iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Provokasi Tanpa Reaksi

Provokasi Tanpa Reaksi

Seekor kucing disalib di Afrika dan dibawah gambar ditulis "juruselamat umat manusia". Bahkan Bunda Maria dan Yesus Kristus dijadikan gambar sendal jepit oleh orang tertentu.

Masih banyak bentuk provokasi lain, terutama kepada umat Kristen. Dua hari lalu Tabernakel di Gereja St. Paulus Paroki Kleca, Solo, Keuskupan Agung Semarang dicuri.

Saya teringat analisa penulis dan wartawan, Denny Siregar yang mengulik sikap umat Kristen yang seolah tak terprovokasi. Denny mengatakan sikap "dingin"-nya umat kristen terhadap segala bentuk provokasi itu justru membuat jengah para provokator.

Dalam kamus Bahasa Inggris, memprovokasi juga berarti memancing (provoke), menimbulkan (give rise to), membangkitkan (evoke), menyebabkan (cause), merangsang (agitate), menghasut (stir up), menggusarkan (rile), memarahkan (disgruntle), menjengkelkan (spite).

Begitulah orang-sang provokator selalu menginginkan orang atau kelompok lain yang diprovokasi bangkit amarahnya dan membalasa perbuatannya. Pasti si provokator membutuhkan perang untuk memuaskan nafsu kejahatannya.

Ada banyak bentuk provokasi, mulai dari provokasi gambar atau foto, rekaman suara, kotbah di tempat-tempa publik atau tempat ibadah, bahkan dengan mengurai panjang lebar tentang kesesatan sekelompok (beragama) orang tertentu dalam bentuk tulisan.

Bagiku tak penting segala bentuk provokasi tadi. Aku tak mencintai kelemahan hingga bersebadan dengan berbagai bentuk kelemahan dan ketololan segelintor orang yang kita sebuat provokator tadi.

Adalah jauh lebih penting menonjolkan kekuatan, terutama disaat provokator menabuh genderang perang. Maaka, sejalan dengan uraian bung Denny Siregar, sikap dingin atas berbagai agitasi dari orang/kelompok tertentu dengan menghina dan merendahkan berbagai simbol keagamaan Kristen justru telah berhasil membuat provokator mati lemas dan pusing sendiri.

Sebagai tambahan, di kalangan alumni Seminari Menengah dan Seminari Tinggi memperbincangkan kekuatan dan kelemahan Kitab Suci, bahkan menjadikan Yesus dan ajarannya sebagai candaan adalah hal biasa.

Ternyata hal yang sama juga terjadi di kalangan alumni pesantren Gontor di era Gus Dur, mereka menjadikan kisah nabi dan rasul sebagai bahan candaan.

Jadi, mengapa orang Kristen, terutama Katolik begitu kuat menahan amarah dan tak mudah menanggapi provokasi. Bayangkan, gereja dibom dan pastor hendak dibunuh, eh uskupnya bilang memaafkan.

Begitu juga dengan berbagai tindakan provokatif lain dengan motif yang sama di berbagai daerah selalu ditanggapi secara dingin: "Kita doakan agar mereka segera bertobat!" atau "Kepada seluruh umat Katolik, jangan sampai terprovokasi!"

Beberapa sahabat yang beragama lain lantas bertanya kepada saya, "Kalian kok tenang-tenang aja saat Yesus dihina dan simbol keagamaan dilecehkan?"

Aku hanya bisa menjawab singkat, "Karena sesungguhnya bukan kita yang memiliki Tuhan, tapi Tuhan yang memiliki kita. Lalu, ngapain juga kami harus marah terhadap orang yang merasa memiliki Tuhan?"

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.