iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Kertas Sele-sele

Mansen Sitanggang
Bapak Mansen Sitanggang, BA, Profesor Matematika SDN 094103 Bahtonang
Istilah sele-sele pertamakali saya dengar adalah di saat masih duduk di bangku kelas 1 SD. Istilah ini menunjuk pada kertas. Begitu biasanya. Boleh sembarang kertas, asal bukan catatan / buku tulis khusus pelajaran.

Orang di Jawa menyebutnya kertas oret-oretan. Tetapi artinya sama saja dengan istilah orang Sumut di atas. Kertas sele-sele biasanya dipergunakan sebagai tempat memetakan pikiran secara imajiner hingga realistis.

Sebab, di atas kertas inilah kita mulai melacak jawaban yang dibutuhkan tiap pertanyaan yang diajukan guru secara langsung atau mengidentifikasi masalah yang termaktub dalam setiap pertanyaan yang ada di buku pelajaran.

Misalnya, ketika ada pertanyaan mata pelajaran Matematik: "Berapakah hasil dari (1/2 + 1/7 ) - (5/14 - 2/7)?

Guru Matematika SD kami dulu, Bapak Mansen Sitanggang (aku sering menyebutnya Profesor Matematika, lih. insert gambar) mengurai soal di atas dengan cara meminta murid-muridnya terlebih dahulu menduga-duga jawabannya sembari melakukan hipotesa di atas kertas sele-sele tersebut.

Selanjutnya, setelah merasa telah menemukan jawaban yang menurut kita sudah benar sebagaimana telah diuraikan di atas kertas sele-sele tadi, kita akan segera memindahkannya dengan tulisan yang lebih rapih ke buku catatan kita.

Ini yang ditulis di sele-sele:
1/2 ---> 7/14
1/7 ---> 2/14
5/4  ---> 5/14
2/7  ---> 4/14

Maka, (7+2)-(5-4)=9-1=8

Ditulis di kunci jawaban = 9/14-1/14=8/14

Sele-sele ini rupanya sangat mumpuni. Sebab di atas kertas oret-oretan itu kita bebas mengurai dan menulis apa saja, tanpa takut benar atau salah, dan berhenti mencorat-coret setelah yakin telah menemukan jawaban yang benar.

Inilah pola pikir guru-guru jaman dulu yang menurut saya masih sangat bermanfaat hingga detik ini.

Awalnya, kebiasaan di atas (bisa jadi) memang lahir dari keterbatasan sarana teknologi. Tetapi sadar atau tidak, para guru-guru terdahulu telah menciptakan teknologi terhebat di dalam otak anak didiknya.

Hal ini sangat kita butuhkan di era Pokemon Go ini, tepatnya ketika anak-anak justru dijauhkan dari sele-sele, karena Google punya semua jawaban yang dibutuhkan, dan kalkulator akan menghitung semua penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian.

Lagi, model pertanyaan-pertanyaan Pilihan Ganda yang ada di buku pelajaran saat ini justru tak memberi ruang bagi anak-anak untuk mencari jawaban sendiri-sendiri.

Bagaimana tidak, semua soal pelajaran begitu didominasi oleh bentuk pilihan berganda. Para siswa cukup menebak dan guru pun tak peduli mengapa anak-anak didiknya bisa memilih salah satu dari jawaban yang selalu tersedia dibawah soal itu sendiri. Guru cukup memberi chech list atau sejumlah angka sebagai nilai yang ia rasa masuk akal.

Akhirnya, ketika sistem pendidikan menggiring anak-anak menjawab persoalan hidup atau mempersiapkan masa depan mereka dengan hanya memilih salah satu pilihan yang tersedia, maka pada saat itu pula anak-anak kehilangan kreativitasnya.

Kenyataannya, ketika guru-guru jaman dulu selalu menyediakan waktu khusus untuk memeriksa jawaban tugas dan ujian anak-anak didiknya sembari memberi catatan khusus, maka guru-guru jaman ini justru cukup menyerahkan segenap jawaban anak didiknya ke komputer.

Saya sendiri sangat terkesan dengan cara guru--guru SD kami dulu, karena mereka selalu meningkatkan potensi kita secara visual, mengajari pola berpikir sistematik sembari mengaitkan semua pelajaran dengan realitas.

....dan semua itu terjadi hanya karena kebiasaan menggunakan kertas yang kita sebut Sele-sele.

*) Sebuah catatan ringan untuk mengenang kehebatan Guru Matematika SDN N0. 0194103 Bahtonang yang kini sudah pensiun, Mansen Sitanggang, BA.


2 komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.