, kerjaan mereka, seperti telah disingguh di atas, tak lain hanya membubuhkan tandan tangan dan menulis memo. 

Sebaliknya, semakain kecil meja kerja seseogan, maka pekerjaanny adalah merport semua yang terjadi dalam perusahaan dan selanjutnya, hasil reportnya tadi akan ia tumpuk di meja yang lebih luas milik bosnya.

Begitulah yang terjadi, di mana bentuk, ukuran, ornamen dari meja dan kursi biasanya terkait dengan jenis jabatan seseorang dan seberapa besar lembaga yang ia pimpin. Maka, seseorang tak semestinya bangga ketika ia punya ruang kerja sendiri yang dilengkapi dengan meja yang luas dan kursi empuk, karena sesungguhnya hal itu akan membuat dia sebagai manusia paling tidak kreatif. 

Bagaimana tidak? Ia telah melewati masa studi secara formal selama kurang lebih 20 tahun, tetapi selaksa ilmu yang ia dapatkan tadi tak sempat ia praktikkan. Ya ialah... kerjanya aja cuma memeriksa dan menandatangani arsip-arsip yang bersifat administratif tadi. Paling-paling ia sesekali dan secara rutin memimpin rapat.

Makanya, seseorang tak punya alasan untuk berbangga diri punya ruangan yang dilengkapi kursi dan meja bermotif ukiran jepara di dalamnya, disaat ia hanya bisa melakukan tindakan yang sama seperti robot di dalamnya: menandanga tangani arsip dan memimpin rapat. Kecuali, dengan kursi dan meja tadi bisa melahirkan ide-ide kreatif yang bisa Anda ajarkan kepada bawahan sehingga Anda masih punya waktu untuk melakukan hal lain.

Bukankah dalam teori kepemimpinan dikatakan bahwa pemimpin ideal itu adalah pemimpin-pelayan? Ya, ia harus melakukan kewajibannya sebagai pemimpin, antara lain membubuhkan tanda tangan dan memimpin rapat untuk menentukan arah lembaga yang dipimpinnya, tetap serentak ia harus berani berbagi tugas dan tanggung jawab kepada bawahannya. 

Untuk apa? Tentu saja agara sang pemimpin tadi masih punya waktu melihat, menyapa dan bergaul dengan  customer / klien / pasukan / rakyat yang berada dibawah kepemimpinannya. Hanya dengan cara itulah ia menolong institusi, perusahaan atau negara yang dipimpinnya.

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.