iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Menolak Dosa

Menolak Dosa
Pengampunan itu mengesalkan, bagi mereka yang jadi korban. Di tengah segala tudingan dan cibir banyak orang, coba katakan kepada si penjahat, “Aku mengampuni engkau”, dan Anda akan menuai kemarahan massa.

Tugas yang berat seorang pengacara, kalau ia sampai harus membela perkara seorang pembunuh atau pelaku kejahatan yang melukai perasaan masyarakat. Sulit sekali! Tapi sulitnya itu bukan karena tak mampu, melainkan karena harus menghadapi kemarahan semua orang. 

Itu seperti pekerjaan yang sia-sia, membela orang yang jelas-jelas bersalah dan ‘harus’ dihukum. Pekerjaan yang absurd, entah siapa yang sengaja mau melakukannya.

Itu sebabnya masyarakat kita itu pelan-pelan mau ‘menghilangkan’ dosa, atau tepatnya, perasaan berdosa. Kalau sesuatu yang biasanya keliru, lalu dianggap ‘tidak apa-apa’, atau dibiarkan saja, niscaya itu seakan-akan bukan dosa lagi. Dianggap wajar, dianggap sudah biasa.

Mengapa? Supaya kita tidak usah lelah-lelah mengampuni orang! Begitu bukan? Untungnya lagi, bagi kita sendiri, kita pun bisa melakukannya tanpa rasa bersalah, karena “toh orang lain juga melakukannya?”

Mungkin manusia itu dianggap seperti barang di supermarket. Kalau cacat, dibuang saja, atau dijual rugi. Biarlah orang yang salah berurusan dengan Tuhan, kita mau cuci tangan. Dosa adalah urusan pribadinya, bukan lagi urusan ‘kita’. Kasihan orang itu. Kasihan Tuhan juga.

Bisakah kita membayangkan adegan yang terjadi di rumah tempat Yesus mengajar itu? Menakjubkan. Seperti sebuah film. Masalahnya, adegan sesungguhnya tidak sesimpel yang dituliskan oleh Markus. 

Membuka atap sebuah rumah, menurunkan orang lumpuh perlahan-lahan, meletakkannya di depan Yesus, segala yang terjadi saat banyak mata melihat semua proses itu... semua itu terjadi bukan sekejap mata. Mereka dikisahkan sudah mencoba mendekati Yesus tapi tidak dapat, “karena orang banyak itu.”

Jadi, lebih dari sekedar kecerdikan, yang terjadi adalah kebebalan hati banyak orang. Tidak satu orang pun beranjak dari tempatnya untuk membuka jalan bagi orang lumpuh itu. Pertanyaannya: Siapa orang lumpuh itu? Apa yang dilakukannya sehingga semua orang tidak memberi jalan, bahkan membencinya?

Nah, kita baru sadar. Yesus pasti mengamati semua kejadian itu. Dan semua orang yang berdesak-desakan itu hanya mau minta disembuhkan (secara fisik) oleh Yesus, tapi hati mereka sendiri dijejali dengan kebencian terhadap si lumpuh. Orang yang lumpuh ini pasti telah berdosa, dan semua orang itu tahu. Itu sebabnya, seakan-akan mereka berpikir, biarkan saja orang itu tetap lumpuh karena dosa-dosanya! Dan mereka tidak memberi jalan.

Entah berapa kali kita berpikir, Yesus adalah milikku sendiri. Kalau orang lain mau mendekati Yesus, hidupnya harus lebih suci dariku. Kalau tidak, aku pun tidak akan membiarkan mereka diselamatkan.

Bukankah kita itu “senang kalau orang lain susah” dan “susah kalau orang lain senang”? Nah! Dalam hal itu kita punya standar ganda dalam hal dosa. Kriteria yang kita terapkan pada orang lain, tidak berlaku untuk diri sendiri. 

Dosamu adalah urusanmu sendiri. Dosaku pun urusanku sendiri. Aku boleh menilai, tapi orang lain tidak boleh. Kelompokku boleh membicarakannya, tapi si pesakitan tidak berhak bicara dan tidak boleh dibela oleh siapapun. Semua yang memihak padanya ikut ‘berdosa’ di mata kita.

Kalau Yesaya hidup di masa kini, ia akan membuat sebuah lagu den-gan syair yang sangat berbeda dibanding yang sering kita dengar. Ia akan berkata, “forgive and forget”, ampunilah dan lupakan. Mengin-gat-ingat masa lalu hanya akan membatalkan pengampunan kita. 

Mengingat kesalahan seseorang itu efektif membuat kita akhirnya sulit mengampuninya, membuat kita merasa terluka kembali. Kita jadi ‘tidak rela’ bahwa orang yang pernah melukai atau merusak hidup kita ternyata masih bisa hidup makmur dan bahagia. Seandainya sesuatu yang buruk menimpa dirinya, kita tak bisa menahan diri untuk berpikir, sudah layak dan sepantasnya!

Jika zaman kita ini membutuhkan seorang pengacara, yang dibutuh-kan ialah pengacara yang siap untuk tidak disukai oleh banyak orang dan masyarakat. Yesus adalah pembela yang dibenci oleh publik, yang selalu akan dipertanyakan dari mana kuasa-Nya, dicerca keberanian-Nya karena mengampuni dosa orang. 

Soalnya ialah kita mau saja mengampuni, tapi tetap tidak mau melupakan perbuatan orang, bahkan mengingat-ingat lagi luka di masa lalu. Bagaimana itu mungkin? Lebih parah lagi, itu bukan hanya pikiran kita sendiri, tapi juga masyarakat kita. Masyarakat kita hanya berpikir soal hukuman dan sangsi, bukan soal ‘kesempatan kedua’ bagi mereka yang pernah salah.

“Apa yang bisa saya bantu?” Itu seharusnya lebih sering kita katakan kepada saudara kita yang sudah terpuruk. Sungguh. Kita bisa bantu apa supaya mereka bangkit dari kelumpuhan mental dan sosial. Untuk bisa berkata seperti itu, diperlukan kesediaan untuk ‘melupakan’. 

Selama kita terus mengingat-ingat salah orang, kita bakal bergeming di tempat kita, tidak mau memberi jalan. Jangan sampai saat beribadah dan tekun mendengarkan firman Tuhan, kita malah menutupi jalan bagi orang lain untuk disembuhkan dan diselamatkan juga. Amin.

*Bacaan: Yes 43:18-19.21-22.24b-25; 2Kor 1:18-22; Mrk 2:1-12


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.