iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Tak Sekedar Menyapa

Foto: Koleksi Pribadi
Beberapa kali, dalam sebuah perjalanan dari Kota Panguruan ke Simbolon untuk urusan pekerjaan, saya se-mobil dengan Pastor Nelson.

Ini pengalaman unik. Perjalanan yang kurang lebih bisa ditempuh sekitar 30 menit hingga 45 menit ini selalu mengasyikkan. Bagaimana tidak Pastor Nelson sering menghentikan mobilnya secara tiba-tiba, terutama bila beliau melihat orang-orang sekitar yang ada dalam jangkauan pandangannya.

Di sepanjang jalan, ia selalu berusaha menyapa orang-orang tadi. Tak peduli mereka itu umatnya (Katolik) atau bukan. Tak jarang pula beliau memberi tumpangan kepada siapa saja yang kebetulan tujuannya searah.

"Horas, inang. Laho tu dia hamu? (Horas ibu. Ibu mau kemana?)" sapa Pastor Nelson Sitanggang OFM Cap kepada seorang ibu yang bergegas ke ladangnya.

"Bah...bah... horas amang pastor nami. Laho tu hauma do satokkin, amang. Pastor laho tudia? (OMG, horas Pastor. Aku mau ke ladang sebentar. Pastor sendiri mau kemana?)," jawab si ibu dengan ekspresi gembira.

Di tepi jalan yang berbeda...

"Horas amang. Songon na stedi hian hamu. Na laho marpesta do halak amang? (Horas, bapak. Wah, bapak terlihat ganteng banget deh. Bapak mau ke pesta ya?"

"Bah horas di hamu amang pastor. Sai dilesengi pastor do au. Gabe maila iba bah. Imada, pastor, naing tu pesta ni Tulang do di Rianiate an. Muli pariban i (Horas Pastor. Pastor ngeledek aja nih. Jadi malu deh. Ya neh pastor, saya mau ke pesta Pernikahan paribanku di Raniate sana," jawab si bapak bercanda diiringi tawa renyah.

Begitulah Pastor Nelson. Biasanya tak kurang dari 5 menit ia menghentikan laju mobilnya untuk sekedar menyapa orang-orang tadi. Kemana saja kami pergi, beliau selalu melakukan hal yang sama.

Terkadang Pastor Nelson juga menyempatkan diri menyapa kaum bapak yang sejak pagi sudah ada di Lapo (warung kopi atau warung tuak).

"Horas di hamu amang. Bah, na so hu hauma do hamu? Sodap hamu bah, amang. Bot ni ari dope nunga hundul-hundul hamu di lapo on (Horas, bapak. Enggak pada kerja ke ladang nih? Asyik ya, pagi-pagi udah pada santai di warung)," sapa si pastor hingga tak jarang bapak-bapak tadi merasa disindir dan malu.

Beberapa kali juga saya menyaksikan betapa umat atau masyarakat yang disapanya tadi justru minta waktu untuk curhat barang sejenak.

Sembari mendekat ke arah mobil si pastor, ibu atau bapak tadi tiba-tiba bertutur X,Y,Z. Tapi anehnya, tak satu pun dari mereka yang meminta uang atau sesuatu. Mereka hanya minta didoakan si pastor, atau sekedar minta diberkati dengan menaruh tangan si pastor di kepalanya.

Jujur aku banyak kenal pastor, pendeta, kyai, ustadz. Tapi tak banyak dari mereka yang masih menghidupi kesederhanaan yang sangat menyentuh seperti yang dilakukan Pastor Nelson di atas.

Dengan berbagai kesibukan, mereka bahkan seakan tak punya waktu untuk sekedar menyapa umat atau orang-orang di sekitar mereka.

Ketika zaman berubah dan mereka atau kita semua pun turut diubah olehnya. Maka banyak dari pemimpin agama itu merasa sudah menyapa hanya dengan broadcast pesan di WA, BBM, LINE, IG, FB, Twitter, dst.

Menyapa orang secara langsung, face-to-face, tampaknya semakin hilang dari para pemimpin agama, pemimpin negara, pimpinan perusahaan atau apa saja. Padahal, kenyataannya, sentuhan semacam ini jauh lebih berharga daripada sekedar berkirim pesan di media sosial.

Betapa menyenangkan bagi seorang karyawan yang saban pagi disapa "Selamat pagi, dik. Selamat kerja ya" oleh bos-nya di kantor. Atau, betapa antusiasnya masyarakat Indonesia saat Presiden Jokowi datang menghampiri mereka hanya untuk sekedar salaman.

Betapa girangnya masyarakat Samosir ketika pemimpin agama mereka tak luput menyapa mereka. Ya, sebuah sapaan yang menyentuh sanubari.

Percaya atau tidak, sapaan sederhana ini seringkali punya efek luarbiasa. Inilah kesederhanaan yang sesungguhnya. Nyatanya, di ngeri ini masih banyak pemimpin yang berjiwa pelayan.


Lusius Sinurat

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.