iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Paradoks Pembangunan Infrastruktur vs Pengembangan SDM unggul

Paradoks Pembangunan Infrastruktur vs Pengembangan SDM unggul Pemerintahan Presiden Jokowi menetapkan "SDM Unggul, Indonesia Maju" sebagai motto pemerintahannya lima tahun kedepan, yang dimulai sejak peringatan hari ulang tahun kemerdekaan  ke-74 Republik Indonesia 17 Agustus 2019 lalu.

Kita semua, warga Indonesia pasti setuju bahwa "Indonesia maju adalah sebuah mimpi" sejak awal kemerdekaan, dan "SDM unggul adalah prasyarat" untuk menggapai mimpi tersebut. Hanya saja perlu kita renungkan "Apakah pemerintahan saat ini mampu menciptakan SDM unggul disaat 5 tahun sebelumnya ia begitu fokus pada pembangunan infrastruktur hingga menyisakan banyak utang hingga disinyalir lebih banyak menggunakan SDM dari luar?"


(1) Apakah Indonesia unggul itu hanya simbolis belaka? 

Mungkin saja segelintir orang berpikir bahwa SDM kita telah unggul, bahkan mereka datang dari berbagai daerah ketika pakaian dari berbagai adat Nusantara masuk ke istana di tiap pesta ulang tahun kemerdekaan selama pemerintahan Jokowi. Benarkah demikian?

Benarkan SDM Batak sudah terlihat unggul karena ada Luhut Panjaitan di jajaran menteri Jokowi, atau SDM Bugis sudah hebat karena JK bisa menjadi wapres? Apakah dengan menonjolkan pakaian-pakaian adat dan daerah asal para pejabat publik itu bisa dimengerti sebagai  naiknya level masyarakat ?

Kenyataannya pakaian-pakaian dan semua simbol-simbol adat itu malah tersingkir di tempat asalnya. Tanah adat digusur sang investor atas nama bisnis pariwisata, segala produk ornamen adat justru lahir dari pabrik hingga menggusur si pengrajin, tata aturan adat tersingkirkan karena berbagai aturan berbasis kapitalisme dari negara, dan segala macam persoalan lain yang turut memengaruhi kualitas SDM kita.


(2) Siapa dan Dimana SDM Unggul itu berada?

Apakah SDM unggul itu hanya mereka yang mampu menghasilkan banyak uang dengan jualan martabak dan pisang goreng? Atau, seperti anggapan masyarakat umum, apakah SDM unggul itu hanyalah mereka yang punya gelar doktor atau embel-embel profesor kendati mereka bukan pemikir?

Siapa SDM unggul itu? Mereka yang mengajar di sekolah atau universitas; atau hanya ASN yang bercokol di lembaga pemerintah atatu para dirut BUMN yang pintar memainkan anggaran di lembaga yang mereka pimpin?

Benarkah SDM Indonesia yang unggul itu telah tersebar merata di daerah-daerah di Indonesia tercinta ini? Jangan-jangan, SDM unggul ini sungguh baru mimpi dan belum pernah tampil di permukaan.

Kendati demikian, kita bisa menebak bahwa SDM unggul itu ialah mereka yang dekat ke Pusat, baik yang bekerja di pusat kekuasaan, pusat perbelanjaan, atau pusat perputaran uang. Konon katanya, orang-orang pintar itu selalu berada di pusaran kekuasaan dan perbelanjaan tersebut.


(3) SDM Unggul dalam Ketidakadilan Sosial

SDM unggul tak mungkin lahir disaat pemerintah daerah dan pemerintah pusat tak saling sejalan dalam menetapkan standar unggul. Lebih sederhananya, SDM unggul tak akan terlahir disaat keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tidak diterapkan.

Ada banyak contoh tentang ketidakadilan atau ketidakselarasan ini. Di Aceh diberlakukan syariat Islam hingga telah banyak memakan korban yang dihukum cambuk tanpa pembuktian kebenaran, termasuk mereka yang bukan Islam dan tak terikat dengan hukum lokal syariat lokal tersebut.

Begitu juga saat Legislatif dan eksekutif sepakat memutuskan HTI sebagai ormas terlarang. Tetapi pimpinan HTI tak dihukum. Sebaliknya sang pimpinan ormas terlarang itu malah dibiarkan bebas mengembangkan ormasnya secara bebas. Bahkan ustadz-ustadz HTI justru dimuliakan sebagai ustad pengkotbah di mesjid balaikota Jakarta oleh Gubernur DKI Jakarta.


(4) Peran Lembaga Pendidikan dalam Mencetak SDM Unggul

Mungkin Mendikbud atau MenristekDikti bisa merenung sejenak mengenai fenomena sekolah atau universitas yang selalu fokus melahirkan manusia pencari kerja, dan bukan manusia kreatif yang bisa melahirkan SDM yang siap membuka lapangan kerja baru. Faktanya lembaga pendidikan justru telah melahirkan SDM jahat dan sadis, karena mereka tega menyiramkan bensin hingga aparat terbakar saat mengamankan demo.

Kita banyak berharap pada Kemendikbud dan KemenristekDikti dalam rangka mencetak manusia unggul yang dicanangkan oleh bos mereka, Presiden Jokowi. Di titik ini, lembaga pendidikan tak ditugaskan untuk mengubah cebong menadi kodok atau mengubah kampret yang gentayangan di kegelapan malam menjadi merpati yang terbang kesana-kemari tanpa halangan.

Sistem kompetisi, oleh karenanya harus diperbaiki, agar SDM unggul itu lahir sebagai pemenang dari sebuah pertandingan; yang ahli dan menguasai bidangnya dan unggul bila dibandingkan dengan SDM dari negara lain. Percayalah, ini baru mimpi. Sebab, SDM unggul itu adalah sebuah paradoks.


Lusius Sinurat

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.