iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Siapa Silahi Sabungan?

Siapa Silahi Sabungan?
Silalahi, Dairi
Sabungan, awal mula nama Silahi Sabungan cukup lama tinggal bersama adiknya Oloan di Siogung-ogung, Pangururan, Samosir. Namun setelah dia merasa adiknya sudah bisa hidup sendiri, Sabungan pun pergi berkelana keluar Siogung-ogung.

Sabungan pun akhirnya tiba di Paropo, sebuah desa yang sangat indah di pinggiran Danau Toba. Tempat inilah cikal bakal lahirnya sebutan Tao Silalahi untuk sebagian Danau Toba yang bisa dijangkau mata dari Paropo. Sabungan sungguh mengagumi tempat ini hingga memutuskan untuk tinggal di sana. Sabungan adalah sosok pekerja keras. 

Seorang pengembara yang kebetulan lewat Paropo mengagumi cara kerja Sabungan. Ia pun mendekati Sabungan dan memperkenalkan diri. Pada awalnya kedua lelaki itu mengaami kesulitan dalam berkomunikasi. Bagaimana tidak, Sabungan menggunakan bahasa Toba, sementara si pengembara malah menggunakan bahasa Pakpak.

Syukurlah, sang pengembara makin sering menemui Sabungan. Lambat laun keduanya pun bisa berkomunikasi dengan lancar, baik dalam bahasa Toba maupun dalam bahasa Pakpak. Melalui  pertemuan demi pertemuan itu pulalah si Pengembara akhirnya tahu kalau Sabungan masih menjomblo.

Kendati awalnya merasa sungkan, namun dalam sebuah pertemuan yang lain, si pengembara pun memberanikan diri bertanya perihal keinginan Sabungan untuk menikah. Sabungan mengangguk sebagai pertanda bahwa ia memang ingin menikah. Hanya saja ia belum menemukan wanita idamannya.

Gayung bersambut. Si pengembara pun mulai memperkenalkan tujuh iboto (saudari)-nya yang tinggal di kampung mereka. Sabungan pun tak sabar ingin menemui gadis-gadis itu dan mempersunting salah satu dari mereka.

Tak lama berselang, pengembara itu mengajak Sabungan ke kampungnya untuk memperkenalkan ketujuh saudarinya. Pengembara berharap Sabungan menyukai salah satu dari ketujuh saudarinya itu, dan diam-diam ia ingin agar Sabungan menjadi bagian dari keluarganya.

"Kalau engkau mau, engkau tinggal memilih salah satu dari mereka,” kata si pengembara sembari mempersilahkan Sabungan melihat ketujuh saudarinya.

"Tentu saja saya mau. Tetapi saya bingung memilih salah satu dari mereka, karena ketujuh saudarimu ini sama cantiknya, " jawab Sabungan malu-malu. Ya, bagi Sabungan, ketujuh saudari si pengembar sama cantiknya, hingga sulit baginya untuk menentukan pilihan.

Agar satu sama lain dari ketujuh gadis itu tidak saling cemburu, akhirnya Sabungan mendapat akal. Sabungan meminta ketujuh gadis itu menyeberangi suatu sungai kecil satu per satu, dan pemenangnya adalah gadis yang menyeberang tanpa mengangkat kain penutup tubuhnya.

Pinggan Matio boru Padang Batangari adalah pemenang dari lomba itu, dan ia segera dipinang dan dijadikan istri oleh Sabungan.

Pilihan Sabungan ternyata sangat tepat, sebab sang putri boru Batanghari itu memberinya banyak anak. Ini lantas berarti bahwa anggapan orang yang selama ini meragukan kelaki-lakiannya akan tidaklah tepat. Keraguan orang sekitar bahwa Sabungan bukan lelaki tulen disebabkan karena ia menikah lebih lama dibanding pria di sekitarnya.

"Sabungan benar-benar lalahi (lelaki)," kata Sabungan pada dirinya, juga diamini orang yang tadinya sangat meragukan kelaki-lakiannya. Sejak itu nama Sabungan pun berubah menjadi Silalahi Sabungan atau Silahi Sabungan.


Diperdaya oleh Raja Mangatur 

Ada banyak kisah yang berkembang tentang Silahi Sabungan ini. Salah satu di antaranya kisah tentang bagaimana Silahi Sabungan diperdaya oleh Raja Mangatur dari keturunan Sorba Dijae.

Pada suatu ketika, seorang jagoan bernama Rahat Bulu mendatangi Patane di Onan Porsea. Nama Rahat Bulu merupakan pemberian masyarakat di sana karena siapapun yang berurusan dengan si Rahat Bulu (buluh yang sangat gatal) ini pasti akan celaka. Nah, Raja Mangatur gerah dengan kehadiran Rahat Bulu. Ia berpikir keras bagaimana  menyingkirkannya dari kampung mereka.

Kala itu berita tentang kehebatan Silahi Sabungan telah lama terdengar oleh Raja Mangatur. Maka ia pun memutuskan untuk menjalin hubungan dengan Silahi Sabungan dengan maksud untuk menyingkirkan si Rahat Bulu yang suka meminta setoran.

Akan tetapi, Raja Mangatur tak tahu caranya mengontak Silahi Sabungan. Belum lagi Silahi Sabungan sudah mempunyai isteri dan delapan anak saat itu.

Raja Mangatur pun mencari akal. Ia mengabari Silahi Sabungan tentang anak gadisnya yang sedang jatuh sakit, dan hanya bisa sembuh ditangan Silahi Sabungan. Pendek kata, Silahi Sabungan pun berhasil dibujuk dan datang ke kampung halaman Raja Mangatur.

Benar saja, begitu diobati oleh Sabungan, gadis itu pun sembuh. Namun, begitu sang gadis ditinggal pergi oleh Sabungan, penyakitnya justru kambuh lagi. Hal itu pun terjadi berulang-ulang. Nah, agar penyakitnya benar-benar sembuh, diambillah kesepakatan oleh Raja Mangatur bahwa anak gadis itu harus dikawinkan dengan Sabungan.

Walaupun usia keduanya terpaut jauh, namun karena alasan kemanusiaan, Sabungan pun akhirnya setuju. Dari isteri keduanya ini pun, Sabungan memperoleh seorang anak laki-laki yang rupawan, dan diberi nama Tambun.


Persaingan Dengan Rahat Bulu

Suatu hari pekan, Tambun dibawa oleh ibunya mangebang (belanja) ke pasar. Di tengah pasar, Rahat Bulu melihat anak kecil yang rupawan itu. ia pun merampasnya dari gendongan sang ibu, istri muda Silahi Sabungan tadi.

Rahat Bulu mengklaim bahwa Tambun adalah anaknya sendiri, hasil hubungan gelapnya dengan gadis yang telah diperistri Silahi Sabungan teresebut. Istri kedua Silahi Sabungan itu pun protes dan bersumpah samasekali tak mengenal Rahat Bulu. Rahat Bulu tak peduli. Ia tetap ngotor mengatakan bahwa anak itu adalah anaknya.

Kejadian itu pun sampai ke telingan Silahi Sabungan. Ia lalu datang ke pasar dan menjelaskan bahwa anak tersebut adalah anaknya, buah perkawinan dengan sang istri.

Bukan Rahat Bulu namanya kalau tidak bersikeras. Ia kekeuh mengklaim bahwa Tambun adalah anak hasil hubungan gelapnya dengan putri Raja Mangatur tersebut.

Sebagai jalan keluar, diambilkah sebuah kesepakatan oleh masyarakat setempat: untuk membuktikan siapa yang benar dan siapa yang salah. Keduanya, Silahi Sabungan dan Rahat Bulu diminat secara bergantian memasuki sebuah batang (peti mati yang terbuat dari sebatang pohon kayu besar. Kayu itu dibelah dua: sebagian untuk tempat mayat dan sebagian lagi sebagai tutupnya).

Sebelum keduanya secara bergantian memasuki peti mati, Sabungan bertanya pada banyak orang yang hadir:

"Porsea do hamu sude ? (apakah kalian semua percaya ?)" seru Silahi Sabungan.

"Porsea. Porsea do hami! (Percaya. Kami percaya)", jawab hadirin serentak.

Setelah keduabelah pihak dan orang-orang yang menyaksikannya telah sepakat, maka dicarilah sebuah batang. Pertama, ibu muda tadi dipersilahkan masuk terlebih dahulu. Tak lama berselang, ia keluar secara utuh, tak kekurangan apa pun. Orang yang melihat pun bersorak-sorai.

Berikutnya, Rahat Bulu menyusul. Dengan perasaan yakin akan selamat setelah keluar dari peti mati itu, ia pun masuk dan menelentangkan diri di dalam peti mati itu. Secara tiba-tiba, peti mati itu langsung tertutup rapat.

Segala upaya telah dilakukan oleh keluarganya, juga oleh orang-orang yang turut menyaksikan, namun peti mati itu tetap saja tidak dapat dibuka. Peti mati itupun kemudian diterbangkan oleh Silahi Sabungan ke Dolok Simanuk-manuk.

Konon katanya, Rahat Bulu menjadi hantu pengganggu di sana. Sementara tempat "kesepakatan untuk masuk peti mati" itu dinamai Onan Porsea, tempat raja-raja berkumpul.


Pengakuan Silahi Sabungan Kepada Istri

Khawatir akan terjadi lagi hal-hal yang tidak diinginkan, anak kecil ini kemudian dibawa ke Paropo, Sialahi. Takut ketahuan sang istri, Silahi Sabungan pun menyembunyikan Tambun di suatu tempat. Tentu saja ia tidak ingin kehadiran anak kecil itu menjadi persoalan baru dan mengganggu kerukunan rumah tangganya.

Akan tetapi, sepintar apapun Silahi Sabungan menyembunyikan Tambun, akhirnya akan terbongkar juga. Awalnya sang istri mulai curiga mengapa Sabungan selalu menyisakan makanannya dan membawanya ke suatu tempat yang tidak diketahuinya.

Sang istri merasa tindakan suaminya sangat ganjil. Sang istri tercinta pun akhirnya meminta Silahi Sabungan untuk berterus-terang perihal makanan yang selalu disembunyikan itu.

Sabungan tak bisa mengelak. Ia pun menuturkan secara runut tentang kepergiannya ke tempat Raja Mangatur, perkawinannya dengan puteri Raja Mangatur hingga kelahiran Tambun sebagai buah dari perkawinan "sirih" tersebut.

Tak hanya itu, Silahi Sabungan juga juga menceritakan tentang peristiwa yang menimpa si anak; dan demi keselamatannya ia terpaksa dibawa ke Paropo.

Mendengar kisah itu, hati sang isteri justru terenyuh. Ia tak saja bisa menerima tindakan Sialahi Sabungan, tetapi juga bertekad akan menganggap Tambun sebagai putera bungsunya dan merawatnya seperti anak sendiri.


Tambun, Sang Anak Bungsu

Kisah ini akhirnya sampai juga kepada anak-anak hasil perkawinan Silahi Sabungan dan Pinggan Matio boru Padang Batangari. Mereka adalah Haloho, Tungkir, Ruma Sondi, Dabutar, Dabariba, Debang, Pintubatu, dan satu putri bernama Siboru Deang Namora.

Tak satupun dari kedelapan putra-putrinya yang merasa keberatan dengan kehadiran Tambun sebagai adik mereka. Mereka justru bersepakat untuk menerimanya sebagai adik bungsu.

Untuk memperteguh kesepakatan di atas, sang ibu pun mengumpulkan mereka dalam sebuah santap bersama dengan santapan "sagu-sagu mallangan." Makan bersama inilah yang belakangan dikenang oleh keturunan Silahi Sabungan sebagai "Poda Sagu-sagu Marlangan".

Sagu-sagu mallagan merujuk pada sumpah bersama keturunan Silahi Sabungan untuk mengakui Tambun sebagai adik bungsu mereka. Hasilnya, Tambun dan seluruh keturuannnya yang bermarga Tambunan merasa nyaman dan menjadi bagian tak terpisahkan dari keturunan SILAHI SABUNGAN hingga saat ini.


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.