iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Demokrasi atau Demonstrasi?

Demokrasi atau Demonstrasi?
Demokrasi adalah Dilema. Di satu sisi masyarakat ingin bebas sebebas-bebasnya, sementara negara ingin masyarakat bersedia diatur demi kebaikan bersama.

Demonstrasi adalah salah media untuk menyuarakan hasrat masyarakat kepada pemerintah, dan ini selalu berbuntut pada kerugian bersama, minimal rusaknya fasilitas publik. Faktanya Undang-undang memperbolehkannya, entah demonstrasi anarkis atau demonstrasi damai tak jadi soal.

Hal paling aneh dalam sistem demokrasi justru ketika orang-orang yang berdemonstrasi, entah sebagai dalang (sponsor, yang mendanai) atau malah turun bersama wayang (dengan pengandaian bahwa diriya adalah tokoh publik) untuk terlibat di dalam demonstrasi tadi

Di negara kita sistem demokrasi masih berjalan dengan cara di atas, Tingkat pendidikan rupanya tak banyak membantu manaikkan tingkat kesadaran masyarakat dalam mengungkapkan perannya sebagai masyarakat. Buktinya, semakin banyak sarjana, master, doktor hingga profesor yang telah diproduk negara ini, tetapi nyatnya, mentalitas kampungan mereka yang menggiring masyarakat untuk anarkis.

Usut punya usut, hal ini terjadi karena masyarakat kita memang menyukai kerumunan. Kita seakan takut pada kesepian karena kita akan terbawa merenungkan diri sendiri oleh karenanya Sebaliknya masyarakat kita lebih mencintai kesendirian ditengah keramaian. Lagi dan lagi, hal itu terjadi karena kita semua menyuaki kerumunan.

Maka jangan heran melihat fakta-fakta yang terjadi ditengah masyarakat. Misalnya, kita sering merasa terpaksa atau memaksakan diri untuk datang ke sebuah pesta. Banyak juga warga kita yang ikutan demonstrasi tetapi samasekali tak tahu dia lagi menyuarakan apa. Sing penting manungsone akeh.

Mendirikan kelompok-kelompok ormas, baik yang mengatasnamakan agama, semangat kedaerahan, suku, daerah asal, bahkan perkoncoan tergolong mudah di negeri dipenuhi pemikiran mistik ini. Begitu mudahnya mendirikan ormas, yayasan atau komplotan yang berberak dalam semangat primordial seperti disebutkan di atas. Bahkan tak jarang juga label PD, PO, CV, PT dst yang semestinya izinnya untuk bisnis, eh justru dijadikan sarang terorisme karena semangatnya sama saja dengan ormas.

Tak hanya ormas. Partai pun punya sama aja. Semua parta, tanpa terkecuali punya semangat yang sama. Fakta telah berbiara betapa partai justru sering menjadi pisa pemecah belah kelompok masyarakat. Tak jarang terdengar ucapan yang memancing terwujudnya disintegrasi bangsa dari mulut-mulut bau elit legislatif yang mewakili partainya.

Publik juga tahu kok kalau partai politik di negeri ini juga punya mental yang sama dengan ormas. Ngamuk dan memecah masyarakat kalau kalah, dan patentengan dan sok kalau menang. Para elite partai malah tak jauh beda dari pelacur, yang makan gorengan pisang di pasar, dan berkerumun saat Car Free Day di Monas.

Semua mereka lakukan, tapi hanya disaat mencalonan diri jadi pencuri uang negara. Pemilu, Pilpres dan Pilkada tak lain adalah arena bersenggama bagi elite partai dengan para jagoan yang diusungnya, hingga melahirkan generasi buruk rupa dan siap menerkam lawan politiknya hanya karena kostum mereka berbeda.

Bangsa kita memang pencinta puisi, pantun dan segala bentuk kalimat basa-basi. "Mampir sik" katanya sambil berharap orang itu tak sudi mampir. "FPI menghina Pancasila", kata Rahmawati dibelakang Habieb Rizieq tetapi disaat yang sama ia berpelukan menghadang kelompok kakaknya, Megawati Soekarnoputri.

Sebegitu cintanya kita pada omongan-omongan manis, hingga kita pun selalu terlena dengan senyum merekah ketika orang-orang dari negara Barat sana menyebut bangsa kita sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia.

Kita sadar enggak sih kalau bangsa kita belum mampu berdemokrasi? Jujur saja kita masih lebih mencintai demonstrasi daripada membangun kepatuhan pada sistem demokrasi. Tak hanya masyarkat kelas bawah yang butuh 50.000 per demonstrasi, bahkan wakil ketua DPR-RI yang semestinya merawat demokrasi malah ikutan berdemonstrasi.

Ketololan dalam memahami berdemokrasi semacam ini justru dimulai oleh Fadli Zon dan Fahri Hamzah yang tak punya kerjaan di Senayan, hingga keduanya tak lagi ingat kesantunan berdemokrasi, tapi sebaliknya malah lebih laknat dari demonstran bayaran tadi.

Tak hanya itu, para profesor sejenis Amien Rais yang tak lagi didengarkan mahasiswanya di kampus pun mencari pelarian dengan ikutan berteriak bak kernet yang mencari penumpang di jalanan. Untung saja Yusril Izha Mahendra cepat sadar dan tak ikutan bloon seperti Mr. Sengkuni tadi.

Habibie pun termasuk mantan presiden yang tetap menjaga wibawanya dan bahagia dengan prestasinya di jaman dulu. Ini sangat kontras dengan SBY yang 10 tahun jadi presiden, tapi malah ikutan baper dan menjalankan politik "aku difitnah" demi menyusun kekuatan memenangkan anak pepo.

Padahal demokrasi dalam sistem bernegara hanya akan berjalan dengan baik, bila pihak-pihak yang ada di Eksekutif, Yudikatif dan Legislatif bisa bekerjasama demi kesejahteraan bangsanya. Itu yang kit pelajari saat belajar PMP/PPKn, PKn di SD dan SMP.

Sejauh ini kita tak pernah nyaman dengan kerjasama antar ketiga lembaga tinggi itu. Disaat awal reformasi mulut mereka yang meminta kebebasan, tetapi ketika menjabat mulut yang sama justru malng teriak maling.

Berdasarkan fakta-fakta di atas, juga atas pengamatan kita di lapangan, maaf saja , negara kita bukan, tepatnya belum menjadi negara demokrasi. Itu karena para elit politik kita masih mempraktikkan teori evolusi Darwin: "siapa yang terkuat dia yang menang".

Kita semua tahu teori darwin itu berlaku untuk mahluk hutan yang saban hari berebut makanana hingga saling memakan. Jadi, bila sistem demokrasi kita masih berjalan demikian, maka kita sama dengan orang-orang hutan, tetapi hanya berebutan saat melihat uang.

Negara kita memang belum mampu menjadi negara demokrasi, tetapi baru sanggup menjadi NEGARA dengan sistem DEMONSTRASI, di mana warga dan elite politiknya masih dikuasai rasa benci dan iri, hingga para pejabat negeri bukannya saling, melindungi justru saling mem-bully.

Maka wajar ketika negara terlihat ciut dan kalah dari para demonstran yang bermodalkan suara keras hingga menyebut diri sebagai sipir penjara kebenaran milik Tuhan.

Presiden memang tampak meradang dan menghadang lewat konsolidasi dan koordinasi dengan para pasukan khusus TNI dan Polri. Tapi sayangnya Kapolri dan Panglima TNI justru ikutan safari seperti anggota FPI: memohon supaya tidak ada demo.

Bukankah seharusnya mereka tak sudah bicara "melarang" disaat pendemo sudah jelas merobek keamanan dan kenyamanan masyarakat dan mengganggu pemerintah yang sedang bekerja?

Kita tak butuh lagi pencegahan lagi, Jenderal. Kita butuh penuntasan dan penindakan tegas. Saya gemas melihat cara jenderal kita yang seolah-olah membiarkan teoris masuk lewat wajah para demonstran.

#MariTindakTegasParaPenentangBhinekaTunggalIka.

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.