iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Petahana

Petahana
"Aneh, sepertinya tak ada hal penting, tapi mengapa saya diundang ke 'istana' Bupati?" tanya Hurje, Kepala Desa Sudut Bukit kepada sang istri yang sedang berbaring disampingnya.

"Ya, mungkin saja ada hal yang sangat penting, pak," jawab sang istri sembari memeluk sang suaminya. 

Hurje tetap terjaga, padahal jarum jam telah menunjuk angka 10, jam tidurnya. Matanya tertuju ke langit-langit kamarnya. Tatapannya kosong. Jam dinding sudah menunjukkan angka 11. Tiba-tiba ia teringat temannya sesama kepala desa, yang tinggal di Desa tetangga. 

Ia menyalakan ponselnya, mencoba menelepon rekan sejawatnya itu. "Apakah lae dapat panggilan dari bupati untuk pertemuan besok? Soalnya saya bingung. Ada masalah apa ya?"

"Oh itu. Pak Bupati sengaja memanggil kita untuk menghadiri pertemuan besok di rumah dinasnya. Beliau ingin agar semua kepala desa di kabupaten ini memenangkan istrinya sebagai caleg di kabupaten kita. Sudahlah, datang saja. Ada amplopnya tuh.

Lumayanlah untuk belanja rumah dua hari. Lagipula bukan hanya kita kepala desa, seluruh ASN juga diundang kok," jawab Kades Sudut Bawah dari seberang sana.

*****

Seakan-akan wajar, saat presiden, gubernur, bupati, etc yang sedang menjabat (Petahana) memanfaatkan ASN, camat, kepala desa dan aparat pemerintah lain sebagai Tim Pemenangnya saat Pileg berlangsung.

Hal yang sama berlangsung di Kabupaten Samosir, Bona Pasogit-nya Batak yang konon terkenal dengan keberanian, sikap kritis dan ngotot mempertahankan harga dirinya. Istri Bupati aktif, istri Sekda  kini menjadi caleg. Bukan hanya kali ini, tetapi juga sudah pernah terjadi sebelumnya.

Sang calon yang sedang intim dengan lingkaran kekuasaan itu terbukti memanfaatkan ASN dengan segala lapisannya. Tak hanya itu, para kepala desa dan ibu-ibu PKK-nya, pun para honorer yang sedang mengadu nasib di lingkungan Pemkab dimanfaatkan sedemikian rupa untuk kemenangannya.

Rasanya fakta ini tak hanya terjadi di negeri yang konon katanya dirajut secara mistis oleh Mulajadi Nabolon dari kepingan-kepingan surga. Rajutan itu kini koyak karena benang-benang perajutnya adalah kekuasaan dalam bungkus hepeng.

Mereka yang masih aktif berkuasa, termasuk lingkaran terdekatnya (kroni), mitra bisnis hingga koloni-koloninya selalu tergoda memusatkan kekuasaan pada dirinya sendiri. Tak cukup sekali, dua kali, tapi harus berkali-kali.

Dari sudut pandang bisnis/ekonomis, mereka tergolong "luarbiasa". Bagaimana tidak, disaat yang sama, suami menjabat Bupati (eksekutif) dan istri menjadi ketua DPR-D (eksekutif) yang menurut nomenklatuurnya bertugas mengawasi eksekutif.

Namun dari sudut pandang moral (politik), perselingkuhan kekuasaan ini sungguh tak wajar, bahkan ketka tak ada aturan hukum yang secara tegas melarang "tradisi Orde Baru" itu atau ketika mayoritas rakyat tak ada yang peduli, kecuali kucuran recehan 500rb hingga 1jt rupiah saat pencalegan seperti saat ini.

Andai saja harus dipaksakan, maka hal itu mengandaikan bahwa sang kepala daerah berkinerja prima dimata ASN dan rakyatnya. Tetapi pertimbangan psikologis juga harus digunakan saat hasrat pada kursi kekuasaan itu justru diraih secara pragmatis: menggunakan uang dan kekuasaan yang mereka miliki.

Rakyat Samosir, misalnya bertutur tentang besaran uang yang diberikan oleh sang caleg yang juga istri pejabat publik itu. Tentu tak sedikit jumlahnya. Pokoknya merusak "harga pasaran" yang ada. Tawaran Rp 500.000,- hingga Rp 1.000.000,- tentu akan memaksa caleg lain menuras kantongnya. Ya, demi menyaingi harga pasaran yang diracik sang caleg yang istri pejabat publik tadi.

Belum lagi, pada tahun 2020 mendatang rakyat Samosir juga akan mempersiapkan kantongnya menerima uang yang mungkin saja jauh lebih banyak dari sang suami si caleg saat Pilkada berlangsung.

Kita sungguh tak pernah belajar dari praktik nepotisme dan korupsi yang dulu dilakukan oleh Soeharto dan kroni-kroninya, Gubernur Atut dan keluarganya di Propinsi Banten, dan juga kasus serupa yang masih marak akhir-akhir ini.

Hari-hari ini kita memang sedang disuguhi tontonan tak berkualitas, di mana ketua ibu-ibu PKK di desa sedang dipaksa berselingkuh dengan si empunya kekuasaan di Kabupaten atau daerahnya untuk memuluskan langkah sang istri atau suami bupati yang ingin menjadi wakil rakyat. 

Di saat yang sama caleg-caleg lain juga mengamini cara yang sama, bahkan menawarkan uang yang lebih banyak untuk membeli suara rakyat di Pemilu kali ini. Mereka justru tidak berniat mencegah laju money politic, sebaliknya mereka justru ingin bersaing membeli suara rakyat yang mayoritas memang bermental miskin.

Uang, apalagi saat bergandengan dengan kekuasaan yang dimiliki seseorang terbukti telah melahirkan penguasa-penguasa baru. Belum lagi, masyarakat miskin, entah secara ekonomi maupun secara kemanusiaan memandang Pemilu sebagai waktu untuk mengumpulkan recehan.



Lusius Sinurat

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.