iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Pemuka Agama Harus Sungguh Terdidik

Pemuka Agama Harus Sungguh Terdidik
Hanya lulusan SD, SMP, atau SMA, tapi mereka mampu membombardir pemikiran para sarjana S1, S2, bahkan S3. Tak hanya itu, banyak profesor yang malah menjadi "anak buah" alias kacungnya lulusan SD tadi karena kalah berdebat.

Realitas ini hanya terjadi di Indonesia, negara yang menganut sistem pendidikan tanpa pembelajaran. Hasilnya, tingkat pendidikan samasekali tak memengaruhi kualitas pemikiran seseorang. Bagaimana tidak, orang bisa sarjana hingga doktor tanpa kuliah, atau tak pernah bikin skripsi, tesis atau desertasi.

Bikin kampus, sekolah tinggi, institut begitu mudah. Anda cukup sewa 3 buah ruko, jadikan ruang kelas. Lalu pinjam nama profesor Universitas yang rada punya nama sebagai rektor, dan cantumkan beberapa nama Doktor dari Perguruan Tinggi lain.

Tentu Anda tinggal membayar para profesor itu, kendati mereka tak pernah masuk kelas karena hanya mengandalkan asisten dosen untuk mengajar para mahasiswa. Atau, para profesor tadi hanya mengajar sekali dan hingga ujung semester hanya memberi tugas mahasiswanya.

Tragisnya, di bidang Pendidikan Agama pun praktik ini terjadi. Sederet gelar di depan dan belakang nama para pemimpin agama juga tak sulit diperoleh di sekolah agama atau sekolah alkitab. Gelar akademik juga mudah mereka dapatkan, bahkan ketika PT tempat mereka kuliah tak terdaftar di BAN PT atau asosiai PTS, karena gedung dan struktur organisasi yayasannya tak jelas. Sebaliknya mendapatkan status BAN PT juga tak sulit bagi mereka.

SAg, STh, MA, M.Th, atau gelar-gelar dari Luar Negeri semacam, Lic. Theol, PhD, dan sederet gelar lain relatif tak mudah diperoleh. Tak heran, semakin hari semakin banyak saja jumlah utadz atau pendeta yang lulus setiap tahunnya.

Konsekuensinya, kompetisi di bidang syiar atau penginjilan pun semakin sengit.Tak jarang para ustadz atau pendeta itu kesulitan mendapat lahan pekerjaan. Lantas apa yang mereka lakukan? Ya, mau tak mau, mereka harus melakukan apa yang juga dilakukan para pebisnis.

Dengan bermodalkan sejumlah uang mereka membangun mesjid atau gereja miliknya sendiri. Selanjutnya mereka mencari customer yang dalam terminologi disebut umat. Intinya, semakin banyak umat yang mempercayai mereka, maka semakin banyak pula uang masuk mereka.

Hal ini sah-sah saja, karena mengumpulkan infaq atau kolekte alias perpuluhan justru diwajibkan oleh lembaga agama mereka. Klop, sudah. Makanya para ustadz atau pendeta yang sukses adalah mereka yang berkharisma, pintar bicara dan jago berkotbah. Kurang lebih seperti para marketing yang cas cis cus menawarkan produk yang dijualnya.

Bahayanya, apakah muatan kotbah mereka bener (sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya) atau malah melenceng justru tak ada yang tahu.  Faktanya, orang perkotaan yang seharian telah lelah dengan pekerjaan dan pemikiran serius di tempat kerja justru butuh kotbah yang menghibur dan membuat mereka tertawa, dan bukan kotbah yang benar atau selaras dengan imannya.

Bahaya lebih lanjut justru ketika ajaran sesat yang diajarkan para pemimpin tadi justru tertutupi oleh ketokohan dan kharisma mereka, sehingga semakin hari jumlah pengikutnya yang sesat semakin banyak. Biasanya, bila ini terjadi, otoritas agama yang resmi pun mulai blingsatan hingga mengajak Pemerintah, terutama aparat keamanan turut camputangan mengamankan mereka. 

Sejarah telah membuktikan bahwa ajaran sesat justru semakin subur di negeri ini, dan para pemuka agama yang menyebut diri imam, bahkan imam besar di kelompoknya justru lebih sering berurusan dengan polisi daripada dengan Tuhan yang telah diperjualbelikannya.

Makanya jangan terlalu mudah meloloskan seorang jadi imam atau pewarta atau pembawa syiar agama. Mereka juga perlu sekolah yang benar, di universitas yang resmi/formal, dan setelah lulus mereka juga perlu diawasi oleh otoritas yang telah ada. Sebab, sudah tidak jamannya lagi seorang pemuka agama bermodalkan kharisma, panggilan (alam atau Allah), ketokohan atau kekayaan, dst. Mereka juga perlu dipersiapkan dengan sungguh-sungguh.

Itu juga kalau kita semua sepakat bahwa agama bukan isntitusi bisnis.


Lusius Sinurat

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.