iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

#CemungudAhok

#CemungudAhok
#CemungudAhok menjadi tranding topik. Ungkapan alay ini adalah bentuk dukungan kaum muda pencinta Indonesia yang tak rela pemimpin yang mereka pandang berkualitas dan mampu menggiring ibukota sejajar dengan kota lain justru dinista dengan tuduhan menista.

"Siapa menista siapa" dan "siapa menista apa" adalah drama dagelan yang untuk kedua kalinya disiarkan televisi pencari rating. Tujuannya cuma satu, memproklamasikan ke seantero negeri bahwa "Ahok sudah bukan sekelas gubernur lagi: jadi enggak usah ikutan Pilkada DKI!"

Lihatlah para lawan politik Ahok, yang direpresentasikan para jaksa penuntut hanya bisa mengulang ungkapan-ungkapan alay yang dicuit oleh orang-orang alay pembenci Ahok.

Bila pengadilan kopi sianida hanyalah drama yang tak memutuskan apa pun kecuali kembali ke omongan Hakim Binsar Gultom yang begitu ngotot menuduh Jessica bersalah dan harus dihukum, maka pengadilan penistaan Agama pun hanya akan kembali kepada keputusan pertama yang dimotori komplotan pendukung cagub lain:

"Kalau Ahok bebas kami akan kirim lebih banyak lagi orang bersorban dengan celana ngatung ke Jakarta", atau "Bila Ahok akhirnya diputuskan bersalah dan dihukum (minimal tak boleh ikut mencalonkan diri sebagai gubernur DKI 2017-2022), maka FPI dan komplotannya akan berteriak "Allahuakbar" dan mengatakan Allah ada di pihak mereka dan pemerintah adalah bawahan yang bisa mereka atur sesuai pesanan."

Maka pengadilan ini hanyalah panggun penampakan orang-orang yang sangat jarang disorot tivi. Ini persis seperti deretan jaksa penuntut Jessica yang seperti bicara sesuatu tetapi sebetulnya tak mengatakan apa pun.

Percaya deh. Jaksa penuntut dalam kasus Ahok ini juga akan sama. Mereka seperti sedang menyampaikan sesuatu disaat mereka sebetulnya tak tahu apa yang mereka tuntut.

Tapi, ya bagaimana. Sistem hukum kita memang selalu terbuka pada tafsir hingga keputusan yang diambil pun hanya berdasarkan syak prasangka, tepatnya karena banyak orang yang menyangka Ahok menista.

Sementara para jaksa penuntut, hakim atau pengacara dan semua subyek dan atribut pengadilan itu tak sungguh tahu bahwa kebenaran itu bukan soa banyaknya (kuantitas) tetapi soal kualitasnya. Kata orang Latin, "Non multum sed multas".


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.