iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Jangan Menikah Kalau Beda Agama

Jangan Menikah Kalau Beda Agama
Suatu malam di tahun 2013 silam, seorang gadis beragama Katolik yang lagi gundah tiba-tiba mengirimkan pertanyaan via medsos. Aku tak mengenalnya, dan menurutnya dia berani bertanya karena berlangganan postinganku di FB dan blog.
Via medsos ia akhirnya memperkenalkan diri. Sebut saja namanya Syantik.

Syantik: "Bang, saya akan segera menikah dengan pacarku."
Aku: "Wah. selamat. Akhirnya si neng laku."

Syantik: "Idih. si abang becanda aja. Gini, bang. Si calonku itu Katolik. Sementara aku kan Islam?"
Aku: "Oh. Menikah secara apa. Maksudnya pake pemberkatan di Gereja atau mengucap ijab kabul di depan penghulu di KUA?"

Syantik: "Itulah bang. Aku dan pacarku sih kagak ada masalah mau ake agama apa aja. Tapi keluarga keduabelah pihak kagak merestui, bang. Gimana dong? Padahak kami berdua udah lama lho pacaran."
Aku: "Wah. Persoalan klasik banget ya neng. Dari dulu mah persoalan kayak gini gak pernah tuntas dan berakhir bahagia."

Syantik: "Atuh, aku malah semakin takut aja."
Aku: "Kenapa takut atuh neng? emang si neng sudah hamil?"

Syantik: "Enggak sih bang. Boro-boro. Pacarku mah pemikirannya kolot. Katanya kudu tetap perawan sampe nikah samaku."
Aku: "Hahaha... aku bercanda. Soalnya kebawa alur pemikiran banyak orang."

Syantik: "Kembali ke pertanyaanku tadi bang. Aku tahu abang orang Katolik yang moderat dengan pemikiran terbuka. Maka aku berani nanya. Aku pengen ada pendapat dari perspektif Katolik, seperti agama cowokku."
Aku: "Atuh, saya mah bukan orang Katolik yang religius. Aku mah rasional aja. Gini, neng. Terkait pernikahan beda agama yang kamu alami.


Ada 3 poin penting menurutku.

(1) Waktu pacaran kalian terlalu fokus pada diri kalian dua, sehingga tak terbuka pada pendapat orang lain tentang perbedaan agama kalian,

(2) Aku yakin kalian dua bukan tipe orang maniak beragama, seperti yang lagi trand saat ini. Kalian seperti Gen-Y pada umumnya, yang lebih peduli pada kebaikan tanpa prasyarat daripada kebaikan dengan pertimbangan agama.

(3) Kalau pernikahan kalian tetap kalian paksakan, maka akan selalu ada korban. Kalau suamimu ntar ikut agamamu, si keluarga mertuamu yang sewot; sebaliknya kalau ntar kamu ikut agama suamimu, maka keluargamu yang siap mengutuk.


Jadi saranku, berhentilah pacaran dengan pria Katolik tadi. Carilah pria Muslim. Lagipula di Bandung ada banyak cowok Islam yang mungkin lebih baik dari cowok Katolik tadi.

Aku tahu, kamu akan menanggapi pertanyaanku ini dengan "Lha, namanya cinta mana mungkin semudah itu berpisah, bang?" Iya kan?

Seperti kamu bilang tadi, kamu sudah berumur 27 tahun dan cowokmu 34 tahun. Terus kalian sudah 2 tahun pacaran. Artinya, selama 25 tahun neng masih mencintai Islam; dan pacarmu 32 tahun masih mencintai Katolik.

Itu artinya, kalian dua saling menghianati hati dari isi hati masing-masing selam 2 tahun ini. Sederhananya, selam 2 tahun terakhir neng udah menyingkirkan agama Islam dari hatimuyang telah 25 tahun tak pernah menghianatimu. Begitu juga dengan pacarmu telah menyia-nyiakan 32 tahun cinta Gereja Katolik di hatinya hanya demi mencintai kamu selama 2 tahun terakhir.

Syantik: "Tapi aku gak bisa bang. Kayaknya impossible banget aku bisa ninggalin dia. Aku cinta banget sama dia."
Aku: Cinta tanpa derita itu gak mungkin, sebagaimna juga mencintai tanpa syarat itu hanya dapat dilakukan oleh Yang Di Atas sana.

Emang neng pikir mencintai pacar neng sendiri itu pake asuransi? Misalnya kalau pindah agama karena menikah dapat produk berupa pesangon 2,5 Milyar; dan kalau memaksa calon suami pindah agama akan memberi jaminan 5 Milyar kepada keluarga pasangan?

Selama kamu masih di Indoneisia, keharusan menikah dalam seagama bahkan jauh lebih penting daripada menikah dengan sejeniskelamin. Ada ungkapan seloroh orang-orang di Dago, Bandung : "Teu nanaon sami jenis kelamin, nu peunting mah lain agamana" (Enggak apa-apa sama jenis kelamin, yang penting beda agamanya) Ha ha ha.


Lusius Sinurat

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.