iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Kuantitas versus Kualitas Seminari

Kuantitas versus Kualitas Seminari
Lima uskup generasi pertama alumni Seminari Menengah Christus Sacerdos Pematang Siantar
Tempo dulu, Seminari memang menjadi pilihan utama anak-anak untuk melanjutkan pendidikan. Tetapi belakangan ini, kualitas lulusan Seminari justru menjadi bahan pergunjingan umat. Kurikulum pendidikan Seminari saat ini memang mengalami sedikit perubahan, seturut perubahan kurikulum pemerintah.

Bila di masa lalu, Seminari Menengah dipandang sebagai sekolah terkemuka, maka kini anggapan tak pernah lagi terdengar. Tanpa bermaksud menyalahkan jaman, arus globalisasi yang sedang terjadi memang turut mewarnai pendidikan di Seminari. Oleh arena itu, agar punya daya tarik dan daya pikat, Seminari harus dibangun menjadi lembaga pendidikan yang bermutu dan unggul.
Salah satu kelemahan yang dihadapi seminari adalah pendidikan humaniora, kendati berbeda di setiap Seminari. Padahal dimensi ini sangat penting untuk menumbuhkan kesadaran akan nilai-nilai kemanusiaan. Hal lain, di daerah misi, pendidikan humaniora mempunyai tantangan besar.

Bisa dibayangkan hasilnya seperti apa kalau sebuah sekolah dengan murid 600 orang hanya dilayani tiga guru. Dampaknya kemudian sangat terasa pada sisi intelektual, kepribadian, latihan menemukan persoalan, daya analisa, pengembangan bakat dan talenta. Semua ini akan sangat kurang, karena tenaga formator yang minim.

Ada banyak hal yang menjadi tantangan para Seminaris. Tetapi hal paling berpengaruh adalah mengenai motivasi awal seorang anak masuk Seminari. Banyak seminaris tidak punya motivasi waktu awal saat menjalani formasi pendidikan calon imam. Mereka hanya ikut-ikutan masuk Seminari atau hanya untuk membuat keluarga bangga.

Penulis, misalnya, memutuskan masuk Seminari karena teladan hidup dari Uskup Agung Medan (emeritus) Mgr. Alfred Gonti Pius Datubara, OFM Cap serta dua mantan pastor paroki Tebing Tinggi, Pastor Arie van Diemen, OFM Cap dan Pastor Ignatius Simbonon, OFM Cap Mgr. Pius adalah teladan bagi umat Katolik di Keuskupan Agung Medan, termasuk penulis.

Semangat Fransiskan dan kesederhanaan seorang Kapusin sejati tampil lewat kesahajaan hidupnya. Ia selalu tampil membara dengan jubahnya. Kesederhanaan hidupnya bahkan tak jauh dari para misionaris terdahulu. Bagik saya, Mgr. Pius itu adalah sosok Misionaris, seperti Pastor van Duijnhoven, Pastor Biggelaar, Pastor Waterreus, dll yang menemui umatnya dengan berjalan kaki.

Bagi penulis, kesahajaan Mgr. Pius adalah kotbah yang hidup; dan wibawanya adalah cahaya terang yang menggiring kita jatuh cinta pada keagungan Tuhan. Ia adalah sosok yang lebih banyak mengalah daripada mengalahkan.

Kefasihannya berbahasa Italia, Inggris dan semua bahasa dan dialeg lokal di Sumatera Utara membuatnya lebih dekat dengan umatnya. Berfoto dengan siapapun adalah salah satu ciri Misionernya. Ia bahkan tak berjarak dengan orang-orang yang tidak produktif. Kehadirannya justru membuat mereka menjadi orang produktif. Semangatnya yang membara, berapi-api dari Altar, mimbar maupun podium serasa "api abadi."

Demikian pula dengan kesederhaan hidup dua imam Kapusin yang pernah menjadi Pastor Paroki di Tebing Tinggi (paroki asal penulis): Pastor Arie van Diemen, OFM Cap (alm.) dan Pastor Ignatius Simbolon, OFM Cap. Sama seperti Mgr. Pius, kedua pastor Kapusin ini juga hidup bersahaja, tak berjarak dengan umat, dan kedekatannya dengan semua umat dari segala lapisan turut menggairahkan kehidupan menggereja di Paroki Tebing Tinggi.

Pastor Ignatius bahkan dikenal sebagai pastor orang miskin dan pemerhati pendidikan di Paroki. Ia sering menjadi tempat penitipan uang sekolah/kuliah dari anak-anak kampung. Tak jarang ia mendahulukan uang sekolah anak-anak kampung itu hingga sering lupa kalau umat masih punya rutang kepadanya.

Tantangan lain, banyak seminaris yang sakit-sakitan. Ini tentu memengaruhi usaha mereka menjadi imam. Selain itu, beberapa seminari juga mengalami kekurangan dana. Ada seminari yang bahkan belum memiliki perpustakaan sendiri, ruang laboratorium, ruang makan, tempat tidur, dan lainnya. Belum lagi harus membayar gaji guru dan karyawan serta perbaikan gizi. Ada seminari yang terpaksa setiap pagi hanya makan bubur dan sebulan sekali para seminaris minum susu. Para rektor atau pimpinan seminari pun tidak banyak berharap pada orangtua. Ini tentu memprihatinkan dan harus segera dibantu.

Beberapa cara yang telah ditempuh Komisi Seminari KWI untuk mengatasi kekurangan dana tersebut adalah mengadakan kursus dasar formator untuk rektor, staf pembina di seminari untuk menyamakan persepsi, visi-misi mereka tentang pengelolaan dana Seminari. Cara lain adalah mengharapkan setiap Keuskupan untuk menyebarkan kolekte setiap kali Misa untuk membantu Seminari. Tentu masih bisa ditambahkan Gerakan Orang Tua Asuh Seminari (GOTAUS) yang juga sangat membantu.

Ketua Komisi Seminari Konferensi Wali-gereja Indonesia (KWI) Mgr Ludovicus Simanullang OFM Cap Di Majalah HIDUP (edisi 11 Tanggal 12 Maret 2017) menegaskan, “Seorang imam disebut juga alter Christus, Kristus yang lain. Dengan menyandang status ini, seorang imam dituntut mempunyai kecakapan yang mumpuni. Yang paling penting adalah Tiga “S” , Sanctitas, Sanitas, dan Scientia. Artinya, seorang imam harus sehat secara rohani, jasmani, dan intelektual. Semua kecakapan itu diperoleh ketika dididik di seminari. Sayang, perkembangan zaman menjadi tantangan utama bagi persiapan seorang calon imam.”

#LusiusSinurat
#MemperhitungkanPanggilan
#SeminariJantungMisi


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.