iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Kreativitas Itu Seharusnya Kontekstual

Kreativitas Itu Seharusnya Kontekstual

Saat ini kreativitas bukan lagi barang mahal seperti di masa sebelumnya. Minimal kata kreatif dan kreativitas selalu menghiasi media. Tak ketinggalan dengan kampanye politik yang 15 hari lagi menemui ajalnya.

#AHOKDJAROT

Lihatlah timses Paslon 2, Ahok Djarot pada Pilkada DKI 2017. Ketika para lawan melancarkan serangan bertubi-tubi, mulai dari kasus penistaan agama dan penghadangan di RT/RW, timses Ahok Djarot pun membuncah kreativitas mereka lewat "pendirian" Rumah Lembang.

Kita tahu selanjutnya, rumah bukan saja berfungsi sebagai panggung pewartaan visi, misi, program dan implementasinya di lapangan dari paslon Ahok Djarot, tetapi juga berfungsi sebagai ruang pengkuan dan pengaduan masyarakat kepada Ahok Djarot.

Berbagai jenis manusia dengan segala kebhinekaannya datang ke Rumah Lembang, mulai dari kawula muda, penggiat seni, artis, politisi, dan masyarakat dari berbagai sudut kota Jakarta.

Apa yang terjadi selanjutnya? Rumah Lembang pun tak ada bedangan dengan Balaikota Jakarta, tempat Ahok berkantor sebagai gubernur menggantikan Jokowi.

Secara psikofilosofis, kreativitas timses Ahok ini seakan mempertontonkan bahwa bagi masyarakat Jakarata Ahok bisa berkantor di mana pun, asal keluhan, aduan, dan permintaan tolong mereka ditanggapi dengan ikhlas.

Lantas bagimana dengan Paslon 1 dan Paslon 2?

#AHYSILVIANA

Paslon 1 juga sering mengumbar kreativitas timsesnya. mulai dari kaus kampanye yang menonjolkan tulisan AHY hingga melupakan mpok Sylvi.

Tak hanya itu, AHY juga secara kreatif melibatkan ayah, ibu dan saudaranya untuk pencalonannya. Apakah dia yang meminta dukungan peponya atau malah peponya yang memaksa agar ia menyelamatkan 'wajah' keluarganya, biarlah publik yang menilai.

Tak berhenti di situ. AHY-Sylvi juga dengan penuh perhitungan telah mengumbar janji akan memberi modal bagi pedagangan kecil, membantu para jomblo, bahkan menciptakan rumah apung kelas dunia macam di Venice, Italia.

Pokoknya keren deh. Belum lagi kalau mengingat betapa kreatifnya AHY saat mengumbar janji tak akan menggusur, tapi hanya menggeser sedikit rumah-rumah kumuh di Jakarta. Entah digeser ke arah sungai agar hanyut atau ke mana biarlah AHY yang tahu.

#ANIESSANDI

Lain Ahok, lain Agus, dan lebih lain lagi Anies-Sandi. Kreativitas Anies justru terlihat dari kelihaiannya merangkai kata demi kata hingga puitis.

Anies merasa masyarakat saat ini sama dengan masyarakat zaman Ismail Marzuki yang hanya pusing soal ucapan musyrik dan sirik. Ingat, bagi Anis-Sandi, kata-kata puitis jauh lebih penting dari tindakan dan perbuatan baik.

Maka tak heran ketika Anies-Sandi selalu "menyontek" program Ahok lalu memolesnya dengan kata-kata. Sebut saja KJP Plus, Oke Oc yang diikuti dengan gerakan berikut: telunjuk dan jempol tangan kiri membentuk lingkaran dan telunjuk tangan kanan dimasukkan ke dalam lobang tersebut.

RUANGSIMPUL

#01
Apa yang saya singgung di atas hanyalah salah satu contoh betapa kreatifnya masyarakat kita, termasuk para politisi, dan lebih khusus lagi para cagub DKI.

Bila kreativitas Ahok dan timsesnya selalu berbasis data dan disampaikan lewat logical thinking yang mumpuni, maka kreativitas AHY-Sylvi dan Anies-Sandi justru berbasis pada kata-kata bernama janji dengan pembalikan logika secara tak wajar.

Soal apakah janji tadi manis atau najis pada akhirnya tak penting bagi mereka. Karena yang terpenting dari paslon 1 dan paslon 2 adalah memenangkan pertandingan dan duduk di atas tahta kekuasaan.

Pastinya sangat masuk akal. AHY telah kehilangan karirnya di TNI-AD dan Anies telah kehilangan jabatan mendikbud dan belum ada tawaran mengajar dari fakultas sastra untuk mengajar puisi.

#02
Dari ketiga paslon di atas, siapa sebetulnya yang paling kreatif dan kreativitasnya tetap di jalur yang logis dan terukur? Harusnya sih Ahok Djarot, sebab keduanya telah membuktikan kalau mereka mampu dan itu tampak selama keduanya menjabat gubernur dan wakil gubernur DKI.

Sementara paslon satu Agus-Sylviana itu ibara pedagang yang berjualan makanan di tempat dimana orang tidak suka makan, atau Anies-Sandi bak membuka cafe dengan makanan-makanan khas Eropa di tempat di mana orang sangat fanatik dengan nasi plus ikan asin.


#PENUTUP

Sungguh kreativitas tak mungkin terhindar dari konteks yang mengiringinya. Sebab, kreativitas selalu terkait dengan ruang dan waktu: "Lu jual, gue beli !"

Lu jual janji yang tak mungkin lu sanggupin, gue beli dan gue buang ke tempat sampah. Lu jual janji akan berlaku manusiawi dan tak ingkar janji, gue beli dan gue kasih sama semut untuk dikerubutin. Tetapi kalau lu jual sesuatu yang sudah terbukti berkualitas, gue pasti beli dan akan saya nikmati.

Mengapa? Sebab masyarakat Indoesia secara umum, dan masyarakat DKI Jakarta secara khusus sudah punya cara baru dalam menilai apakah seseorang pemimpin itu kreatif atau malah naif. 

Ya, minimal di otak mereka sudah ada gambaran tentang orang kreatif, yakni orang yang memulai dari integritas dirinya sebelum mengajak orang lain mengikutinya.

Akhir kata, seorang yang kreatif tak mungkin mengatakan "Jangan Korupsi!" disaat ia sendiri adalah mantan koruptor kendati belum ketahuan.

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.