iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Bahasa Pasaran

Di Kota Medan, memanggil seseorang dengan sebutan "Katua" (ketua) jamak terdengar. Misalnya, "Bagaimana kabar katua?", "Ada saran katua?", "Ada arahan, katua?"

Begitulah terminologi "Ketua" (di Medan biasa dilafalkan Katua) mengacu pada bahasa pasaran, yang dulu jamak dipakai preman dan ormas di Medan

*****

Tapi jangan lupa, di era Orde Baru sebutan semacam ini juga sudah biasa. Hanya saja istilah yang diugnakan bukan Ketua atau Bos, melainkan "Komandan". Kala itu jamak terdengar kalimat semacam ini, "Perintah komandan akan segera saya eksekusi!"

Sebutan "komandan" ternyata erat terkait dengan militerisasi di jaman Orde Baru. Jenderal adalah orang terhebat, karena ia punya pasukan yang selalu menyebutnya "komandan". Demikian di level berikutnya, setiap pasukan mempunya komandan.

Konsekuensinya, dengan mengatakan "Siap, Komandan!" seseorang berarti siap menerima perintah dan wajib menjalankannya, kecuali ia siap diskors atau dieksekusi oleh komandannya.

*****

Di Pangururan beda lagi. Panggilan Ketua atau Komandan justru tak laku. Kata yang digunakan untuk sang bos adalah "Tulang".

Kalau biasanya orang Batak yang sopan akan memanggil Amang (bapak) untuk laki-laki dewasa dan Inang (ibu) untuk perempuan dewasa, maka di Pangururan laki-laki dewasa akan dipanggil "Tulang" (paman) dan perempuan dewasa dipanggil Nantulang.

Tentu saja panggilan "terhormat" itu hanya berlaku di awal perkenalan. Mengingat, adat Dalihan Natolu menempatkan Tulang pada posisi terhormat (hula-hula, Tuhan yang tampak), maka siapapun orang Batak yang dipanggil Tulang akan merasa dihormat.

Konsep ini sungguh dihidupi para pedagang. "Tuhor hamu dekke on, Tulangku naburju! (Silahkan beli ikannya, Pamanku yang baik). Hampir pasti si orang yang dipanggil "Tulang" akan segera luluh dan membelinya.

*****

Entah Katua, entak Komandan, entah "Tulang" sama saja maknanya di pasaran. Sebutan-sebutan ini justru berlaku bukan di pesta adat, melainkn di saat bertransaksi di pasar.

Teman saya, Dion Sihombing, misalnya sering saya dengar menjawab telepn dengan kalimat ini, "Ada arahan, Katua?". Jelas sekali bahwa kata "Ketua" adalah bentuk penghormatan kepada seseorang, terapi sekaligus juga sebagai pintu masuk untuk meluluhkan tuan rumah, yang tak lain adalah bosnya.


Siapa coba yang gak suka diperlakukan sebagai bos? Siapa sih orang Batak yang tak sudak dipanggil Tulang atau Hula-hula?

Saya beberapa kali pergi ke "Ari Onan" (hari pekan) di Onan Baru - Pangururan. Saya pernah ke sana untuk membeli sendal jepit.


Begitu melewati satu hamparan sendal di tepi jalan, seorang ibu berteriak sembari menawarkan sendal jualannya ke arah saya, "Ayo, sini Tulang. Cantik-cantik kali pun selopku ini, Tulang. Cocok kali kurasa selop ini di kaki, Tulang." Saya yang sudah tahu trik pedagang Pangururan hanya tersenyum saja.

Maka sebelum memutuskan membeli sepasang sendal jepit jualan si ibu itu, saya terlebih dahulu bertanya, "Inang boru apa?" Pernah sudatu kali, ibu bersangkutan dengan bangga menjawab, "Boru Tambunan aku, Tulang".

Eh, saat saya tanya mengapa panggil Tulang, padahal saya marga Sinurat, dan marga kita satu rumpun? Mestinya panggil ito atau amang lah." Jawabku lagi-lagi sambil tersenyu. Si ibu tadi hanya menjawab, "Begitulah biasanya orang di kampung kami ini memanggil orang yang belum dikenalnya."

Kalau di Jawa ada ungkapan "Pembeli adalah Raja", maka di Sumatera Utara "Pembeli adalah Komandan, Katua dan Tulang yang terhormat; dan si Katua, Komandan atau Tulang tadi membeli barang atau jasa para pedagang itu. Belum lagi kalau dibayar lunas plus tak mau mengambil uang kembalian. Hahaha....

#SaiNaAdongDo #AdaAdaSaja

Lusius Sinurat

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.