iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Selebrasi Ritual dan Banalitas Verbal

Selebrasi Ritual dan Banalitas Verbal
Hottian Simanjuntak tertawa melihat percakapan para imam di sebuah pastoran
Gosipus adalah seorang imam. Entah apa alasannya ketika ia selalu risau bila ada rekannya sesama imam absen merayakan atau menghadiri perayaan ekaristi saban hari.

Sepanjang sarapan pagi yang biasa mereka lakukan bersama, Gosipus selalu menyindir rekannya dan siapa saja rekannya sesama imam yang "lalai" menghadiri misa tadi pagi. Tak terkecuali rekannya sesama imam, Pancinius.

"Saudara Pancinius, saya yakin tadi malam Allah pasti bersamamu, memelukmu dan menyelimuti tubuhmu dengan RohNya yang damai," sindir Fransesco.

"Tentu saja Allah bersama kita semua, tak terkecuali saudara. Bukankah kita selalu saling memberi berkat "Dominus tecum!" lalu saling menjawab, "et cum spiritus tuum" pula? Apa yang salah, saudara Gosipus?" tanya Pancinius menanggapi sindiran Gosipus.

"Ya. Saudara benar. Tetapi yang kumaksud bukan itu. Aku cuma heran saja, mengapa saudara tidak misa tadi pagi?" Tanya Gosipus sembari menyadari kalau sindirannya tadi tak mempan.

"Saya tahu maksudmu, Gosipus. Itu sudah menjadi kebiasaanmu. Rasanya saya tak bisa mengulangi waktu alias kembali ke masa lalu. Saya akui memang saya memang tak bisa bangun pagi hingga tak datang ke kapel untuk misa bersama umat. Saya pun minta maaf bila hal itu salah.

Tapi hal itu toh sudah berlalu. Bahkan sebelum sarapan tadi saya sudah menyapa kalian dengan berkatku sebagai imam, dan termasuk saudara Gosipus saya saksikan sendiri ikutan juga menjawab "dan beserta rohmu juga" tuh.

Tapi, mengapa dari tadi saudara Gosipus masih membicarakan kealfaanku di misa bahkan hingga makan pagi kita tuntas? Saudara terlalu sering menjadikan kelalaian orang lain sebagai lauk pauk sarapan pagi, makan siang, makan malam, bahkan ketika saudara menonton televisi.

Entahlah, tapi saudara sering terlalu betah tinggal di masa lalu, bahkan ketika orang lain sudah berlari jauh ke depan. Seperti pagi ini, dari tadi saudara terlalu banyak bicara tentang saya, tentang kealfaan saya.

Saya jadi berpikir negatif, jangan-jangan saat memimpin misa tadi pagi saudara justru menjadikan kealfaan saya di misa sebagai bahan kotbahmu kepada umat yang hadir," Pancinius mulai agak geram dengan tingkah Gosipus.

Belum tuntas celotehannya, saudara yang lain di meja makan secara serentak menjawab, "Betul!"

Kebetulan saat sarapan tadi hadir juga Ambegnius, Sabarnius, dan Sokpintarnius.

"Bener banget tuh, saudara Pancinus. Saudara kita si Gosipus ini memang menjadikan ketidakhadiranmu di misa sebagai bahan kotbahnya tadi pagi," tambah Ambegnius yang juga sering jadi bahan kotbah Gosipus.

Gosipus tak mau kalah. Ia mencari akal, memutar otak dan mencari pembenaran diri.

"Begini saudara. Ini masa prapaskah, masa pertobatan seperti digariskan Gereja. Jadi kalau kalian tak hadir dalam setiap perayaan misa saban hari, seperti yang sering terjadi, lantas di mana lagi letak pertobatan itu?" Gosipus mencoba meyakinkan saudara-saudara sesama dinanya. Ia memang selalu meyakini kwlau seorang imam itu harus mengimani aturan.

Sabarnius yang sejak tadi hanya diam, kini mencoba menegahi,

"Saudara-saudaraku, saya sering merasa kalau rumah ini seperti neraka. Kiat semua, satu sama lain sering saling mencari kelemahan hingga saling membakar amarah.

Bahkan, seperti kebiasaan saudara Gosipus ini... dia juatru sering terlihat loyo bila semua hal berjalan mulus dan semua saudara mengikuti kemauannya.

Tapi jangan salah memahami perkataan saya. Maksud saya, bisa jadi saudara Gosipus memang butuh kita semua, terutama butuh kelalaian kita, agar hidupnya lebih meriah dan merasa dia "ada". Ya,minimal ada bahan gosipnya.

Jadi, para saudara sekalian, seperti telah disinggung saudara Gosipus tadi, bulan ini kita sedang menjalani masa Prapaskah, masa pertobatan. Sebagai imam kita mutlak menjadi teladan bagi umat. Untuk itu, mari kita bersama-sama mengoreksi diri dan mulai membangun niat untuk berubah. Mari, hentikan segala kekerasan verbal yang sering membuat kita jauh lebih banal dari umat yang sering kita sebut korupsi.

Mari kita akhiri sarapan kita pagi ini dengan doa secara pribadi. Sepertinya kebiasaan kita yang terlalu mengandalkan doa bersama dengan doa-doa hafalan atau hanya membaca teks yang tersedia harus kita perkaya juga dengan doa pribadi.

Kita hening sejenak, dan mari melanjutkan berdoa secara pribadi," tutup Sabarnius yang akhirnya dituruti saudara-saudaranya.

Tentu saja Gosipus juga ikut instruksi, tetapi dari tadi mulutnya masih komat-kamit. Ternyata ia tak bisa berdoa, karena hatinya masih dongkol. Maka satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyala ngedumel, atau dalam bahasa batak Toba disebut "marbete-bete".


Lusius Sinurat

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.