Percayalah, kejayaan tak selalu identik dengan jumlah! Gereja Katolik yang telah mengarungi dunia selama kurang lebih dari 2000 tahun bahkan tak pernah merasa sedang dalam masa jayanya, bahkan ketika dunia tahu kalau jumlah pengikutnya selalu mayoritas di dunia.
Tentu saja, karena Agama tak lahir untuk mencapai masa jayanya. Kendati Agama adalah sebuah institusi, tetapi kualitas keimanan tak terletak pada otoritas institutifnya, apalagi jumlah pengikutnya.
Bukankah kuasa dan kejayaan Tuhan tak lantas bertambah dengan banyaknya pengikut agama yang menurut pengikutnya adalah hasil racikan Tuhannya. Sebaliknya kualitas keimanan seseorang justru terlihat nyata secara personal, dalam diri pengikutnya yang saleh.
Maka akan sangat bahaya ketika kualitas agama dinilai dari populasinya, apalagi yang bertumbuh pesat hanya karena kelahiran dan pembolehan memiliki lebih dari satu istri.
Andai saja ukurannya adalah soal mayor vs minor, maka tepatlah filosofi kuno orang Batak, "Anakhon hi do hamoraon di au" atau dalam versi Jawa disebut "Banyak anak banyak rezeki" ini kita amini.
Misalnya bila anak Anda "cuma" 2 orang, perempuan pula, dan rahim istri Anda sudah diangkat, maka sebagai suami Anda boleh cari bini lagi.
Bahkan ketika sang istri kedua tadi kemudian meninggal dan belum memberi ketururnan, maka sang suami boleh cari bini satu lagi. Tentu selagi si suami masih mampu menambah jumlah anak lewat goyangan assoy geboy nya.
Pertanyaannya, apakah mereka yang punya banyak anak otomatis mengalami kejayaan dibanding mereka yang tak punya banyak anak? Tunggu dulu. Dunia telah membuktikan kepada kita, bahwa kejayaan sebuah kelompok atau bangsa atau agama justru tampi dari pengaruhnya, bukan dari jumlahnya.
Di Meksiko penduduknya mayoritas Katolik, tetapi narkoba dan perang saudara telah banyak membunuh generasi mudanya. Begitu juga di Suriah dan Irak Islam selalu mayoritas, tetapi perempuan dan anak-anak di sana justru banyak terbantai akibat perang saudara, dan mengatasnamakan agama pula.
Di titik inilah kita harus sadar betapa lebih baik bermental mayoritas daripada berjumlah mayoritas. Orang di Bali menjadi contoh paling dekat. Bisa jadi secara polpulatif mereka tak mayoritas di Pulau Dewat sana. Bisa saban hari jumlah turis lebih banyak daripada jumlah penduduk setempat.
Itu karena orang Bali selalu bermental mayoritas di rumahnya sendiri: "Inilah kami orang Bali yang beryukur atas alam indah yang diberikan dewa kepada kami, maka biarlah kami merawat pulau dewata ini untuk kalian nikmati!
Kalian boleh datang dengan budaya kalian masing-masing, tetapi kami penduduk setempat hanya ingin berlaku, menghidupi budaya dan tradisi kami. Inilah yang menjadikan Bali lebih dikenal dibanding ibunya sendiri, Indonesia.
Mayoritas dunia jauh lebih mengenal bali dan budayanya. Itu karena mayoritas orang Bali sepakat untuk menampilkan hal-hal positif dari budayanya.
Posting Komentar