iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Ketika Segala Hal Terjual Laris

Ketika Segala Hal Terjual Laris

Ketika segala hal terjual Laris, kita membutuhkan, kita bebas memilih untuk bersikap pesimis, optimis, atau realistis terhadap perkembangan tersebut.

Banyak orang pesimis saat ini. Aneh. Ya, memang terlihat aneh. Bagaimana tidak, apa pun bisa dikerjakan saat ini dan apa pun bisa dijual dan jadi uang. Si pesimis justru berpikir bahwa ia tak mau berjudi dalam hidup.

Bagi si pesimis, kendati semua hal bisa dijual maka hal itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang memiliki modal. Modal itu uang, dan uang itu adalah awal keberhasilan. Maka bila uang tak punya, apa pun tak mungkin bisa dikerjakan. Begitu keyakinan banyak orang saat ini.

Selain pesimis, banyak juga orang yang optimis di jaman ini. Mereka sadar bahwa uang sangat perlu dan keperluan itu adalah uang. Maka, semakin seseorang memiliki banyak uang maka ia akan memiliki peluang hidup lebih besar. Ini logika si optimis yang kita pahami saat ini.

Maka si optimis akan mencari segala cara untuk mendapatkan uang. Baginya apa pun yang dipromosikan para produsen atau para pedagang harus bisa dibeli. Pendeknya, godaan iklan itu tak boleh sampai merasuki otak mereka hingga tak dapat tidur.

Mereka harus mampu membelinya. Ap apun bisa dikerjakan. Apa pun, anything I can do. Tak jarang terjadi mereka menjual istrinya dengan cara memberi ijin kawin kontrak dengan pria Arab di Puncak, remaja SMP dan SMA menjadi pemuas nafsu om-om demi mendapatkan gadget termutakhir, bahkan memaksa anak-anak mereka menjadi artis hingga menjadi tulang punggung keluarga.

Mereka tergiur dengan nila kontrak. Belum lagi kesempatan masuk tivi semakin terbuka lebar. Banyak orang Eropa misalnya meninggalkan bangku sekolah hanya karena menjadi pemain sepakbola lebih mahal digaji daripada seorang CEO perusahaan.

Begitu juga masyarakat Indonesia yang lebih tertarik menjadi artis dan meninggalkan kebiasaan membaca buku hanya karena tak ada orang yang kutu buku jadi pesohor terkenal sekelas Aggun C. Sasmi.

Bahwa banyak pengorbanan untuk "berhasil" hingga "dilabeli harga mahal", itu tak jadi soal bagi mereka. Secara ekonomis, mereka sangat yakin bahwa biaya operasi pengurangan berat badan, membeli plastik mahal untuk memancungkan hidung atau membesarkan payudara, mengganti warna bola mata dengan soft lense yang supermahal, mematenkan alis dan bulu mata, dst akan kembali saat mereka manggung dan tampil dengan sempurna dihadapan para pembeli jasanya.

Akhrinya, si realistis menjadi jalan tengah yang lebih masuk akal. Sikap realistis itu selalu mengacu pada potensi diri dan daya saing di pasar. Pendeknya, si realistis itu selalu punya perhitungan matang. Ia tak membeli iPhone7 disaat ia merasa cukup realistis menggunakan Oppo sudah cukup menunjuang pekerjaannya.

Ketika seseorang optimis akhirnya menjual rumah dan tanahnya demi membeli mobil baru, atau ketika si pesimis hanya mengeluh karena tak punya mobil, maka si realistis akan memaksimalkan apa yang ada tanpa meratapi nasibnya tak punya mobil, juga tak akan lebih memilih mobil daripada kebutuhan yang lebih utama untuknya.

Akhirnya, di jaman ini kita tak boleh pesimis tetapi juga tak boleh terlalu optimis. Mari kita realistis saja. Kita jangan menciptakan dilema baru, di mana kita terlihat kaya tetapi karena mencuri uang negara, atau hasil rampasan.

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.