iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Take Up And Read

Ambillah dan Bacalah

Jangan sampai media sosial menjadikan kita tak punya pendapat sendiri hingga kita larut dalam lalu lintas pendapat orang lain yang memang berseliweran di media sosial.

Bahkan yang lebih parah ialah ketika kita justru tak tahu lagi cara menuangkan pendapat kita sendiri (tentang fakta yang terjadi), sebab kita terlalu sibuk memelototi, membagi, menyukai, memelintir, hingga mengomentari pendapat orang lain.

Di titik ini saya mahfum dan sangat memahami mengapa Presiden Joko Widodo meminta aparaturnya untuk mengawasi lalu lintas informasi di media sosial yang semakin hari semakin tak terkontrol mengumbar kebencian dan menghasut masyarakat.

Apa yang diinstruksikan Pak Presiden oleh karenanya tak terkait dengan persoalan apakah masyarakat kita cerdas atau tidak cerdas, karena faktanya media sosial di Indoensia ini justru dikuasai oleh mereka yang mayoritas tak punya saringan di otaknya.

Mereka inilah sasaran empuk para pemecah bangsa lewt label-label SARA yang saban waktu menggiring netizen yang tak punya filter di otaknya tadi masuk dalam jerat mereka.

Faktanya, kelompok ini, lewat media sosial, justru semakin merajalela dalam merekrut pengikut barunya dengan cara mengumbar kalimat-kalimat provokatif atau ungkapan-ungkapan digital yang menyentil identitas para netizen tak punya saringan tadi.

Sebegitu "tekunnya" mereka memengaruhi kita hingga kalimat-kaliat berikut ini sudah tak asing lagi di telingan kita: 
  • "Indonesia telah dijual pemerintahan Jokowi kepada bangsa asing"; 
  • "Tenaga Keraja Asing (TKA) dari RRT telah membunuh kesempatan kerja tenaga kerja lokal"; 
  • "Pemerintahan Jokowi sedang berupaya menyingkirkan agama mayoritas dari negeri ini"; dst.
Lagi-lagi, para netizen tanpa filter atau jamak disebut "orang yang tak cerdas samasekali" tadi selalu siap menyantap berita-berita bombastis dan bersifat hox di atas, justru karena mereka sudah tak mampu menyaringnya.

Anda tahu, di titik inilah pentingnya membaca media-media mainstream yang sudah teruji netralitas dan obyektivitasnya serta sudah punya sumbangsih nyata dalam memajukan kecerdasan bangsa ini.

Tak hanya itu, rasanya tak ada salahnya juga kita banyak membaca buku-buku ber-'genre' filsafat demi menguji kemampuan logika berpikir kita hingga tak selalu satu arah atau malah selalu jalan di tempat. Percayalah, filsafat akan membuat otak Anda semakin sehat.

Selanjtunya, jangan sesekali menjadikan media sosial sebagai satu-satunya sumber informasi atau acuan kebenaran dari sebuah pemberitaan, sebab informasi tentang sesuatu tak pernah terwakili oleh sumber tunggal apalagi hanya dicatat di media sosial.

Positifnya, orang-orang yang masih punya filter di otaknya alias "netizen sumbu panjang" sering mengajak "netizen sumbu pendek" untuk mengubah kebiasaan mereka. 

Sebut saja ketika mereka sering memposting sesuatu sembari menyisipkan kalimat ini di awa, "Tolong dibaca dulu sebelum berkomentar".

Pastinya, kalimat yang berisi ajakan tadi bertautan dengan kebiasaan netizen di negeri kita ini yang sering langsung menuliskan komentarnya tanpa membaca. Padahal kita harusnya membaca dulu, mengolahnya di pikiran kita hingga menemukan nilai kebenaran di dalamnya.

Ungkapan agung "Tolle Lege!" (Take Up and Read, Ambillah dan Bacalah) ini tampaknya wajib kita jadikan acuan membaca dan menganggapi informasi yang semakin hari semakin berjibun di media sosial. Sebab seseorang hanya akan mampu memahami informasi tertentu bila ada orang (atau sumber berita lainnya) yang membimbingnya.

Akhirnya, pertanyaan sida-sida Etiopia, pembesar dan kepala perbendaharaan Sri Kandake kepada Filipus dalam Kisah Rasul 8:32 ini sangat menarik kita renungkan, "Bagaimanakah aku dapat mengerti, kalau tidak ada yang membimbing aku?"

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.