iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Skakmat

Skakmat
"Sesekali kali aja kau ngomong, tapi langsung bikin skak mat lawan bicara," celoteh Nanda Simorangkir menyikapi teman SMP-nya, Ando Aritonang.

"Ya. Begitulah si Ando ini. Ia sering spontan nyeletuk. Tapi gimana ya, omongannya emang benar sih. Kadang kita terlalu muter sana muter sini kalau diskusi hingga keluar dari inti pembicaraan kita," jawab Cyndy Tan yang tak jauh dari tempat duduknya Nanda. 

Masyarakat kita pada umumnya tak suka orang yang suka nyeletuk, apalagi si tukang nyeletuk selalu hadir dengan wajah kecut. Sayangnya mereka yang sering sangat spontan ini selalu datang dengan data yang valid. Biasanya orang yang suka nyeletuk mengekspresikan isi otaknya lewat tulisan. Itu bila ia ingin terlihat normal. 

Sebab kalau hanya mengandalkan diksi atau ucapan verbal, celetukannya yang valid itu hampir tak ada gunanya. Sebaliknya, bila ia juga suka menulis, maka celetukannya akan sangat bermanfaat untuk dirinya dan tentu saja pembacanya. Itulah yang dilakukan Sujiwo Tedjo, Mohammad Sobari, Cak Nun, Gus Dur, Romo Benny, dan beberapa penulis yang dalam keseharian suka nyeletuk. Mereka-mereka ini sangat tak menyukai kalimat-kalima panjang dan berbelit-belit gaya dosen-dosen universitas yang masih juniro. 

Misalnya, "Dalam menggapai tujuan X kami selalu berupaya memberi kajian-kajian tertulis sebagai landasan untuk melakukan tindakan praksis bagi pembuat kebijakan pendidikan, baik pemerintah atau swasta, agar dengannya semakin mantaplah penyelenggaraan dan pelaksanaan tugas pendidikan." 

Si tukang nyeletuk akan menyederhanakan kalimat di atas menjadi, "Kami akan membuat kajian penting yang berkaitan dengan sistem penyelenggaraan pendidikan kita." Anda tahu, orang yang suka nyeletuk biasanya orang cerdas. 

Cerdas, tentu tak selalu simetris dengan tingkat pendidikan formal yang mereka lalui. Pelawak adalah salah satu contoh. Celetukan si pelawak tak saja lucu dan mengundang tawa, tetapi juga serentak nyeleneh, menyinggung perasaan lawan bicaranya, tetapi biasanya berisi. 

Celetukan memang tak selalu negatif. Benar, ada juga sih yang suka ngoceh dan cerewet tapi tanpa isi, bahkan yang ada cuma bikin kesal aja. 

Namun, si pelawak terbaik adalah pelawak yang tak sekedar mampu menggiring kita keluar dari kotak pemikiran kaku kita, tetapi juga ia yang mengusik berbagai tradisi yang salah di sekitarnya. Kemahiran memainkan diksi adalah tak ayal lagi merupakan kekuatan seorang pelawak. 

Ya, si tukang nyeletuk tadi.Memang aneh. Tapi justru di situlah kelebihan si tukang nyeletuk tadi. ia bisa saja menyibak ke-gagal-paham-an kita dengan cara menelanjangi kelemahan dirinya yang suka gagal paham. Kita yang menyaksikan lalu tertawa, tetapi serentak juga jadi mikir. Lagi, ia sepintas tampak konyol. Spontanitasnya yang usil disaat lawan bicaranya terlihat serius sering malah mengaburkan konsentrasi temannya. 

Tapi biasanya itu ia lakukan karena tak sabar melihat orang bicara berbelit-belit. Gaya komunikasi seperti ini memang terkadang menyebalkan. terutama bagi orang yang menjalani hidupnya dengan sangat serius. Bagi mereka si konyolo yang suka nyeletuk tadi sering membuatnya tersinggung, geram bahkan menuduhnya tak tahu diri atau sok tahu. Lagi-lagi itulah keunikan si tukang nyeeletuk dan pelawak tadi. Mereka memang punya kecerdasan di atas rata-rata. 

Pemikiran mereka terkadang jauh mendahului pemikiran orang pada umumnya. Itu karena potensi yang mereka miliki bukan pertama-tama dari bangku sekolah atau universitas, tetapi lebih pada bakat alami yang dilatih sedemikian rupa hingga menjadi kekhasannya. Di dunia pertelevisian dan media mayua, kehadiran orang-orang seperti ini malah dirindukan. Sebaliknya, mereka yang hidupnya sangat kaku akan tersingkir perlahan. ***** 

Keunikan karakter personal dari orang-orang di lingkaran pergaulan kita tak saja menarik diamati, tetapi sekaligus jug akan memperkaya dan memperindah hidup kita, apalagi dalaam konteks pergaulan sosial kita. Pesona tiap persona menggiring kita pada sebuah komunitas yang berwarna, yang kita sebut sebagai masyarakat. 

Tentu saja kita tak cukup hanya takjub pada keunikan persona itu, tetapi sekaligus juga ketakjuban pada Dia yang menciptakan kita. Ketakjuban inilah yang berikutnya akan membuncah asa kita untuk mewujudkan masyarakat sehat. 

Cara inilah yang lebih pas untuk meng-counter orang-orang picik yang selalu pusing dengan perbedaan dan senantias sulit menerima keunikan pribadi lain. Mereka yang abai pada warna-warni tiap orang di sekitarnya tak lain adalah mereka yang hopeless alias kehilangan harapan dalam mewujudkan kemanusiaannya. Sebaliknya, siapa pun yang mengagumi pelangi dan indahnya warna-warni pasti selalu menghormati sesama di dalam cinta.


Lusius Sinurat

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.