iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Loja dan Jalo

Loja dan Jalo

Dalam bahasa Toba, kata "loja" berarti capek, capai, lelah. Sedangkan kata "jalo" berarti minta, meminta, menuntut, memohon.

Maka dalam konteks ekonomi, orang yang "loja" layak "manjalo" atau meminta (bayaran). Ini selaras dengan perkataan Rasul Paulus, "Orang yang bekerja wajib diberi makan".

Persoalannya, hari-hari ini orang menghindari "loja" tetapi sedemikian rupa berupaya "manjalo" hak atau bayaran besar atas pekerjaan yang sedikit.

Orang Toba yang baik saat mengadakan pesta adat sering mengatakan,
"Molo au antong nunga biasa jadi parhobas, siloja-loja. Molo mangantusi do jolma nahubantu i, jala ilean saotik bah mauliate ma di Debata. Bah molo so adong pe taho, tong do mandok mauliate iba doba."
Dalam bahasa Indonesia bisa diartikan begini, "Kalau aku sih sudah bisa jadi pelayan, orang yang capek kerja. Kalau penyelenggara pesta mengerti dan memberi sedikit upah, ya terimakasih kepada Tuhan. Kalaupun tidak diberi sepeser pun, saya tetap bersyukur kepada Tuhan."

Jarang sekali kita temukan orang sebaik ini. Di jaman ini, orang berlomba bekerja seminim mungkin tetapi serentak berharap mendapatkan bayaran sebesar mungkin.

Bisnis harii-hari ini memang seperti membenarkan prinsip ini : loja saotik alai godang manjalo (Cuma capek dikit, tapi mintanya banyak).

Itu sebabnya orang berlomba-lomba bekerja secara online, atau menjadi buzzer seseorang atau komunitas tertentu. Tak sedikit juga artis yang kerjanya meng-endorse produk tertentu, hingga tak peduli produk itu "aman" atau tidak aman.

Di dunia politik pun sama. Dukung-mendukung calon bupati, walikota, hingga pemilihan gubernur yang makin marak sangat menarik untuk diamati.

Beberapa kabupaten/kota di Sumatera Utara juga termasuk di dalamnya. Strategi lama pun kembali dilakukan oleh para calon bupati/walikota, mulai dari memainkan persatuan marga, huta (kampung asal), hingga perkawanan.

Menariknya, bahwa bukan para calon yang menawarkan diri, tetapi juga masyarakat (mulai dari satu puak marga, satu kampung, satu sarikat dst) ikut-ikutan menawarkan diri membantu mereka.

Lebih sadis, mereka banyak bersaing menjadi orang nomor satu, atau minimal menjadi orang penting di tim. Ada yang bahkan saling menjelek-jelekkan demi meraih kepercayaan dari calon bupati/walikota.

Profesionalisme dan kemampuan berpolitik sering diabaikan oleh para cawalkot atau cawabup yang sudah kena jaring para calon tim.

Tawar menawar bahkan tak sampai di situ. Ditengah jalan, saat masa kampanye seringkali mereka berpindah karena ada tawaran lebih menarik dari calon lain.

Lebih menarik karena bisa saja di tim barunya dia sedikit LOJA dan boleh manJALO banyak.


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.