iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Kebiasaan Menghalau Keajaiban

Kebiasaan Menghalau Keajaiban

Kebiasaan seringkali membuat manusia seperti mesin. Di satu sisi kita menyebut kebiasaan sebagai bagian dari hidup yang disiplin. Itu juga tergantung dari cara kita menghidupinya.

Hidup di asrama, dengan jadwal yang ketat sebagaimana dihidupi seminaris Katolik di Seminari Christus Sacerdos misalnya, sering disebut sebagai upaya pendisiplinan. Tapi itu juga hanya berlaku bagi mereka yang menghidupinya penuh kesadaran.

Bangun pukul 04.45. Mandi dan beberes diri 05.45. Meditasi 15 menit sebelum Misa pukul 06.00 wib. Sarapan hingga setengah jam.

Cuci piring bagi petugas cuci piring, baca koran bagi yang santai serta buang hajat yang sedang kebelet. Itu bisa dilakukan hingga puklu 06.45.

15 menit sebelum sekolah dimulai, seminaris sudah harus masuk kelas, karena pelajaran pertama mulai pukul 7.00 wib. Preparasi ini penting karena sekolah berlangsung hingga pukul 13.45, hingga paruh hari ditutup dengan makan siang.

Istirahat hingga satu jam, termasuk baca koran, majalah atau bagi yang rajin baca bisa ke perpustakaan hingga pukul 15.00 atau memilih tidur siang selama satu jam.

Itu karena pukul 15.15 seminaris harus PC (perwujudan citra) yang diekspresikan lewat kerja bakti membersihkan gedung sekolah, asrama, taman dan 2 lapangan sepakbola.

Belum lagi bagi mereka yang bertugas memelihara babi. Mereka hrs mengambil makanan sisa dari rumah sakit untuk babi.

Pukul 16.00 sport dimulai hingga sore pukul 17.30. Berbagai cabang olahraga memang tersedia, mulai dari tenis meja hingga sepakbola, dari volley ball hingga basket ball. Tetapi ada saja yang malas berokahraga, dan memilih sebagai penonton.

Istirahat selama 15 menit lalu mandi dan berkemas untuk doa Angelus, badat sore dan bacaan rohani hingga pukul 18.30. Selanjutnya, belajar pribadi hingga pukul 19.00, yang diikuti makan malam.

Setelah makan malam dan cuci piring, kami harus melanjutkan belajar bersama hingga menjelang rekreasi (nonton tv atau main kartu) yang dimulai pukul 21.00. Pukul 22.00 kembali ke kapel untuk doa malam sebagai penutup hari dan pengantar tidur.

Kurang lebih begitu jadwal kami sselama di Seminari. Jangan harap sempat nongkrong di cafe, pacaran hingga larut malam, atau sekedar melihat purnama disaat malam begitu benderang.

Sulit? Rasanya tidak. Tapi itu juga relatif. Sebab ada juga yang bertahan hingga 4 tahun, tetapi serentak ada juga yang hanya mampu bertahan 1 minggu.

Tapi apakah ini yang disebut disiplin? Belum tentu juga. Sepertinya ini soal manajemen waktu saja. Ya, semacam pembiasaan gitu deh.

Hasilnya? Juga relatif. Karena pila hidup di asrama tadi tak lazim di luar sana. Maka, tak sedikit yang merasa ini siksaan hingga mundur. Namun, fakta bicara ada lebih dari separuh seminarus bertahan hingga tuntas.

Anehnya, sepanjang 4 tahun itu kami sering merasa diri sebagai robot, yang sejak bangun hingga tidur malam seakan tak menyadari apa yang telah kami lakukan.

Asal tahu saja, kami semuanya remaja cowok. Konsekuensinya, kami sering berontak bergerombol, mulai dari cabut rame-rame, merokok bareng, hingga cuek bareng saat guru yang mengajar tak menarik.

Lalu, terkait dengan relasi dengan cewek, kami pun tergolong out of date alias selalu ketinggalan jaman. Bayangkan saja, guru yang gendut, kurus kering dan sudah menikah kami bilang cantik.

Anak-anak SMAN 1 Pematangsiantar yang betus kakinya bak kaki hulk malah kami bilang seksi dan beauty. Ha ha ha.

Pendek kata, disamping pendidikan penuh disiplin itu, ternyata termaktub juga kebodohan alias ketertinggalan sosial. Ini terjadi karena kita sering melibaykan kesadaran kita. Tapi jujur kami tetap saja mampu menghidupinya dengan cara yang asyik.

Hanya saja, akibat manajemen waktu yang supet ketat itu, mayoritas dari alumni seminari yang tidak ingin menjadi pastor, justru menjadi pria romantis, kendati akhirnya menikah dengan istri yang berwajah membumi alias tidak cantik, karena tak cerdaa dalam memilih.

Ini seperti diungkapkan tetua adat Batak, daripada gak ada, ya sudahlah, nikah dengan siapa saja boleh, yang penting lawan jenis. Ha ha ha.

Anehnya, bagi orang seusia kami yang tidak tinggal di asrama, justru kerap mengatakan kami sebagai pria beruntung karena sarat prestasi dan jadi idola cewek-cewek.

Tapi kami justru baru menyadari itu setelah keluar dari sana dan hidup seperti manusia biasa di bumi ini. Ini ibarat masyarakat samosir yang yang sejak lahir hingga menjelang ajal tinggal di samosir.

Banyak dari mereka justru tak menikmati keindahan alam di sekitar Danau Toba, karena saban hari mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka.


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.