iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Ketika Manusia Kehilangan Pegangan Hidup

Ketika Manusia Kehilangan Pegangan Hidup

Ada periode di mana Tuhan dan kebenaranNya menjadi pegangan hidup. Hingga kini Kitab Suci masih diwartakan oleh mereka yang mengimani Tuhan, dan teladan orang-orang suci masih dijadikan pegangan hidup. Demikian juga budaya dan adat istiadat pernah menjadi acuan dalam menjalani hidup, bahkan sselalu diekspresikan lewat ritual secara berulang.

Tapi kini, di dunia postmodern, orang tak lagi begitu tertarik dengan agama atau budaya yang melekat dalam dirinya. Teknologi seharusnya membuat jalan pewartawaan agama-agama jauh lebih langgeng, dan tentunya lebih mudah.
  1. Pada abad Perdana pewartaan ajaran Kristen harus berhadapan dengan persoalan Yahudi-Non Yahudi.
  2. Pada abad Pertengahan, bersamaan dengan imperialisme dan kolonialisme Barat, pewartaan berhadapan dengan kebudayaan-kebudayaan baru yang di masukinya.
  3. Di era Modern, pewartaan berhadapan dengan ilmu pengetahuan yang semakin mengkritisi eksistensi Tuhan dan ciptaanNya.
  4. Kini, di era Pascamodern yang berbasis teknologi digital, pewartaan berhadapan dengan teknologi informasi yang membentangkan berlaksa informasi tentang Kebenaran Tuhan hingga kita berjalan tanpa pegangan dan tumpuan.

Gereja Perdana langsung dilayani oleh para Rasul dan para imam sebagai penerusnya. Pewartaan pun berhasil: jumlah pengikut Kristus semakin hari semakin bertambah, kendati jumlah imam sangat sedikit kala itu..

Namun di abad Pertengahan hingga kini, disaat pertumbuhan umat semakin pesat dan tenaga imam dirasa sangat kurang didirkanlah seminari-seminari mulai untuk mempersiapkan para calon imam hingga pelayanan pun semakin maksimal, namun pewartaan justru tidak begitu berhasil: jumlah umat justru semakin berkurang.

Persoalannya, ada perbedaan antara imam di masa lalu dan imam di masa kini dalam hal "kekayaan" yang mereka miliki. Bila Rasul Petrus, Paulus, Barnabas, dst tampil sebagai pewarta yang kaya dalam hal iman maka kini para iman penerus mereka justru kaya dalam hal kepemilikian harta dunia.

Di jaman pascamodern ini, para imam memang terlihat kaya secara lahiriah, dengan berbagai sarana dan prasarana yang mereka miliki untuk melayani Gereja, tetapi sesungguhnya mereka itu melarat, malang, miskin, buat dan telanjang (Wahyu 3:17), sebab kini,
  • moral telah digantikan oleh terapeutik,
  • yang Ilahi digantikan oleh hal-hal manusiawi,
  • kebenaran dianti intuisi, dan
  • keyakinan telah digantikan oleh teknik/teknologi.

Kenyataan inilah yang oleh Kitab Suci digambarkan sebagai "dunia" dan keduniawian pun dimengeri sebagai sistem nilai di setiap zaman yang:
  • berpusat pada perspektif manusia berdosa yang menyingkirkan Allah dan kebenaranNya dari dunia,
  • menjadikan dosa sebagai tindakan wajar,
  • menjadikan kebenaran tampil aneh. dan
  • menghilangkan ketajaman moral dan otentisitasnya.

St. Agustinus telah menyentil Gereja yang hancur oleh ulah orang di dalamnya. Dalam bukunya "City of God", St. Agustinus menegaskan bahwa "Kota Roma (Kekaisaran Romawi) hancur bukan karena moralitas Kristen yang memasukinya, melainkan karena immoralitas kafir Roma di dalamnya."

Ya, Roma hancur karena bahasa politik yang harus memikul kesalehan palsu, para senatornya bertele-tele, dan kaisar-kaisarnya bodoh dengan istri-istri yang boros dan suka berkonsultasi dengan para ahli bintang dan ahli nujum.

Demikian juga dengan negara adidaya Amerika Serikan akan hancur, bukan oleh bangsa lain melainkan oleh tekonologinya yang tak tersaingi, ekonominya yang kokoh dan dinamis, pemerintahannya yang stabil dan validitas hukumnya yang tak tertandingi.

Akibatnya, mayoritas penduduk Amerika Serikat percaya bahwa kesejahteraan akan menghilangkan penyakit sosial, seperti tindakan kekerasanan, narkoba dan perceraian. Demikian juga dengan pemerintahan yang kuat, maka tanggungjawab warga akan diserahkan kepada pemerintah.

Tak hanya itu, toleransi bagi hilangnya tanggung jawab moral masyarakat pun semakin menguat. Kehidupan pribadi pun didominasi oleh penghargaan terhadapa hak asasi manusia (HAM). Akibatnya agama menjadi urusan pribadi, sama dengan acara hiburan, hobi dan kesukaan. Hasilnya, Amerika dan Dunia Barat justru diselubungi senja. Segala sesuatu menjadi relatif dan sangat sedikit yang masih dianggap normatif.

Gary Eberle, seorang profesor Katolik, dalam bukunya The Geography of Nowhere: Finding One's Self in Postmodern World (1994:17-18), mengatakan bahwa saat ini "kita hidup di suatu dunia yang tidak mempunyai peta dan tidak mempunyai pusat, dunia di mana arah kompas menjadi tidak bermakna sekalipun jika kita dapat memperolehnya."

Ketika wawasan tentang dunia runtuh, dengan sendirinya kita terhenyak menatap kekosongan diri, karena tak ada Allah yang mengisi. Inilah akibatnya apabila manusia kehilangan standar-standar tentang apa yang tidak semestinya dan yang tidak benar.

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.