iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Psikolog vs Filsuf

psikolog vs filsuf
Perkembangan pesat ilmu psikologi dan deru superkencangnya ilmu filsafat selalu membuahkan dua efek bagi orang cerdas sekaligus beragama, yakni (1) menjauhkan agama dari kehidupan riil-nya, atau justru (2) memperkaya keimanannya kepada Tuhan lewat pengoptimalan akal budinya secara kreatif.

Para psikolog yang membuka berbagai terapi penyembuhan jiwa mengklaim metode penyembuhannya selaras dengan penyembuhan spiritual yang dilakukan para nabi di jaman lawas.

Para filsuf yang liar tanpa lahan praktif mencoba mengobati kerinduan manusia akan "keselamatan di dalam Tuhan" atau kerinduan akan surga lewat ucapan, tulisan dan buku-bukunya yang njelimet.

Bedanya, para filsuf tak berani mengklaim caranya menyembuhkan selaras dengan cara Tuhan menyembuhkan. Sementara para psikolog tak segan-segan mengatakan ada banyak cara Tuhan menyembuhkan, dan caranya hanyala salah satunya.

Lantas mengapa para filsuf "begitu takut mengklaim penyembuhan lewat pengolahan akal budi sebagai bagian dari penyembuhan yang dikehendaki Tuhan" disaat para psikolog klinis dan non klinis begitu berani menjual temuan mereka?

Inilah perbedaan mendasar antar keduanya.

(1) Psikolog itu pekerjaan. Konsekuensinya, para psikolog harus mampu menemukan 'metode penyembuhan/terpi' terbaru agar mereka tetap laku.

(2) Sementara para filsuf bahkan tak pernah berani mengatakan mana pemikiran terbaru dan mana pemikirian lawas. Konsekuensinya, sebagaimana diimani para filsuf sesudah Plato dan Aristotels, yakni "semua buah pemikiran saat ini hanyalah catatan kaki dari pemikiran Plato dan Aristoteles".

Pertanyaannya, apakah seorang psikolog bisa sekaligus menjadi filsuf? Tentu saja bisa, kendati tak jarang juga mereka yang berupaya menjadi filsuf justru menjadi pasien bagi psikolog yang lain.

Sebaliknya, dapatkah filsuf menjadi seorang psikolog yang bekerja untuk menyembuhkan jiwa? Tentu saja bisa. Hanya saja metode penyembuhan ala filsuf justru kerap membuat klien/pasiennya bertambah gila.

Di titik inilah, para psikolog lebih cerdas dari para filsuf. Ya, ketika para psikolog mampu mengkonversi ilmunya sebagai mata pencahariannya, para filsuf justru lebih bertanya mengapa ia harus dibayar untuk berpikir?

"Cogito ergo sum," kata Rene Descartes filsuf di awal era kemodernan. Kurang lebih maksud Descartes adalah agar kita sadar bahwa kita semua adalah filsuf, karena mampu berpikir. Sebab, orang yang tak mampu berpikir dengan baik pasti akan mudah percaya pada hoax.

Padahal kata seorang filsuf Batak, orang yang mudah percaya hoax adalah orang yang suka memakan "hohak" (dahak).

Selamat pagi, sahabat fesbuk.
Carpe diem. Nikmati harimu.
Selamat berpikir.


Lusius Sinurat

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.