iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Menggusur vs Menggeser

Menggusur vs Menggeser

"Ahok itu tukang gusur," teriak para aktivis yang peduli pada warga di tempat kumuh. Kendati sebetulnya kebanyakan dari mereka justru tak tinggal di tempat kumuh itu.

Tapi secara pribadi saya selalu salut kepada mereka yang mengungkapkan kepedulian sosialnya tanpa motif politik Pilkada DKI. Bagiku, orang-orang seperti itu sudah bertindak benar. Mereka melakukan hal itu lebih pada suara keadilan dan keprihatinan pada penderitaan warga miskin.

"Tidak. Ahok tidak menggusur. Ia hanya menggeser atau menindahkan mereka ke tempat yang lebih layak. Warga itu yang menduduki tanah negara, bahkan pendudukan itu mengakibatkan Jakarta rawan banjir," jawab orang-orang pragmatis yang melihat tolok ukur kemajuan berdasarkan minimnya tempat kumuh di ibukota.

Menggusur vs Menggeser

Dalam keterbatasan menganalisa peristiwa relokasi Bukit Duri Jakarta, saya mencoba membentangkan pandangan sekaligus hasil permenungan saya:
  1. Ada beberapa fakta ditengah masyarakat kita bahwa mereka itu miskin karena (di)korban(kan) pemerintah. Belum lagi ada kesan mereka "betah" dengan kemiskinan dan kekumuhan itu. Betah itu biasanya dikaitkan dengan masa lalu, seperti mereka udah 3-5 turunan tinggal di situ, dan di wilayah itu ada kuburan leluhur, tempat ibadah mereka di sana, dst.

  2. Pemerintah merasa terpaksa melakukan relokasi karena demi kepentingan masyarakat yang lebih besar, seperti meminimalisir banjir, kemacetan, dst. Artinya, tindakan relokasi dilakukan demi menebus kesalahan pemimpin di masa lalu yang tidak berpikir progresif dan antisipatif hingga membiarkan tempat kumuh itu semakin menyebar.

  3. Namanya penggusuran pasti jahat, karena tak memberi solusi bagi korban penggusuran. Sementara relokasi itu baik karena justru memberi tempat tinggal yang lebih baik bagi warga. Hanya saja, tindakan merelokasi itu harus diasarkan pada pendekatan yang manusiawi, dan harus lewat komunikasi yang baik, agar warga kooperatif. Bisa jadi warga sendiri yang akan membongkar rumahnya lalu pindah. Tapi cara ini akan memakan waktu yang sangat lama, dan kondlik kepentingan antar warga akan sulit disingkirkan. (Lihat poin 1).

  4. Sesungguhnya tak satupun dari kita yang suka melihat orang lain menderita, apalagi penderitaan itu menimpa anggota keluarga, sahabat atau teman kita. Tetapi terlalu cepat menanggap diri sebagai korban bukanlah jalan terbaik untuk keluar dari penderitaan. Hal itu justru mengabaikan daya tahan dan daya juang kita sebagai manusia. Inilah alasan mengapa orang sehat yang jadi gelandangan dan pengemis di jalanam tak kita sukai.

  5. Dalam konteks bernegara, kita selalu mengidentikkan penderitaan dengan kemiskinan; dan kemiskinan berdasarkan pendapatan per kapita keluarga. Sementara dalam pemahaman agama dan spiritual, penderitaan justru tak melulu terkait dengan alasan ekonomis, tetapi juga alasan keterasingan (aloneliness) atau merasa disingkirkan. Hal ini lantas berarti bahwa penderitaan itu tak hanya menimpa seseorang atau sekelompok orang yang lemah secara ekonomi (miskin), tetapi juga mereka yang mungkin saja kaya dan punya banyak harta, tetapi tak memiliki keluarga, sahabat, bahkan disingkirkan masyarakat sekitarnya.

Menggusur vs Menggeser


Sekali lagi, tindakan MENGGUSUR itu memang memberi kesan negatif - kalau tidak mau dikatakan jahat. Sngat jelas bahwa penggusuran itu dilakukan sepihak oleh negara, dan korban penggusuran sendiri tak pernah diberi jalan keluar atau pilihan lain. 

Mereka harus meninggalkan tempat tinggal mereka, karena dianggap telah mencaplok tanah pemerintah secara tidak sah.

Tetapi menggeser/memindahkan atau MERELOKASI warga dari tempat kumuh ke tempat yang lebih layak seharusnya bukanlah tindakan jahat. Sebab warga cuma diminta pindah ke tempat baru yang lebih layak. Tempat itu juga tanah negara. 

Bedanya di tempat baru warga tak akan was-was dengan persoalan legalitas lagi. Belum lagi mereka justru difasilitasi tempat tinggal beserat isinya. Pendeknya kondisi di tempat baru itu jauh lebih baik dibanding ketika mereka tinggal di daerah kumuh, di tepian sungai.

Hanya saja, ada persoalan utama dari RELOKASI, yakni cara melakukannya. Cara mewujudkan relokasi ini menyangkut 3 pihak.

  1. NEGARA - harus kooperatif dalam mengupayakan dialog dengan warga yang hendak direlokasi.

  2. WARGA YANG DIRELOKASI -harus menyadari bahwa "pengorbanan" mereka untuk pindah ke tempat baru adalah demi kebutuhan warga yang lebih besar, seperti meminimalisir banjir, kemacetan, sungai kotor dst.

  3. AKTIVIS DAN PEMERHATI WARGA YANG DIRELOKASI - harus melihat persoalan relokasi secara utuh dan komprehensip dan secara jujur tidak membawa kepentingan politik dalam mendampingi warga. Apalagi Pilgub DKI 2017 sudah semakin memanas.

Akhirnya, kita semua berharap agar relokasi warga Bukit Duri (juga di daerah lain yang tak disorot televisi) tidak dimanfaatkan demi kepentingan politik, tetapi demi kebaikan warga yang lebih luas. Untuk itu bagi kita MASYARAKT umum jangan menilai relokasi ini secara parsial, tetapi secara holistik dan didasari oleh cinta kasih terhadap sesama.


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.