iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Berpikir Positif Dengan Gaji 8jt per Bulan

Berpikir Positif Dengan Gaji 8jt per Bulan
Foto: Tribun
Tak masuk akal bagi orang normal, ketika haknya tak diberi (ditunda terus-menerus atau malah ditipu atawa ditinggal lari) tapi masih saja berpikir positif. Itu yang terjadi dengan mahasiswa lulusan UI yang viral di media sosial kemarin Fresh Graduate Tolak Gaji Rp 8 juta.

Dalam sebuah drama yang berangkat dari kisah nyata keluarga di salah satu stasius TV swasta dikisahkan: Sepasang suami-istri yang berasal dari desa bertetangga dengan kondisi ekonomi sangat kurag, akhirnya memutuskan untuk merantau ke kota. Di kota mereka memutuskan untuk berjualan mie, baju hingga akhirnya memiliki pabrik garmen sendiri. 

Dikisahkan, saat berbisnis pasangan yang saling pengertian dan sama-sama sangat cinta itu pernah mengalami kejadian yang menyakitkan. Saat kehabisan uang, uang istrinya (60 NTD/Dolar Taiwan) malah dicuri orang yang berpura-pura ingin membeli di toko pakaiannya di emperan pasar. Keduanya malah masih sanggup berpikir positif, terutama sang suami: "Uang masih bisa dicari. Mungkin orang itu memang sangat membutuhkan 60 NTD uang mu itu. Sudah relakan saja."

Tragisnya, untuk kali kedua, justru suami yang ditipu oleh mitra bisnisnya sebanyak 600.000 NTD.  600rb NTD itu adalah modal untuk mengembangkan bisnis garmennya. Belum lagi, disaat yang sama karyawannya harus liburan Imlek dan tradisi di sana mereka harus diberi angpau.

Hebatnya, kebaikan mereka untuk karyawan bisa mereka akali, kendati sang suami sempat stress karena orang yang melarikan uangnya itu tak kunjung terlihat batang hidungnya. Namun, sekali lagi, ia justru 'menelan ludah sendiri'. Kali ini, sang istri yang menasihati sang suami dengan kalimat yang sama persis seperti pernah disampaikan sang suami kepadanya.

Mudah mengatakan kalimat di atas. Bahkan, kita bisa kagum dan terharus saat menyaksikan adegan itu di layar kaca. Tetapi, sejujurnya, tak mudah untuk melakukannya, apalagi menghidupi "mentalitas positif" itu dalam kehidupan nyata kita. 

Berpikir Positif Dengan Gaji 8jt per Bulan
Foto: Hipwee

Benar bahwa "Uang bisa dicari."

Di jaman yang begitu akud dengan aura kapitalisme ini, hasrat kita untuk memiliki uang yang sangat banyak justru lebih besar. Saban hari kita dikuasai hasrat itu. Semangat hidup kita bahkan akan semakin menggebu-gebu bila mengingat misi tadi. 

Setiap hari, bahkan tak kenal waktu kita pun berlari, mencari, hingga lupa berhenti sejenak karena takut dibilang orang yang tidak produktif. 

Bak toko serba ada (Toserba) yang menyediakan segala, demikian juga hidup kita harus mencari segala. Dengan cara apa saja. Bukankah hidup di era milenial ini setiap orang hanya puna satu misi hidup: memeiliki segala yang ia inginkan? 

Caranya? Biasanya sih, nasihat "yang penting halal" saat bekarja (baca: mencari uang) baru akan diingat setelah bencana menerpanya, entah karena ketahuan korupsi, mengkonsumsi narkoba, dst. 

Ya benar sih kalau "uang memang bisa dicari", tetapi tak lantas berarti seluruh hidup kita hanya dimaksimalkan untuk mencari uang. Emang masih ada orang jaman sekarang yang sempat memikirkan orang lain justru disaat ia kehilangan uang? Bukankah mereka semua telah menghabiskan 8-16 jam sehari untuk mencari uang?


"Untung atau rugi (dalam bisnis) pasti terjadi, walaupun kita tak bisa memprediksinya"

Seluruh kehidupan kita sebagai manusia adalah bisnis, yang hadir lewat interaksi dan (tentu saja) transaksi. Saat berinteraksi dengan orang lain kita bisa rugi secara psikologis karena kehadirannya membuat kita turut bersedih; sebaliknya kita akan merasa beruntung saat ada orang yang menghibur kita di kala dilanda duka dan bencana. Itulah kehidupan. 

Kenyataannya selalu ada saja orang yang justru masih mampu menghibur orang berduka, padahal disaat bersamaan ia juga sedang berduka. Hm..seperti yang dilakukan suami-istri dalam kisah nyata di atas. Disaat mereka ditipu atau uangnya dicuri, mereka malah masih sepakat berpikir diluar kewajaran, "Bisa saja orang menipu/mencuri uang kita, atau mereka berlaku jahat kepada kita, namun disisi lain, bisa jadi juga itu cara Tuhan meminta kita untuk membantunya." 

Andai saja orang-orang baik dengan aura positif seperti mereka sudah tak ada, maka musik semesta tak akan membuncah melodi indah nan harmonis.

Berpikir Positif Dengan Gaji 8jt per Bulan
Koleksi Pribadi Lusius Sinurat

Dunia butuh mereka yang berpikiran positif

Ibarat Gondang Batak, hidup tak terlalu menarik bila hanya taganing (gendang) yang jadi andalan. Sebab taganing itu hanya mengatur ritme. Ia bahkan tak bisa sendiri dalam menghasilkan ritme. Taganing butuh ogung (gong) atau sebuah sebuah botol/gelas kosong untuk menghasilkan hentakan yang lebih dinamis.

Itu sebabnya Gondang Batak, minimal selalu mencakup taganing, ogung, hasapi (kecapi), sarune (serunai) dan/atau sulim (seruling) demi menghasilkan tortor sebagai ekspresi kemelekatan manusia dengan semesta dan dia yang disebut sang Adikuasa. Faktanya, sarune dan sulim adalah dirigen yang mengontrol ritual suci itu berlangsung secara dinamis dan tanpa catat. 

Anggap saja, di era serba milenial ini, kebanyakan orang begitu berhasrat menjadi orang sukses, yakni orang kaya yang bisa beli apa saja dan boleh kemana saja). Bukankah saat ini kita selalu mengamini bahwa "apapun bisa dibeli dengan uang". Mereka ini ibarat taganing, ogung, atau botol yang dibunyikan secara statis.

Erich Fromm mengklasifikasikan jenis manusia seperti ini sebagai "Automaton" alias orang yang berpikir, bertutur dan berlaku seperti mesin: statis hingga mudah aus. Kita kebanyakan ada di wilayah ini. Sebab kita hanya kerja sangat keras, lalu di penghujung hidup jadi pesakitan karena seluruh tubuh terlalu cepat aus.

Dengan cara di atas, alunan melodi indah yang dihasilkan par-sarune / par-sulim (si peniup serunai/seruling) akan lenyap oleh hentakan kemeriahan taganing, ogung, juga oleh bunyi cempreng simbal murahan yang ditambahkan di dekat taganing, plus techno-music berbasis template dari organ tunggal.


Berpikir Positif Dengan Gaji 8jt per Bulan
Koleksi Pribadi Lusius Sinurat

Berapa gaji yang layak tanpa merusah harmoni?

Di sekitar kita pasti masih ada segelintir orang yang masih sanggup "memerankan" peran saruni dan seulim itu. Hanya saja mereka tak lagi terlihat jelas, karena sebagian besar dari kita justru lebih menyukai tarian, goayangan dan interaksi statis yang diperankan taganing, simbal atau ogung.

Mestinya, mereka yang masih konsisten untuk berpikir postif dalam menjalani hidup harus kita tonjolkan sebagai "api yang menerangi kegelapan". 

Ya, mereka yang semestinya kita selalu viralkan setiap hari. Entah itu orang-orang yang masih menyempatkan diri berhenti sejenak dari upaya mencari dan menghabiskan uang lalu menyapa orang-orang terdekatnya. 

Faktanya, terutama di perkotaan, sangat sulit menyingkirkan diri dari kerennya interakasi cafè-cafè, meriahnya transaksi di mall-mall, padatnya lalulintas pesan hoax di media sosial dan televisi. Kita bahkan disibukan oleh upaya kita menjadi "orang yang dihargai karena memiliki banyak harta." 

Saat ini memang hidup lebih meriah. Tuntutan hidup banyak, kendati tak jarang karena kita ciptakan sendiri. Apa-apa mahal, dan mahal kok apa-apa. Dalam konteks inilah seakan harus memahami mengapa orang harus digaji mahal, dibayar sangat mahal, hingga tak peduli mana pekerjaan reguler dan mana pekerjaan lembur. 

Hidup sederhana dengan perilaku manusia biasa, yang bersahabat dengan sesama dan erat melekat dengan semesta, hingga menyadari adanya kekuatan yang lebih besar darinya... hanyalah masa lalu, yang harus dilupakan bila sempat dialami.

Sekarang, hic et nunc, semua orang bisa jadi milyuner, tanpa kecuali. Itu yang kita nasihatkan kepada anak-anak kita: "Ingat, anakku, kelak kamu harus jadi orang hebat bila ingin dihargai dunia. Itu sebabnya ayah menyuruhmu belajar, menyekolahkanmu dengan biaya sangat mahal, memfasilitasi kamu dengan smartphone canggih dengan segala peralatan games yang ter-anyar.  

Pokoknya, 
kamu harus lebih kaya dari orangtuanu...
kamu harus lebih pintar mencari uang dari orangtuamu...
kamu harus punya pekerjaan yang lebih hebat dari orangtuamu...
kamu harus punya apa yang selama ini orangtuamu bahkan tak mampu beli...

sebab, 
kami orangtuamu, ayah-ibumu sangat berharap dan selalu berdoa untukmu 
agar kelak kamu bisa mengangkat harkat dan martabat keluarga kita.."


*****

Nasihat yang isinya hampir sama juga dibaca di media sosial, didengar dan ditonton di televisi dan Youtube, bahkan ia selalu imajinasikan saat bermain games, di mana ia merasa bisa mengontrol sang pahlawan super yang ada dalam permainan itu.

Lahirnyal generasi milenial yang otaknya serba-quasi (kuasi, seolah-olah): tampaknya pintar tapi hanya untuk dirinya sendiri; sekilah ia tampak optimis namun sebetulnya ia sangat pesimis dalam melangkah; seolah-olah ia percaya diri namun hanya tampil di Youtube dan Instagramnya, dan....

Tampaknya ia memang pintar, optimis, produktif, percaya diri, bahkan ia tampak begitu yakin siap menghadapi tantangan apa saja setelah ia lulus sebagai Sarjana dari Universitas Indonesia . Tapi nyatanya, sebagaimana diberitakan Kompas, sang fresh graduate dengan kepala mesin, otak komputer, wajah monitor smartphone dan kecerdasannya mengalahkan rumusan coding HTML itu justru keok saat ditawari gaji Rp 8jt per bulan.

Pertanyaanya, masih adakah generasi milenial ini yang rela memerankan diri sebagai sulim dengan siulannya yang merdu atau sarune yang mewakili rintihan semesta yang telah kita rusak? Masih adakah dari generesi milenial ini yang mau jadi pemimpin sungguhan? 

Bukankah Presiden Jokowi selalu mengatakan setelah dilantik presiden 2014 lalu bahwa tahun 2024 kita akan surplus SDM produktif? Ayo loe...

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.