iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Dunia Diantara Agama dan Fanatisme Semu

Dunia Diantara Agama dan Fanatisme Semu
Foto: Sorake Beach, South Nias, Indonesia (2013)
Dalam kaitan dengan kehidupan beragama, dunia saat in telah melahirkan beberapa fenomena menarik. Setidaknya ada 3 (tiga) fenomena yang secara spontan terlintas di kepala saya.

(1) Ketika kebudayaan dipandang sudah tak lagi mampu menyatukan masyaraka yang homogen, maka  seturut maraknya cross-culture yang tak terhindarkan di era globalisasi, maka agama mulai dilirik sebagai penggantinya.

Dalam bahasa anak muda kekinian, fenomena ini bisa dilukiskan begini...
"Mau lu ras Aria, Arab, India, Anglo Saxon, Asia, atau dari budaya mana pun lu datang tak ada bedanya bagi gue. Yang terpenting kita sama-sama Katolik."

*****
(2) Ketika negara dipandang tak lagi mampu melindungi dan menjamin kelangsungan hidup masyarakat di berbagai bidang, terutama dalam hal mejalankan hak-hak warga masyarakatnya, maka orang mulai melirik model negara versi ajaran agama yang dianutnya.

Lagi-lagi, dalam bahasa pergaulan anak muda jaman kiwari, poin ini bisa dijabarkan begini...
"Mau lu Inggris, Jerman, Perancis, Amirka, Australia, Suriah, Irak, Palestina, atau Indonesia sekalipun enggak masalah buat gue. Karena jauh lebih penting bagi gue kita sama-sama hanya mempercayai firman Allah, dan bukan perkataan pemimpin negara kita masing-masing. Jadi, enggak masalah negara ini hancur, karena kita bisa membentuk negara di mana Allah langsung jadi pemimpin kita."

*****
(3) Ketika gerak dunia saat ini dikendalikan oleh pendistribusian uang, baik dalam pengelolaan negara maupun pengelolaan institusi agama, semakin haru justru semakin banyak orang yang mulai bosan membantu sesamanya hanya dengan mentransfer uang.

Artinya, baik negara maupun agama dianggap tak mampu lagi dijadikan sebagai lembaga yang mampu menata kehidupan sosial mereka. 

Konsekuensinya ada dua:

Pertama, ketika seorang pejabat publik atau pemimpin agama menyampaikan pidato dan melakukan blusukan, mereka selalu melihatnya sebagai cara "untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompoknya".

Tampaknya ini memang logis, apalagi ketika melihat tingkah para aparat hukum yang menghadiahi para koruptor dengan hukuman ringan dan memberi hukuman maksimal kepada para pencopet sendal jepit di mesjid. Belum lagi ketika mereka jengah dengan sebagian pemimpin agama yang memasang tarif untuk pelayanan rohaninya.

Kedua, mereka tak puas dengan sistem pengelolaan kehidupan bermasyarakat, baik oleh pemimpin negara maupun pemimpin agama, mereka pun membentuk komunitas yang dihuni orang-orang sepaham (anti negara dan agama mainstream). 

Bahanya, kelompok jenis ini sering menjadi fanatik dan memposisikan dirinya sebagai lawan bagi orang -orang yang sebangsa, pun seagama, apalagi orang yang samasekali sepaham dengan mereka. Biasanya kelompok ini sangat bergantung pada pemimpinnya dan akan segera bubar dengan mati atau hilang, mundur atau kaburnya si pemimpin.

****
Pada akhirnya agama-agama mainstream hampir selalu lahir di tempat-tempat di mana konflik begitu bergejolak. Timur Tengah atau jazirah Arab misalnya telah melahirkan 3 agama Samawi, yakni Yahudi, Kristen dan Islam. Begitu India dan sekitarnya yang jauh lebih dahulu melahirkan agama Hindu dan Budha.
Dahulu kala, keuda daerah itu adalah daerah yang bergolak, bahkan selalu ramai oleh perang saudara di antara mereka. 

Ini lantas berarati bahwa agama lahir bukanlah pertama-tama untuk mengimbangi kekuatan iblis atau setan. Sebaliknya, agama lahir dan hadir justru di sebuah "arena peperangan", perang antar kita dengan diri kita sendiri, atau perang melawan hasrat untuk menguasai sesama kita.

Misalnya ketika ISIS melegalkan pemerkosaan dan pembunuhan kepada siapa pun yang tak sepaham dengan ajaran yang menurut pemahaman mereka sesuai syari'at Islam, maka mereka pada saat yang sama mereka justru mau mengatakan bahwa "Kami bukan Islam, karena Islam itu cinta damai!"

Warga Indonesia yang masih tersisa dalam perang melawan ISIS di Suraiah sana pun pada akhirnya kembali dalam bentuk wanita-wanita sinting karena tak tahu siapa persianya pejuang ISIS yang membutnya bunting dan pria-pria linglung karena selama perang ia bahkan tak tahu siapa kawan dan siapa lawan

Bagi segelintir yang menyadari kesalahannya memang akhirnya sadar dan bertobat sembari yakin bahwa mereka memang sedang memerangi dirinya sendiri, dan bukan sedang melawan orang-orang kafir yang selama ini mereka anggap sebagai musuh.

Sebab, sebagai orang beragama,  musuh terbesar kita adalah diri kita sendiri yang seharusnya mempelajari ajaaran agama kita sendiri, dan bukan malah menjadikan ajaran agama kita itu untuk membenaran tindakan-tindakan jahat yang kita lakukan.


Selamat HUT-RI ke-72

Medan, 16.08.2017
Lusius Sinurat

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.